Warna Warni Toleransi Grebeg Sudiro

Februari 03, 2016

Grebeg Sudiro, Harmoni sejati Jawa dan Tionghoa di kota Solo. 

Rentengan lampion-lampion tergantung semarak di arena Pasar Gede. Di kolongnya, gunungan hasil bumi beserta ube rampe ratusan buah dan sayuran diarak melintas bersama barisan ibu-ibu pedagang pasar. Sebelumnya, gunungan kue keranjang ramai diarak oleh bapak-bapak berbusana lurik dan batik. Barongsai pun menyusulnya, menari rancak dimainkan muda-muda Tionghoa yang layak menjadi bintang jalanan. Awalnya, pasukan Kraton Surakarta telah mendahului dengan berbaris kompak sembari memainkan tetabuhan Jawa.
   
Ini memang momen untuk menyambut Imlek. Namun, kegiatan yang dikerumuni oleh ribuan warga Solo dan sekitarnya ini memiliki nama Grebeg Sudiro yang diidentikkan dengan tradisi Jawa. Grebeg merupakan tradisi Jawa untuk menyambut hari-hari khusus Jawa. Puncak perayaan grebeg ini ialah saat terjadi perebutan hasil bumi, makanan, dan lain-lain yang disusun membentuk gunungan. 

Ada pertautan manis antara tradisi Tionghoa dengan Jawa pada acara tahunan warga di Sudiroprajan, sekitar Pasar Gede. Di Sudiroprajan, Solo memang dari dulu hidup berdampingan antara masyarakat Tionghoa dan Jawa.  Bahkan, pernikahan antar dua etnis sudah lazim terjadi yang menciptakan generasi baru. Grebeg Sudiro menjadi peringatan keharmonisan mereka yang dirayakan setiap 7 hari sebelum Imlek. Di perhelatan tahun 2016, Grebeg Sudiro dilaksanakan pada 31 Januari 2016.

Patung Garuda Pancasila kini melintas menjadi simbol yang lugas semboyan Bhinneka Tunggal Ika di Grebeg Sudiro. Ternyata bukan sekedar si Jawa dan si Tionghoa yang memeriahkan. Turut pula beragam suku bangsa di Indonesia yang hadir melengkapi khasanah Grebeg Sudiro. Ada komunitas Dayak, Banjar, Lampung, Jambi, dan Arab di kota Solo dan sekitarnya yang turut menjunjung Grebeg Sudiro sebagai sewujud nyata toleransi di kota Solo. Indonesia hadir dalam wujud optimis di Pasar Gede, siang itu. Di antara kerumunan yang tak mau menyerah oleh guyuran hujan sesaat sebelum acara bermula, saya menjadi saksi betapa manisnya persaudaraan lintas suku bangsa.

Saya sangat bergairah mengabadikan acara kreatif andalan kota Solo yang tumbuh dari ketulusan dan keikhlasan masyarakatnya. Saya merasakan semangat si peserta dan si penonton bersepakat bahwa toleransi harus hadir di Solo yang tersusun dari aneka ragam komunitas suku bangsa sejak lampau kala.  Dengan demikian, semestinya stigma negatif Solo sebagai salah satu daerah ‘produsen’ terorisme bisa dienyahkan. Begitu bukan? Ah, Solo memang sangat berwarna. 


Keceriaan Bhinneka Tunggal Ika
Kemerdekaan berswafoto.
Karena instagram harus diisi dengan totalitas.
Menunggu reda, menanti acara.
Kue Keranjang.
Lampion lintas masa.
Barongsai penanda identitas
Ekspresif.
Awwwwrrrrrr... Tapi terlampau imut.

Refleksi lintas warna.

Hanoman.
Melangkah dalam genangan.
Ajeg, konsisten.
Diam di antara lalu lalang.
Menuju akhir.
Berebut. Saya dapat.
Di jeruji lantai dua.
Kenang-kenangan kue keranjang.


You Might Also Like

5 komentar

  1. Balasan
    1. hayuuklah mas Timo, kita nanti imlekan di China Town Melbourne aja ya,, :D

      Hapus
  2. Baru baca ini... ternyata dirimu di Solo toh pas Grebeg Sudiro, gak kanda-kanda hehehe. Tahun ini malah duduk manis di rumah sambil dengerin suara MC yang keras banget itu dari rumah karena udah memprediksi akan hujan deras siang harinya ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha.. waktu itu sayangnnya aku cuma tanya "apakah mas Halim di Solo?" harusnya langsung to the point, yuk mas kita nonton Grebeg Sudiro. Lain kali klo ke Solo harus pamit sama si bahureksonya..

      aku mau banget diajak wisata heritage Solo

      Hapus
    2. Hujan deras bisa denger, gak kebayang spikernya keras banget
      PUBLIC SPEAKING SEMARANG
      Salam kenal bang Halim

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK