Sepagi Memaknai Tradisi Wae Rebo

Juli 11, 2013

Selamat pagi Wae Rebo Flores! Selamat pagi mahakarya Nusantara.

Dia masih tertidur nyenyak di samping saya. Semalaman dia mendesak-desak badan saya. Mencari kehangatan. Mencari pelukan. Ya, seekor kucing lucu itu masih pulas saat saya bangkit beranjak untuk menyesap pagi Wae Rebo.

“Kucing itu kemarin saya bawa dari Jakarta untuk mengatasi banyaknya tikus di Niang Gena Maro. Eh, bukannya nakutin tikus, malah kedinginan, minta tidur sama wisatawan.” ungkap Agus sambil tertawa. Dasar kucing pendatang yang belum adaptif di Wae Rebo!

Matahari masih merangkak pelan di balik perbukitan yang mengitari Wae Rebo tatkala saya keluar dari Niang Gena Maro. Sinarnya belum mampu menjangkau puncak-puncak bukit. Langit cerah berhiaskan bulan sabit sisa sebuah malam. Udara segar melimpah ruah memenuhi pernafasan, timbul dari lestarinya hutan di sekitar Wae Rebo. Hawa dingin berkubang, ramah menampar kulit wajah. Dan, kini tampak jelas panorama ketujuh Mbaru Niang. Sebuah pagi yang menakjubkan di Wae Rebo. 

Penghuni Wae Rebo satu persatu keluar dari ‘sarang kerucutnya’. Badan mereka berkemulkan sarung tenun khas Wae Rebo. Cukup menyelimuti untuk berlindung dari dingin pagi. Mereka lalu jongkok di depan halaman rumah. Menyesap pagi (lagi) sebagai karunia Tuhan. Anjing-anjing tampak mendesal-desal, seperti mencari kehangatan. 

Setiap kali melintas di depan saya, warga langsung mengajak bersalaman dan berkenalan. Senyum ramahnya merekah tanda persaudaraan. Pagi yang dingin pun perlahan menghangat dengan obrolan yang akrab. Untung, Jogja bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka. Sehingga, perbincangan dua arah mengalir lancar.

Setiap pagi, hewan-hewan ternak akan dikeluarkan dari kandangnya di bawah lantai Mbaru Niang. Saat itu banyak ayam telah berkeliaran di halaman rumput depan Mbaru Niang. Suaranya riuh meramaikan pagi. Ayam menjadi hewan penting dalam tradisi orang Wae Rebo sehingga banyak dipelihara. Banyak upacara yang menggunakan ayam sebagai media persembahan kepada leluhur. Selain ayam, masyarakat Wae Rebo juga memelihara babi dan anjing.

Sebuah keluarga yang menyongsong pagi dengan ceria. Dia ramah menyambut saya sebagai saudara.
Sebuah pagi di Wae Rebo yang damai. Karena dingin maka pun berkemulkan sarung. Photo: @megahan25
Anjing-anjing penjaga Mbaru Tembong. Sibuk memanaskan badan.
Seberkas sinar hangat baskara mulai menghangatkan bumi Wae Rebo. Dengan terduduk di tepi compang, saya menyongsong detik-detik mentari timbul dari puncak bukit. Compang merupakan tempat di tengah-tengah halaman Mbaru Niang. Berfungsi sebagai pusat pelaksanaan upacara adat dan tempat persembahan di Wae Rebo. Compang terbentuk dari gundukan tanah dipagari tumpukan batu yang dibentuk melingkar. Di tengahnya, terdapat sebuah tiang kayu.

Frans Muder memanggil saya agar ke Niang Gena Maro. Segelas kopi sudah tersaji. Suguhan ubi rebus yang masih panas juga sudah siap. Mama Nina pagi-pagi sekali menyiapkan makanan dan minuman hasil bumi Wae Rebo ini. Aroma kopi memelekkan mata. Beberapa potong ubi sukses mengganjal perut. Sinar mentari berhasil menembus ke dalam Niang Gena Maro melalui paratongang, jendela tradisional di Mbaru Niang. Hanya dengan mendorong atap dari dalam akan terbuka lubang ventilasi yang cukup bisa menyegarkan sirkulasi udara. 

“Nanti saudara diundang untuk menghadiri upacara Cyarangka. Upacara pemberian nama bayinya Primus.” Ajak Frans Muder.

Aha.. Ini menjadi bonus kehadiran kami di Wae Rebo. Bisa mengikuti tradisi masyarakat yang spesial tentu tidak setiap wisatawan beruntung mendapatkannya. Sebuah kehormatan besar bagi kami diperkenankan bisa melebur pada kehidupan setempat. Ini pun membuat saya semakin tertancap kuat sebagai anak Wae Rebo.

Berangkat menuju rumah Primus berarti sejenak keluar dari lingkaran Mbaru Niang di Wae Rebo. Seiring makin berkembangnya jumlah penduduk, tidak cukup lagi kapasitas ketujuh Mbaru Niang. Oleh karena itu, berdiri banyak rumah ‘generik’ di sekitar Wae Rebo. Orang tua Primus termasuk keluarga yang membangun rumah-rumah baru itu. Banyak juga orang Wae Rebo yang keluar untuk membuat kampung baru, seperti di Kombo dan Denge.

Perjalanan yang tak begitu jauh akan disambut rimbunan pohon kopi di samping kanan kiri setapak. Saat itu, buah-buah kopi masih muda, belum masak. Kopi menjadi tumpuan hidup masyarakat Wae Rebo untuk menggerakkan ekonomi. Kalau sedang musim, berton-ton kopi akan dijual di Kombo, Iteng bahkan Ruteng. Selain juga kopi untuk dikonsumsi sendiri sebagai minuman tradisi sehari-hari. Kopi Wae Rebo dikenal masih sangat murni dan organik, bebas dari campuran kimia. Dari segi rasa, kopinya nikmat, baik jenis arabica maupun robusta.

Tanaman kopi milik warga Wae Rebo. Saat itu masih muda buahnya.
Warga sedang menggiling biji kopi.
Suasana di rumah Primus. Minuman kopi sudah tersaji. Asli dan organik khas Wae Rebo.

Saat kami tiba di rumah Primus, suguhan kopi telah tersedia. Sudah berkumpul para perwakilan masyarakat Wae Rebo beserta para tetua adat. Kami dipersilakan duduk di tempat yang lebih tinggi. Sebenarnya tidak enak, tapi begitulah adat untuk menghormati pengunjung. Segelas kopi (lagi) pun saya minum. Ini adalah kopi yang kelima kali selama di Wae Rebo. Anehnya, perut dan lambung tak berontak meski lima kali minum kopi dalam waktu tidak sampai 24 jam.

“Manusia mengalami adaptasi penuh di lingkungan yang alami seperti Wae Rebo. Alam mendukung aktivitas apapun yang harmonis dengannya. Termasuk kopi yang diminum, orang luar akan merasa berlaku seperti apa yang orang Wae Rebo lakukan.” ungkap Ary. “Kalau minum kopi Wae Rebo di Jakarta, sampai lima kali sekali tidak akan kuat.”

Sebuah kejutan! Kami diminta untuk menyembelih ayam sendiri. Ya, ini ayam khusus bagi kami yang semuanya beragama Islam. Orang Wae Rebo sangat toleran kepada pengunjung yang berbeda agama. Mayoritas orang Wae Rebo adalah penganut Katolik yang teguh berlandaskan tradisi leluhur. Ary maju menyembelih seekor ayam hitam secara islami. Bismillah... Ayam ini nanti akan dimasak khusus untuk dihidangkan kepada kami.

Seisi rumah sekarang telah penuh dengan tamu yang duduk melingkar. Upacara Cyarangka pun dimulai. Kali ini upacara akan dipimpin oleh Aleksander Ngadus, tetua lain masyarakat Wae Rebo. Aleks Ngadus duduk di depan bersama Rofinus. Di sampingnya Primus dan orang tuanya. Istrinya Primus menggendong anaknya.

“Apa nama yang diberikan untuk anak ini?
“Prisicilla Angela”

Para tetua dan orang tua susah mengeja nama ini. Bahkan, lelaki muda asli Wae Rebo juga susah menyebutkan nama ‘impor’ ini. Berkali-kali salah menyebut. Barangkali dimaklumi, Primus adalah warga Wae Rebo yang sempat beberapa tahun merantau di Jakarta. Lalu pulang ke kampung halamannya. Ada persinggungan yang erat dengan budaya modern di kota. Nama anak pun bisa jadi terinspirasi oleh budaya baru itu. Saat ini, Primus menjadi guru pengajar di Pulau Mules.

Warga Wae Rebo pun tak masalah dengan nama ‘impor’ itu. Upacara tetap dilanjutkan. Seekor ayam putih didatangkan. Ayam putih ini awalnya dipangku oleh kakek Prisicilla kemudian diberikan kepada Aleksander Ngadus. Lalu, Aleks Ngadus mulai berseru-seru merapalkan doa dalam bahasa Manggarai. Sang ayam yang dipangkunya benar-benar tenang seperti dia sudah paham akan dikorbankan. Suasana ruangan pun ikut tenang, larut dalam seruan mendayu-dayu Aleks Ngadus.

Dalam Cyarangka, bayi akan diberi nama setelah berumur dua minggu. Bayi ini nantinya juga akan dibaptis di gereja Katolik di Denge, gerejanya orang Wae Rebo. Pertama kali, lantunan pada cyarangka ditujukan kepada para leluhur untuk penghormatan dan perizinan. Selanjutnya, pemberian nama kepada bayi. Setelah itu, sang bayi didoakan semoga menjadi bayi yang baik dan bermanfaat bagi orang tua dan Wae Rebo.

Sambil melantunkan doa, Aleks mencabut beberapa bulu yang besar pada sayap. Dua sisinya berkali-kali. Ayam pun berteriak-teriak gaduh tapi dapat dikendalikan. Bulu sayap ini nanti akan digantung di rumah sebagai lambang keselamatan dari leluhur. Tibalah saatnya ayam disembelih melalui ritual bahasa Manggarai. Ayam seketika mati. Darah mengucur deras, sebuah simbol kesuburan untuk tanah Wae Rebo.

Ayam yang diperuntukkan untuk tamu. Mas Ary dari Indecon menjadi perwakilan untuk menyembelih ayam kami.
Primus beserta istri dan anak pertamanya. Berbahagia. Aleks Ngadus memangku ayam putih untuk disembelih
Di rumah orang Wae Rebo ada potongan sayap ayam putih. Sebagai lambang simbol kemakmuran. Photo: @megahan25

Sekarang bayi perempuan yang cantik nan lucu itu resmi bernama Prisillia Angela. Prisilia pun dibopok papanya berkeliling diperlihatkan kepada hadirin. Saat dijepret oleh foto, dia rasanya ingin bergaya. Dia mulai akrab dengan modernitas. Kami menyalami Primus sebagai tanda ucapan selamat. Selamat Bang Primus!!!

“Makin langkanya ayam putih, ada permohonan agar ayam bisa digantikan dengan uang atau hewan lain. Tapi, karena makin berkembangnya wisata, penggunaan ayam putih tetap dipertahankan.” tutur seorang warga yang duduk di sebelah saya. 

Selesai upacara, kini para hadirin mengobrol bebas. Obrolan pun tak jauh-jauh dari pembicaraan hasil bumi, kopi, wisata, serta politik di NTT. Ya, saat kami datang, NTT baru saja mengadakan pilkada. Obrolan ini akan berlangsung cukup lama sampai makan siang datang. Kopi dan tembakau pun menjadi teman setia pembicaraan. Asap rokok memenuhi ruangan mengiringi cuap-cuap dari setiap insan.

Namun, tahu akan pulang sebelum siang, masakan ayam untuk kami pun didahulukan tersaji. Lagi-lagi kami merasa tidak enak hati. Tapi, masyarakat Wae Rebo dengan senang hati mempersilakan kami makan terlebih dulu. Sebuah sarapan istimewa dengan lauk ayam dari Wae Rebo. Kuah santannya serasa opor di Jawa. Hanya tidak pakai lontong. Sebuah hidangan di tengah ritus tradisi. Kami benar-benar sangat berterima kasih.

SMP. Sudah Makan Pulang. Kami terpaksa berlaku cukup kurang sopan. Siang sudah kian menjelang. Kami pun berpamitan. Menyalami tuan rumah, para tetua, dan semua warga yang hadir. Tak henti-hentinya kami berterima kasih dan meminta maaf atas kekurangsopanan ini. Tapi, mereka cukup mafhum. Sekalian, kepada para warga, kami mengucapkan salam perpisahan akan meninggalkan Wae Rebo...


***

“Pemahaman akan kebutuhan bersahabat dengan alam itu bagi masyarakat perlu diturunkan kepada generasi berikutnya sejauh pengalaman cara berhubungannya pernah membuahkan hasil gemilang yang membahagiakan semua anggota.”  - Prof. Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur UI dalam buku Pesan dari Wae Rebo

Masih ada waktu sedikit untuk mengenali arsitektur rumah Mbaru Niang Wae Rebo. Tentu sayang sekali kalau meninggalkan Wae Rebo tanpa membawa kisah tentang bangunan arsitektur Mbaru Niang yang mendapat penghargaan internasional. Bagi saya, bisa tahu seluk beluk apa yang menjadi khas dari Wae Rebo adalah sebuah keniscayaan. Beruntung, Frans Muder mau berbagi informasi tentang bangunan Mbaru Niang.

Seorang warga sedang mendorong Paratongang. Jendela unik dalam Mbaru Niang Wae Rebo
Ngando di rumah induk Mbaru Tembong. Seperti kepala banteng. Beda dengan Niang Gena lainnya. @megahan25
Mbaru Niang Gena. Ngando-nya hanya berupa pentol biasa.

Dari sejarahnya, Mbaru Niang telah ada sejak ratusan tahun. Empo Maro dan keturunannya mewarisi teknik pembangunan Mbaru Niang. Bangunan Mbaru Niang menggunakan teknologi ikat pada sambungan struktur bangunan. Rotan menjadi pengikat bambu dan kayu. Hasilnya menciptakan bangunan yang kokoh tapi fleksibel.

“Bangunan Mbaru Niang diteliti oleh peneliti ITB bisa tahan gempa. Sejak ratusan tahun lalu, leluhur sudah bisa hidup harmonis dan tahu kondisi alam Manggarai yang rawan gempa, sehingga diciptakanlah Mbaru Niang yang bisa tahan gempa.” ucap Frans bangga.

Wae Rebo menyediakan sebuah pelajaran penting  tentang kearifan arsitektur tradisional Nusantara yang bisa bertahan berabad-abad. Hal ini bisa diadaptasi oleh bangsa Indonesia yang berada pada Cincin Api dimana aktivitas vulkanik dan tektonik dunia berpusat di dalamnya. Pembangunan di Indonesia harus belajar banyak dari khasanah Wae Rebo. Wae Rebo bisa menjadi contoh komunitas yang terbukti bisa bertahan seribu tahun dalam lingkungan rawan bencana.

Mbaru Niang secara pokok memiliki lima tingkatan. Tingkatan pertama disebut tenda. Lantai dasar ini menjadi tempat berlangsungnya kegiatan para penghuni Mbaru Niang. Tenda dibagi dua yakni nolang  dan lutur. Nolang merupakan zona privat tempat aktivitas keluarga, terdiri kamar tidur dan tungku. Lutur adalah zona publik tempat tamu beraktivitas.

Tingkat kedua hingga kelima disebut berurutan, yakni lobo, lentar, lemparai dan hekang kode. Tingkat-tingkat ini berfungsi untuk menyimpan bahan makanan, meletakkan peralatan rumah dan kayu api. Lalu, di tempat paling pucuk ada ruang bernama kilikiang untuk menaruh langkar atau peranti sesaji.

Ada sembilan tiang yang menjadi penopang beban bangunan pada Mbaru Niang, disebut hiri mehe. Pada Hiri mehe paling tengah lalu diteruskan dengan mendirikan Ngando dari kayu worok yang akan menembus atap. Untuk membentuk topi kerucut pada Mbaru Niang dibuatlah rangka dari bambu, yang disebut buku. Lalu, atap Mbaru Niang yang berasal dari alang-alang dan ijuk diikatkan pada buku. Atap alang-alang ini disebut Wehang.

Di Wae Rebo, ada dua jenis Mbaru Niang, yakni satu rumah utama disebut Mbaru Tembong atau Niang Gendang dan enam rumah biasa disebut Niang Gena – masing-masing tiga di sisi kanan dan kiri Mbaru Tembong.  Mbaru Tembong berdiameter 14 meter dengan tinggi 14 meter. Adapun Niang Gena berdiameter 11 meter dengan tinggi 11 meter. Pada Ngando Mbaru Tembong berbentuk seperti tanduk kerbau.

Mbaru Tembong dihuni oleh delapan keluarga yang merupakan semua utusan keluarga keturunan moyang Wae Rebo. Penghuni Niang Gena adalah pemekaran keluarga di Mbaru Tembong yang jumlahnya enam keluarga. Seiring berkembangnya penduduk Wae Rebo, banyak yang mendirikan rumah di sekitar Wae Rebo atau keluar di daerah Denge dan Kombo.

“Mbaru Niang di Wae Rebo memiliki nama masing-masing. Dari sebelah barat, Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Mbaru Gendang, Niang Gena Karo, Niang Gena Jintarn dan Niang Gena Maro yang untuk wisatawan.” jelas Frans berurutan sambil menunjukkan dengan jarinya.

Kerangka bangunan Mbaru Niang. Photo: http://www.bdonline.co.uk


Penampakan dari dalam. Atap yang bertingkat-tingkat.
Ruangan yang bernama lutur, zona publik di Niang Gena Maro. Lantai pertama tempat warga tinggal.

Saat pagi sang waktu berjalan lambat, tapi menjelang pulang rasanya waktu seakan berlari. Tidak terasa sudah menginjak pukul 10.00. Masih banyak kisah yang akan diceritakan Frans Muder. Tapi, kami terpaksa harus bersiap lepas dari Wae Rebo. Uang administrasi tanda masuk ke kampung Wae Rebo pun kami bayarkan kepada Mama Nina yang juga mengurusi masalah keuangan.  Setiap orang dikenakan Rp 250.000.

“Uang itu disepakati secara adat digunakan untuk merawat Mbaru Niang, pengembangan pariwisata Wae Rebo serta biaya makan para tamu.” ungkap Nina menjelaskan secara transparan agar para tamu tidak merasa bertanya-tanya kenapa harganya mahal.Biaya sejumlah itu dapat mengizinkan para tamu tinggal di Wae Rebo selama tiga hari. Apabila lebih dari tiga hari, maka akan ada pertemuan adat untuk membahas biaya yang dikenakan kepada tamu.

Vitalis telah menunggu di luar. Dia akan mendampingi kami lagi untuk pulang. Berjalan bersama lagi menembus lebatnya hutan lindung. Sebelum berpamitan dengan Frans Muder dan Mama Nina, saya berikan cinderamata khas Jawa kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW). Sebuah wayang Arjuna. Kenapa Arjuna? Arjuna adalah tokoh wayang yang peduli terhadap kebudayaan. Arjuna suka keindahan dan kedamaian.

Harapan dari pemaknaan Arjuna ini, Wae Rebo tetap menjadi kampung yang mengedepankan kelestarian budaya. Menjaga pesan  warisan Empo Maro dan leluhur lainnya. Meskipun, kini keberadaannya telah tersohor ke seluruh dunia yang menarik minat pariwisata. Wae Rebo mesti teguh sebagai penjaga utama tradisi asli Manggarai.  Mohe, Wae Rebo! Hidup Wae Rebo!


***

Di Nampe Bakok, saya pertama kali bisa mengintip Wae Rebo. Dan, di pos itulah juga, saya kali terakhir menyaksikan Wae Rebo dan Mbaru Niangnya. Kali ini pun sangat samar-samar. Mendung begitu cepat turun menyerbu. Menghijab kubangan tempat Wae Rebo berpijak dikelilingi pegunungan.

Di situlah, dalam balutan awan suram saya pun mengucap: Selamat Tinggal Wae Rebo! Semoga saya punya kesempatan kembali berkunjung padamu.

Setiap kehadiran akan teriring juga perpisahan. Setiap perpisahan selalu diiringi harapan untuk kembali. Semacam sebuah siklus. Saya merasa sehari singkat di Wae Rebo begitu padat makna. Mampu  membuat hati saya tertancap di Wae Rebo begitu dalam. Rasanya begitu sedih saat seorang anak manusia harus meninggalkan kampung halamannya. Anak Wae Rebo kini harus merantau lagi. Merantau untuk pulang ke realitas asalnya.

Perjalanan turun ke Denge hanya butuh dua jam. Selain medan jalan yang dominan turunan, perjalanan terasa lebih cepat karena sepanjang jalan saya terus terngiang bayang-bayang keramahan, kebaikan, keluhuran dan keindahan Wae Rebo. Segala kenangan indah membuat roda waktu lebih terasa cepat berputar.

“Saat Penti, semoga Anak bisa datang ke Wae Rebo. Penti adalah tahun baru orang Wae Rebo. “ harap Vitalis. Setiap Penti akan dirayakan secara meriah. Segenap warga Wae Rebo akan berpesta tumpah ruah. Anak-anak Wae Rebo kembali ke kampung halamannya.

Vitalis memberi kulit kayu sumong saat kami berpamitan pulang. Katanya, ini menjadi tanda mata dan rasa yang akan selalu merawat ikatan hati antara Anak Wae Rebo dan kampung Wae Rebo. Kami meninggalkan Kombo dengan menabung berjuta harapan bisa balik ke Wae Rebo. Semoga suatu saat sang Anak dapat kembali pulang ke ‘kampung halaman’ nya!    


|| Tulisan ini adalah bagian ketiga dari cerita perjalanan saya di Wae Rebo. Cerita sebelumnya bisa disimak di:

    1) Menjadi Anak Wae Rebo 
    2) Wae Rebo, Mendunia lalu Menusantara


Kucing yang didatangkan dari Jakarta. Mengusik semalamku di Wae Rebo.
Mereka adalah harapan Wae Rebo untuk melestarikan tradisi di tengah modernitas.
Gundukan compang di tengah jejeran Mbaru Niang. Pusat pelaksanaan tradisi.
Surya hendak merayapi puncak gunung yang melingkari Wae Rebo. Sebuah pagi yang istimewa
@iqbal_kautsar eksis di Wae Rebo. Senang bisa menjadi anak Wae Rebo. Terima kasih untuk fotonya @megahan25
Primus beserta Prisillia Angela. Imut dan manis!! @megahan25


You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK