Kekalahan yang Terdidik

Juli 11, 2009

Golput, memilih untuk tidak memilih

Bangsa ini mesti berbangga. 8 Juli kemarin, Pilpres telah berlangsung dengan aman dan lancar. Hajatan besar demokrasi lima tahunan ini secara umum bisa berlangsung damai, tanpa dibumbui kericuhan besar yang mencederai pelaksanaannya. Sebuah prestasi gemilang bangsa ini mampu ditorehkan, menambah deretan prestasi demokrasi lainnya yang sudah kita peroleh setelah menghirup harumnya aroma reformasi, semenjak 11 tahun silam.

Pilpres 2009 adalah kemenangan rakyat. Rakyatlah yang berkuasa memilih pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan. Hasil yang bisa kita lihat sekarang adalah hasil dari ikhtiar rakyat yang menginginkan kehidupannya lebih baik. Kemenangan sepasang capres-cawapres adalah simbolisasi atas kemenangan rakyat. Ini memang tak salah, dalam sebuah negara demokrasi yang kuat, sosok pemimpin menjadi sebuah simbol atas kekuasaan rakyat. Itu lah yang mesti terjadi pula di negara ini.

Memang, dalam setiap pesta demokrasi pasti terdapat pihak yang kalah karena sejalan dengan sistem yang mengharuskan pemilu menghasilkan sesosok pemimpin. Namun, kekalahan itu adalah sesuatu yang semu. Semua pihak sebenarnya adalah pemenang karena mampu mengantarkan Pemilu kali ini sukses dan menjadi sejarah indah demokrasi bangsa ini. Alhasil, bagi yang kalah karena kekalahan perolehan suara itu, harus bisa menerimanya dengan jiwa besar. Pihak yang kalah sudah sepatutnya bersikap legawa menerima kenyataan yang terjadi karena ini adalah upaya edukasi kepada rakyat bahwa kekalahan juga menjadi bagian penting dari proses demokrasi yang sehat.

Kekalahan tidak selalu harus dimaknai secara negatif. Mungkin orang selalu beranggapan pihak yang kalah adalah orang yang terhina, lemah ataupun busuk. Akan tetapi, anggapan itu tidak boleh ada dalam negara Indonesia ini, negara yang terkenal dengan sikap toleransinya. Kekalahan sebenarnya bisa mengantarkan pihak yang kalah menjadi oposisi.

Namun, oposisi di sini bukanlah sebagai pihak yang memecah belah ataupun selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Oposisi harus diintenalisasikan sebagai kekuatan checks and balances terhadap yang bertahta. Oposisi bukanlah aib, tetapi sama terhormatnya dengan penguasa. Yang terpenting adalah spirit pengabdiannya kepada bangsa dan negara tetap menyala kuat, tak redup oleh kekalahannya.

Sayangnya, kekalahan laten yang sebenarnya, tidak selalu mampu kita antisipasi dan atasi dalam Pilpres kali ini. Realitas yang terjadi dalam Pilpres 2009 mungkin bisa sebagai indikator kekalahan besar dalam demokrasi kita. Ini berkaitan dengan tingginya angka golput. Angka golput Pilpres 2009 meningkat dibandingkan Pilpres 2004. Secara implisit ini menunjukkan bahwa partisipasi politik rakyat mengalami kemunduran. Dan, kemunduran merupakan sumbu utama dari kekalahan. Golput lagi-lagi jadi musuh bisu atas terlaksananya pesta demokrasi yang sehat.

Mungkin mahasiswa perlu bercermin pula terhadap realitas yang ada, terutama kita sebagai mahasiswa UGM. Kita mungkin sedikit tahu bahwa di UGM, tepatnya di Auditorium Fakultas Peternakan, saat pilpres kemarin, terdapat TPS kampus khusus mahasiswa kompleks UGM yang dinamai TPS 88. TPS ini sedianya untuk mengakomodasi sekitar 29.000 mahasiswa UGM luar daerah untuk menyontreng, tetapi hasilnya hanya terdapat 524 mahasiswa yang peduli datang ke TPS ini. Itu pun hanya 376 yang menggunakan hak suara, 2 tidak sah dan 126 memilih untuk golput.

Cerminan itu memang tidak bisa menggambarkan secara utuh atas realitas golput pada mahasiswa UGM karena mungkin mahasiswa luar daerah pulang ke daerahnya untuk menyontreng. Akan tetapi ini dapat sebagai pembelajaran bahwa maraknya golput di kampus adalah cerminan atas sikap mahasiswa untuk rakyat. Kita perlu bertanya, apakah dunia kampus terlalu eksklusif bagi rakyat? Sehingga mahasiswa tidak berinisiatif untuk ikut dalam pesta demokrasi rakyat, entah terposisikan sebagai golput administratif ataupun idealis. Mahasiswa mungkin telah kalah pada pencitraan politik yang buruk sehingga sangsi ikut serta dalam proses politik seperti Pilpres ini.

Sesungguhnya, kampus adalah inisiator utama pembangunan yang menyejahterakan rakyat. Kita tentu tidak ingin bahwa dengan meningkatnya kualitas pendidikan itu sejalan dengan meningkatnya golput di kampus atau yang dikenal dengan golput terdidik. Jikalau terjadi, mungkin itu merupakan kekalahan yang nyata karena pendidikan tinggi kita. Pendidikan kita gagal mencetak orang-orang yang peduli atas demokrasi rakyat.

Kemenangan rakyat yang berhasil melahirkan pemimpin bangsa selama lima tahun ke depan mungkin bisa saja hanya sebagai angin lalu bagi mahasiswa pecinta golput. Mereka sesungguhnya telah dikalahkan oleh ‘idealisme’ yang merupakan penafsiran buta dan sempit atas egonya sendiri. Mereka tak mau dengan legawa ikut membangun bangsa dengan berpartisipasi pada pesta demokrasi rakyat kemarin. Pastinya, sematan agen perubahan bangsa pada mahasiswa perlu dipertanyakan lagi.

You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK