Bermanja Ria di Pantai Ngobaran - Nguyahan

Januari 29, 2010

Laut luas berbatas cakrawala dari atas tebing Pantai Ngobaran

Panas begitu terik siang itu. Rasanya sang matahari puas menyinari bumi tanpa terhalangi awan-awan yang biasa merintanginya. Hanya secuil awan-awan kafilah kecil yang coba melintasi muka matahari, sekedar lewat menuju tempat saudara-saudaranya di utara. Ya, di utara, awan-awan telah menggumpal merapatkan barisan, membangun sumber hujan. Aku rasa di utara akan turun hujan deras: gumpalan awan kian menghitam dan melebar.

Namun, kondisi ini kontras dengan langit biru Pantai Ngobaran. Langit bersih dan suci. Lautan jelas mengkilap biru. Di kejauhan menembus cakrawala biru, kapal tanker sedang melintas, mungkin dari atau sedang menuju Australia, melewati perairan lepas. Sesekali muncul perahu-perahu nelayan tradisional yang rajin menangkap ikan. Pantai Ngobaran ini satu kompleks dengan Pantai Ngrenehan, sebuah pelabuhan ikan nelayan di sela-sela bukit karang tandus Gunungkidul. Jadi, pantas saja banyak nelayan yang berkeliaran sampai pantai Ngobaran.

Itulah gambaran sekilas saat kami menjejakkan kaki di parkiran Pantai Ngobaran. Sebelumnya, kami merasakan betapa lelah dan menggiurkannya perjalanan dari Imogiri. Jalan naik turun berkelok-kelok, daerah di sekitar yang sepi dan semakin tandus ke selatan, serta berkali-kali berhenti untuk sekedar ke toilet, istirahat ataupun menunggu Wana-DA yang sengaja tertinggal di belakang.

Tak berlama-lama di parkiran, kami segera menuju ke pantai Nguyahan, begitu orang sekitar menyebutnya, yang ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 300 meter. Praduga kami, pantai Ngobaran itu termasuk juga pantai Nguyahan. Namun, ternyata setelah dijelaskan penduduk setempat, ternyata berbeda. Pantai Ngobaran adalah pantai-sebenarnya lebih tepat tebing –yang terdapat wihara, tempat beribadah orang Budha. Sedangkan, Pantai Nguyahan adalah pasir putih yang terhampar luas dengan berbataskan karang-karang terjal tapi indah menawan di sebelah barat Pantai Ngobaran.

Sampai lah kami Pantai Nguyahan dengan nafas tersengal-sengal setelah berjalan melewati jalan yang sebenarnya tidaklah susah untuk ditaklukkan. Pertama kali melihat pantai itu, orang pasti akan takjub melihat menawannya Pantai Nguyahan. Sayangnya, aku, Kinkin dan Jauhari sudah pernah ke pantai ini sebelumnya. Hanya pasangan Wana-DA yang belum pernah berlibur ke pantai sepi ini dan keduanya cukup berkesan.

Pesona Pantai Nguyahan

Akhirnya, karena lelah plus cuaca panas menyengat membakar kulit-kulit kami yang peka, saat itu kami langsung berupaya mencari tempat teduh. Tentu, berteduh sambil tiduran beralaskan pasir putih di bawah cekungan karang dampak abrasi laut adalah kenikmatan yang diidam-idamkan di tengah panasnya khas pantai. Waktu itu jam HPku menunjukkan angka 10.54. Belum berpuncak pada siang hari, tetapi langit bersih menjadi aksioma bahwa terik matahari dengan lancar sampai ke permukaan Bumi.

Kami pun langsung bersemayam di tempat yang kami idam-idamkan: di cekungan karang beralaskan pasir putih lembab tapi kering. Langsung dingin sejuk badan ini seketika. Benar-benar terselamatkan dan tersembuhkan dari panas yang kian menghebat. Untung saja tempat itu bisa menjadi penyelamat kami, sesungguhnya jika kami datang di siang mendekati sore, tempat itu tergenang air laut yang pasang.

DA, Kinkin dan Jauhari segera mencari tempat yang pas untuk merebahkan dirinya. Aku pun ikut mencari dan sempat berpindah sekali dari tempat tertimur ke terbarat, mengikuti insting mendapatkan tempat paling nyaman. Adapun Wana lebih memilih melampiaskan indahnya tempat ini dengan berjalan-jalan menuju tempat yang lebih berkarang-karang: di ujung pantai sebelah barat.

Kami berempat pun mengobrol membicarakan betapa nikmatnya berada di tempat ini. Sepi, sejuk dan berpadu dengan lelah yang hebat adalah padanan tepat untuk menjustifikasi bahwa sangat tepatlah kami berada di sini. Untuk orang-orang yang ingin menyepi sejenak, kondisi ini adalah kesempurnaan. Dan, bagi kami berlima, situasi ini pula adalah kesempurnaan.

Apalagi, semilir angin lembut khas pantai dan suara deburan ombak laut menambah ketenangan jiwa bagi yang sedang berhasrat menenangkan jiwa. Tak kalah di tepian koral dengan lautan bebas, sesekali ada satu-dua burung yang mencari makan, entah makanan itu ikan, siput laut atau apalah yang lain. Tak tahu apa yang menjadi makanan favorit burung-burung itu. Juga, beberapa manusia melintas di depan pandangan kami, yang mungkin sedang mencari sesuatu seperti apa yang burung-burung cari. Kami benar-benar menikmati anugerah Allah SWT yang luar biasa ini.

Tak berapa lama, obrolan kami, yang sambil tidur terlentang di pasir, makin meredup. Entah ini karena aku yang pertama tertidur, entah yang lain. Aku benar-benar terlelap karena saat itu lelah dan kantuk mengkristal dibumbui kenyamanan tempat yang kurebahi. Setelah setengah jam kiranya, Wana membangunkanku dengan makhluk ‘pompong’ kerang. Dia menunjukkan hasil penjelajahannya di ujung barat itu. Namun, aku hanya membuka mata saja tanpa menegakkan badanku. Hanya sebentar saja, Wana pun pergi mengusung kameranya dan aku terlelap lagi: kantuk masih menghinggapi diriku.

Pukul 11.40, aku terbangun dan langsung melihat jam HPku. Yang lain masih pulas tertidur. Aku berniat jalan-jalan menyingkap lebih dalam rasa ingin tahuku atas lokasi ini. Aku menuju ke tempat seperti Wana yang kutuju: ke ujung barat pantai Nguyahan. Di kejauhan ujung timur, Wana malah terlihat ‘memadu’ hubungan dengan seorang nenek pencari kerang. Mereka terlihat asyik saling berinteraksi, walaupun kelihatannya cukup serius.

Kujalan sendiri ke ujung pantai yang penuh bebatuan terjal. Aku berjalan lewat koral yang waktu surut bisa dilewati dengan mudah, tetapi ketika pasang tingginya akan selutut orang dewasa. Karang koral demi karang koral kupijaki. Berarti pula aku meloncati kolam-kolam di sela karang-karang itu. Sambil memandang ke kolam tenang itu, aneka ikan-ikan terlihat asyik bermain saling berkejaran. Tak ketinggalan, kepiting laut bermain petak umpet di sela-sela karang. Sungguh dinamis ekosistem kecil pantai ini, tak tahu mungkin keindahan ini beberapa jam lagi sirna seiring air laut pasang merambah daratan.

Aku pun sampai di ujung pantai. Kulihat ada pantai kecil dan spesial, yang terlindungi tebing karang, beralaskan dengan pasir putih yang lebih bersih dan halus butirannya. Aku berangan andaikan sepasang manusia yang sedang mencari tempat berkasih, ini mungkin jawabannya. Atau bisa juga sebagai tempat mesum bagi para pecinta seks akut. Sungguh tak diharapkan perbuatan seperti itu, hanya mencemari keindahan dan kesucian alam ciptaan Allah SWT.

Aku coba mendaki karang-karang itu. Aku berharap menemukan view yang luar biasa di tempat terasing ini. Saking semangatnya, aku sempat terpeleset tapi untung tak terjatuh. Lecetlah di tanganku akibat perbuatan kurang perhitunganku di samping ketidakberdayaan meredam hasrat untuk ke puncak karang. Ternyata, sampailah aku di puncak dan tidak menemukan apa yang kuharapkan. Das sollen versus Das sein. Biasa saja, hanya karang-karang tinggi terjal yang langsung dihempas ombak di kaki-kakinya.

Tak berlama-lama di situ, aku pun pergi menyeberang ke arah timur. Kulihat sepintas ternyata kawan-kawanku masih pulas tertidur. Ya, mungkin mereka sedang bermimpi indah. Sedangkan, Wana ternyata sudah tidak lagi di ujung timur pantai. Terlihat di sela-sela pohon yang mengarah ke kampung penduduk pantai, Wana sedang berinteraksi dengan sepasang kakek-nenek renta. Pikirku itu adalah keluarga nenek yang tadi bersama dengan Wana. Aku tertarik menyusul Wana.

Aku pun menyapa mereka ketika telah tiba. Wana lantas memperkenalkanku kepada nenek itu bahwa aku adalah temannya yang sama-sama datang dari Yogyakarta. Saat itu, si kakek sedang berada di sebelah rumah bersama tetangganya untuk menguraikan kacang-kacang hasil kebunnya. Kulihat Wana ketika sedang berinteraksi dengan nenek agak roaming mencerna perkataannya.

Ketika aku datang, akhirnya masalah itu sirna. Aku berhasil menjadi penerjemah yang baik: Indonesia-Jawa begitu pula sebaliknya. Karena aku yang lebih mudah berkomunikasi, akhirnya malah aku yang lebih asyik diajak berkeluh kesah nenek itu. Wana lebih sibuk dengan kameranya, menjepret fenomena kehidupan masyarakat pesisir ini. Tak berapa lama, kakek itu mendekat dan obrolan pun beralih dengan kakek itu. Sang nenek menjadi riuh memberi makan ayam-ayamnya.

Mbah Mulyono, kakek perawat setia Pantai Nguyahan

Kakek itu bernama Mulyono, mengaku berusia sekitar 80 tahun, sedangkan nenek itu aku tak tahu namanya-Wana yang tahu tetapi lupa akhirnya. Mereka berdua adalah penduduk asli pantai Nguyahan, yang selanjutnya dalam perjalanan hidupnya ditemani penduduk pendatang dari daerah Wonosari, Yogyakarta, dll. Mereka berputra empat, tetapi tak satupun yang tinggal bersama orang tuanya di pesisir pantai. Rumahnya hanya berupa gubuk bambu yang reot, peyot dan renta. Ukurannya pun hanya ideal ditinggali sepasang renta yang cintanya abadi, hanya sekitar 8 x 6 meter. Tak ada listrik mengalir menghidupkan lampu ketika malam hari, apalagi televisi bahkan kulkas laiknya kehidupan umum masyarakat kota. Yang menjadi perabotnya adalah ruangan dari gubuk itu sendiri.

Mereka hidup sungguh ‘kelewat’ sederhana dan boleh dikatakan menderita. Mereka adalah dua orang di antara 34 jutaan kaum miskin Indonesia, yang sampai saat ini terus dimarjinalkan. Belum ada upaya solusif untuk mengentaskan mereka dari lingkaran busuk kemiskinan. Andalan pemerintah: BLT kah, hanya menyelamatkan masyarakat miskin kota. Itu pun bagi mereka telah dirasakan berpuluh bulan yang lalu dan sekarang sudah tak berbekas lagi, tak berguna. Akan tetapi, mereka tidak cerewet meminta bantuan pemerintah. Mereka tidak butuh belas kasihan pemerintah. Asal masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan dapat hidup nyaman tak diusik, mereka sudah merasa bahagia. Peaceful life in their old time!

Hewan karang yang ditemukan di sekitar Pantai Nguyahan. Ini biasa menjadi santapan makanan.

Kini mereka hanya mengandalkan hidup dengan apa yang mereka tanam sendiri di kebun belakang rumahnya. Benar-benar kemandirian yang menjurus pada kehidupan primitif, layaknya manusia yang belum mengenal uang. Jagung, padi, sayur dan bahan makanan alami lainnya, mereka tanam lalu konsumsi sendiri. Tak terpintas di benak mereka untuk dijual ke pasar. Bagi mereka yang sudah renta, tak cukup tenaga ke pasar untuk menjual hasil bumi mereka. Cukup dinikmati sendiri untuk bertahan hidup. Adapun untuk lauknya, mereka mengandalkan hewan-hewan karang, yang ditangkapnya setiap harinya. Mereka memakan hewan seperti ulat, yang dinamakannya usal dan…. Aku lupa karena istilah itu asing sekali.

Ketika kami berkunjung, mereka sedang mengeringkan jagung agar bisa dikonsumsi sebagai makanan untuk dirinya dan juga ayam-ayam peliharaannya. Makan pun sampai berbagi dengan ayam, sungguh kemiskinan yang kentara. Selain itu, kacang-kacang tanah pun mereka keringkan, sebagian baru dipisahkan dari batang atasnya. Mereka juga mengurung ayam-ayam yang sudah dewasa dalam ‘kurungan’, dengan bermaksud agar ayam itu tidak memakan tanaman-tanaman pangan di kebun. Sedangkan, anak-anak ayam dibiarkan bebas berkeliaran, tetapi mereka sangat jinak ketika dipegang manusia. Wana dengan asyiknya bermain dengan ayam-ayam kecil itu. Kakek-nenek itu lantas membanggakan ayam-ayam peliharaannya yang jinak itu.

Tak berapa lama, kami sayup-sayup melihat Kinkin, DA dan Jauhari sudah bangkit dari tidur pulasnya. Mereka lalu mengajak aku dan Wana untuk segera bersiap pulang. Aku masih asyik mengobrol dengan Kakek Mulyono dan Wana masih asyik menjepret sana-sini. Untuk kenang-kenangan, Wana berniat memotret wajah Mulyono. Sayangnya, keinginan Wana tidak dikabulkan Mulyono. Menurutnya, wajahnya yang tua renta ini sudah tidak pantas difoto lagi, nanti orang kota yang melihatnya akan ketakutan. Dia berkata sambil terkekeh-kekeh dan kami pun tertawa. Kami mengiyakan untuk menghormatinya.

Aku dan Wana sadar sudah ditunggu Kinkin, DA dan Jauhari di ujung jalan sana. Lantas, kami berpamitan dengan kedua pasangan renta ini. Tak lupa berpamitan pula kepada tetangga-tetangga Kakek Mulyono. Sungguh momentum yang bagiku sangat mengena di hati dan menyadarkan bahwa kemiskinan memang banyak dijumpai di mana saja, termasuk di tempat wisata yang indah ini.

Aku pun lalu berpikir, betapa ironis memang di tempat wisata pantai yang dijadikan lumbung penghasil PAD pemerintah, masyarakat miskin pesisir hanya dipajang di etalase obyek tanpa ada upaya untuk lebih memanusiakan mereka. Malahan pikirku, mereka sengaja ‘dirawat’ kemiskinannya, dijadikan sebagai komoditas wisata untuk menambah keindahan keterpencilan tempat wisata. Semakin natural tempat wisata itu, semakin menarik untuk dikunjungi. Ya, akhirnya kemiskinan dan keterbelakangan memang ternyata laku juga untuk dijual sebagai pelengkap obyek wisata.

Kami berlima akhirnya berkumpul lagi setelah sekitar sejam berpisah. Kami lalu berniat naik ke puncak bukit karang yang di puncaknya terdapat kuil, kecuali Kinkin yang lebih memilih menunggu langsung di parkiran motor. Ternyata jalur untuk mendaki puncak sudah disemen. Ini berbeda dengan apa yang kualami hampir setahun lalu ketika masih semak liar dan beralaskan batu. Selain menikmati panorama luas, sesampai di atas, aku pun sempat melakukan foto loncat ala CLR untuk meneguhkan eksistensi CLR. Tak lama di puncak, kami pun menyusul ke Kinkin.

Loncat di atas tebing. Tinggi seakan menggapai langit..
Pantai Depok adalah destinasi berikutnya. Makan siang sekaligus menunggu sunset di sana. Kami pun lalu meninggalkan Pantai Ngobaran menuju Pantai Depok. Lagi-lagi lewat Panggang ke barat dengan tembus ParangTritis. Berarti kami bersiap untuk menguras tenaga menjelajahi perbukitan kapur Gunungkidul yang tandus….



You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK