Mengalirkan Air Segar Kepemimpinan ke Pelosok Desa

Januari 05, 2011

Mungkin Eri kesepian di sana!

Dari ranah Minang terpelosok, ia bermimpi bisa membangun daerahnya. Sebuah nagari–serupa desa kalau di luar Sumatera Barat–di pinggang Gunung Sago. Umurnya 32 tahun, penuh energi, senyum selalu saja merekah. Menerawang lepas memupuk idealismenya: dari nagari kita bisa membangun, tak perlu menunggu aliran dana melimpah dari kota. Ya, dengan kemandiriannya sendiri! Berbekal pengalaman mantan ketua karang taruna nagari, pun, pemuda-pemudi, ia sutradarai sebagai aktor utama penggerak kemajuan nagarinya.

Panorama Nagari Lubuk Jantan, Kecamatan Lintau Buo Utara, Tanah Datar

Sayang, sampai detik ini, ia hanya bisa meyakinkan makhluk-makhluk renta. Mayoritas di atas setengah abad usianya. Sedikit –kalau terpaksa berufeisme berbilang tak ada –pemuda lulusan SMA bahkan SD, yang tertarik berjuang bersamanya. Bahkan, sekedar bermimpi bersama membangun nagarinya.

Tapi ia tak menyerah. Ia pasti gila! Gila akan idealismenya untuk menggairahkan pembangunan nagari. Kini ia masih bermimpi dan terus bermimpi. Juga masih berjuang dan terus akan berjuang. Tak patah arang. Meskipun, ia kesepian akan kawan-kawan yang masih enerjik seperti dia: pemuda-pemudi nagarinya. Ia pasti merindukan mereka.

Ia sadar, sebayanya dan adik-adiknya lebih memilih hengkang memeluk impian-impian kota. Merantau! Bagi mereka kota lebih menjanjikan. Desa hanyalah tempat-tempat terkelam minus harapan. Kota adalah roda kemajuan, penuh dinamika, menjanjikan kemakmuran. Desa selalu terbelakang, tertinggal bersama kakek nenek tua, kehidupan kolot dan sedikit peluang sejahtera. Hidup di desa mereka anggap hina. Berbeda dengan kota, meski tak mesti sejahtera, tapi predikat orang urban lebih berharga di mata rural. Eri dan idealismenya, tertinggal sendiri di desa yang sunyi. Mungkin sampai mati.

Eri mungkin paham. Meski tak pernah mengakses internet–mahakarya peradaban penggerak kemajuan yang masih menjadi barang tersier di desa, ia tahu pembangunan di desa mesti digalakkan. Karena, mafhum kesenjangan ekonomi desa dengan kota terlalu kentara. Makanya demikian, ia membangun idealisme. Buah hasil pencarian ilmu empat tahun di Padang semasa menjadi mahasiswa–status langka yang hanya dinikmati segelintir rakyat Indonesia. Ia mendedikasikan ilmunya untuk kemajuan nagarinya. Ia bermimpi memimpin transformasi nagarinya!

Eri sedang berbagi tentang kondisi ekonomi dan sosial desanya kepada mahasiswa KKN-PPM UGM

 

***

Indonesia mengalami kisruh pemerataan pembangunan. Orientasi pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan, terbukti makin memarjinalkan desa. Hipotesa Kuznets tidak terbukti di Indonesia. Kuznets tidak peka! Ia terlalu gegabah menyatakan, “Pada tahap awal pertumbuhan akan diikuti pemerataan yang buruk, lalu setelah masuk pada pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik.” Di Indonesia, semakin pertumbuhan ekonomi meningkat, pemerataan semakin jauh untuk direngkuh. Realitanya, kesenjangan antara kota dan desa makin lebar menganga.

Kota terus menerus dibangun dan diberdayakan. Bahkan, kota menyedot aset-aset terbaik desa. Semua sumber daya tertarik ke kota. Paradigma ‘trickle down effect’ pembangunan kota untuk memakmurkan desa tidak relevan lagi. Pantaslah, Singer (1964) sejak dulu sudah mengingatkan. Peranan perkotaan atas pedesaan, apakah sebagai pendorong pertumbuhan ataukah lebih bersifat sebagai parasit? Sayangnya pemerintah kita tak mau mendengarnya, tetapi berbuat sebaliknya. Mungkin anggapnya, tak masalah kota hidup sejahtera di atas kaki-kaki renta desa.

Sudah banyak, akademisi berkoar tentang penyebab kesenjangan desa dan kota. Tentu berdasar hasil penelitannya atau sekedar opininya. Salah satunya: Wolfgang Arndt, ekonom Aussie, merumuskan faktor penyebabnya, yaitu perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, infrastruktur investasi dan juga kebijakan pemerintahnya. Simplifikasinya, masalah minimnya pembangunan rural adalah akar kenapa desa ditinggalkan para warganya ke kota.

Jadi, solusinya adalah membangun desa! “Bali ndeso mbangun ndeso”, kembali ke desa membangun desa, seperti sabda Bibit Waluyo, penguasa Provinsi Jawa Tengah kepada rakyatnya. Tapi, ini seragam dan monoton di mana-mana. Bukannya bagus, tapi tandus. Dalam bahasa lain yang lokal atau universal, bisa saja inti ‘sabda penguasa’ sekedar pencitraannya sebagai seorang gubernur, bupati, dewan bahkan presiden, agar dianggap peduli akan konstituen-konstituen marjinal. Lagi-lagi, demi suara rakyat untuk menciptakan hegemoninya sebagai penguasa.

Memang, pemerintah bukannya tak peduli. Pemerintah juga masih ingat akan desa-desa yang mesti dibangun, mengejar ketertinggalan dari kota. Bantuan-bantuan pun digulirkan ke desa. Ada PNPM-Mandiri, ada Kredit Mikro Desa/Nagari, belum lagi bantuan-bantuan filantropis swasta.

Hamparan padi menguning. Di kejauhan
sana Gunung Sago. Asri.

Namun, inilah yang menjadi keprihatinan dan kekhawatiran Eri. Bantuan-bantuan itu digunakan bukan untuk menciptakan kemandirian, tetapi malah ketergantungan. Mengapa? Eri menjawab, “Buat apa banyak bantuan? Penggerak roda pembangunan nagari terlampau sedikit. Kaum tua tidak berpikir jauh ke depan bagaimana desa itu dibangun demi kemajuannya. Yang penting bisa makan, kenyang, ibadah lalu mati surga.”

Eri mendamba pemuda-pemudi yang kreatif menciptakan inovasi demi pembangunan desa. Tapi, hanya segelintir jiwa-jiwa segar kepemimpinan muda di nagarinya. “Masalahnya, ada pada kepemimpinan!” ungkapnya. Itulah anasir utama kenapa pembangunan di desa rapuh berjalan meski banyak bantuan digulirkan. Kalau begitu, dari dulu mestinya, Soekarno pun tak perlu ambisius. Begitu pengikutnya-pengikutnya. Cukup, “Berikan aku 10 pemuda, maka akan kubangun desa!”. Tidak perlu menggoncangkan dunia.

Lantas, apa yang bisa saya perbuat?

Saya sama seperti Eri, seorang idealis. Tapi, saya hanya menjadi idealis kampus. Padahal, kampus-kampus di Indonesia sudah terketahui terlalu menjadi menara gading pengetahuan. Boleh dikatakan ‘mereka’ gersang mengaplikasikan ilmunya ke dalam masyarakat, apalagi ke desa. Malahan, terlalu condong menjadi hamba-hamba ‘dewa kapital’. Makanya, idealis kampus bukanlah apa-apanya dan harusnya malu di hadapan idealis sebenarnya semacam Eri. Seperti lazimnya, idealis kampus terlalu mengidealkan pada ide dan konsep semata. Realisasinya tak dapat diandalkan!

Itulah linier seperti apa yang dinyatakan Soedjatmoko, bahwa kaum-kaum pintar penghuni kampus, termasuk mahasiswa, meringkuk dalam penjara intelektualitasnya. Soedjatmoko mengkritik kaum intelektual yang menggunakan intelektualitasnya, hanya demi kepentingan individunya, bukan kepentingan masyarakat. Kaum intelektual terpenjara di ruang kelam keilmuan. Tak sanggup melihat dan bertindak atas realitas pedih masyarakat.

Mungkin benar Soedjatmoko! Kaum saya: mahasiswa, saat ini terjebak dalam penjara intelektualitasnya. Ilmu yang diperolehnya hanya bercokol di kampus-kampus ber-AC yang nyaman. Mahasiswa kesulitan untuk melihat derita masyarakat. Melihat saja susah! Apalagi bertindak nyata memeranginya. Mereka terjebak pada idealitas-idealitas ilmu yang didapat perkuliahan, yang dimaksudkan untuk kepentingan kemakmuran dirinya. Ditambah, perihal ketidakpedulian atas realita sekitar, menambah mahasiswa makin gelap gulita akan kondisi nyata masyarakat. Padahal, mahasiswa adalah calon-calon pemimpin di masa depan.

Kemudian berbahagialah kita. Gramsci datang mengajak kita keluar dari penjara intelektual. Seharusnya kaum-kaum intelektual menjadi sosok-sosok intelektual organik. Gramsci mengajak sang intelektual mestinya tidak sekedar piawai bermain teori. Namun, mampu membumi dan bergerak di akar rumput masyarakat. Mahasiswa tak sekedar mahir menuangkan gagasannya dalam opini, buku, blog ataupun karya tulis lainnya. Mahasiswa harus turut bergerak dan berjuang menghadapi permasalahan di masyarakat lalu menciptakan solusinya.

Itulah mengapa saya patut bersyukur, diberi kesempatan terjun ke masyarakat langsung. Mencoba menjajal status apa yang Gramsci dengungkan: menjadi intelektual organik. Dua bulan lamanya di tengah 2010 lalu, saya melaksanakan KKN-PPM (Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat) di Lubuk Jantan, Lintau Buo Utara, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Kantor Kerapatan Adat Nagari Lubuk Jantan. Tempat pemuka adat dan nagari berkumpul membahas perkembangan
nagari Lubuk Jantan

Nurani intelektualku terbuka bahwa ilmu di kampus memang sepantasnya diaplikasikan sampai jauh ke pelosok desa. Tak hanya berkutat di kemewahan kota yang penuh gedung tinggi menjulang. Saya sadar, membangun di desa ternyata bukanlah kehinaan ataupun kemelaratan, tetapi pengabdian atas nurani kita sebagai intelektual sesungguhya, juga sebagai pemimpin sesungguhnya!

Alhasil, pantaslah Eri bersuka ria kala mahasiswa-mahasiswa datang ke nagarinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mahasiswa bisa menjadi teman-teman penghilang kesepiannya. Ada kawan muda enerjik yang bisa diajak membenahi desa. Sembari itu, mahasiswa bisa menjadi motivator sekaligus fasilitator pemuda setempat melangkah. Membukakan hati pemuda bahwa hidup di desa bisa menjadi kaya sentosa. Sayang, KKN itu tak cukup berguna! Terlalu singkat untuk menjangkau mimpi-mimpi besar idealismenya.

 

***

Butuh berpuluh ribu idealis seperti Eri memang, untuk menggerakkan pembangunan desa-desa kita. Butuh berpuluh ribu banyaknya lulusan mahasiswa seperti Eri, untuk mengajak pemuda-pemudi serta masyarakat untuk bahu membahu memajukan desa.

Seorang mahasiswi UGM melintas di jembatan Batang Sinamar sedang survey KKN-PPM

Adalah sebuah urgensitas tak bisa ditawar, mengalirkan air segar kepemimpinan intelektual mahasiswa ke desa. Sosok-sosok mahasiswa yang berintelektual organik! Mengarahkan pemimpin-pemimpin muda itu terjun langsung mengkomandoi pembangunan desa. Menyalurkan bakat-bakat kepemimpinan hebatnya untuk menggairahkan hasrat membangun desa.

Tentu, ini lebih baik tentang perihal sikap paling mulia bagi putra-putri terbaik asli daerah. Jikalau mereka hendak mengaplikasikan ilmunya menjadi benih-benih pengabdian di tanah kelahirannya. Dengan begitu, melalui caranya memvisualisasi nyata, mereka dengan bangga mengajak adik-adiknya yang duduk di bangku SMA, SMP ataupun SD untuk bercita-cita menghidupkan desanya. Bisa mempertahankan aset-aset terbaik agar tak beranjak mencari kerja ke kota.

Terlebih, tak ada keraguan lagi. Sudah semestinya jua, mahasiswa-mahasiswi intelektual organik sadar untuk mencintai negeri ini. Demi kepentingan lebih besar, mencintai tak hanya sekedar desa kampung halamannya. Selayaknya, banyak yang dapat dikontribusikan bagi negeri ini. Setidaknya, mahasiswa mampu ‘menghibur’ pemerintah yang tak hentinya dirundung berjuta problematika. Mahasiswa dapat ikut berperan mengurangi kekhawatiran pemerintah tentang peradaban masa depan di negeri ini.

Ikhtiar mahasiswa memimpin pembangunan desa, bisa menjadi penangkal ‘ketakutan’ menghebatnya kesenjangan kota dengan desa. Bahkan harus dapat menguranginya. ‘Ancaman’ pakar kependudukan, bahwa pada tahun 2015 keadaan penduduk saat ini 56% desa dan 44% kota, berbalik menjadi 56% kota dan 44% desa pun bisa dicegah sedari kini. Artinya, 80 persen wilayah Indonesia yang berada di pedesaan, tak akan dibiarkan menganga tak terolah. Pedesaan akan bangkit menghidupi ekonomi dengan berdikarinya.

Saya teringat, tadi saya sempat bertanya dan belum menjawabnya. “Lantas, apa yang bisa saya perbuat?”.

Jawabku, sejujurnya. Untuk saat ini, saya masih menjadi mahasiswa, setidaknya setahun lagi idealnya. Setahun itu, saya masih perlu waktu belajar menjadi intelektual organik sesungguhnya. Harus siap segalanya sebelum ‘turun gunung’ ke masyarakat. Saya masih harus menumbuhkembangkan idealisme-idealismeku agar mantap membaktikan ilmunya di desa.

Juga, saya pasti berlatih teguh berketetapan hati agar tidak tergiur kemewahan kota. Entah itu dalam bentuk iming-iming BUMN, Multi National Corporate (MNC) ataupun toko kelontong kota sekalipun. Saya selalu ingat, dosen tua saya berkata, “Masalah terbesar sang mahasiswa idealismenya tak berkembang adalah karena keraguan kemakmuran di hadapannya sesaat lulus nanti.” Saya coba membuang jauh-jauh pikiran picik itu. Selamat tinggal kenyamanan-kenyamanan kota! Begitu lah motivasiku.

Dan, ketika lulus juga nanti. Saya pun akan menjadi teman ‘revolusioner’ Eri-Eri di berbagai pelosok desa sana. Eri pun tak akan kesepian lagi. Eri tak akan sendiri lagi berjuang. Tak akan mati kesepian karena idealismenya sendiri. Saya pun berharap juga teman-temanku banyak berpikir dan berlaku sepertiku dan seperti Eri!

You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK