Oksimoron Merapi, Geliat Wisata Bencana

Januari 08, 2011

12943336771863876919
Kerusakan Merapi yang sangat luas..

“Sepedih-pedihnya bencana pasti terkandung berkah besar menyertainya”. Begitulah petuah klasik sang bijak yang benar-benar diresapi oleh warga Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Prahara alam Merapi kini ‘disulap’ sebagai wisata bencana Merapi atau lebih dikenal Lava Tour of Merapi.

Letusan besar 6 November 2010 lalu meluluh-lantakkan sebagian wilayah Kepuharjo dan sekitarnya. Anda bisa membayangkan bagaimana desa yang sejuk dan indah itu kini musnah diterjang awan panas. Korban jiwa banyak berjatuhan. Ternak-ternak sebagai tabungan ekonomi warga, meregang nyawa sia-sia. Rumah, masjid dan bangunan lainnya hancur tertimbun material vulkanik. Sawah, hutan, dan kebun tak berbekas lagi.

Kehancuran di mana-mana! Kerugian di mana-mana! Namun itulah kehidupan! Nietzche, filsuf Jerman, jauh-jauh hari memotivasi warga lereng Merapi. “Orang-orang yang bisa lolos dari situasi hidup dan mati, apabila mampu bangkit, ia akan lebih kuat dari sebelumnya.”

Warga Kepuharjo mulai merintis jalan untuk bangkit, setelah dari kemarin menjadi pesakitan di tempat pengungsian. Mereka paham desanya yang hancur ini bisa dijual sebagai obyek wisata. Mereka paham masyarakat, termasuk saya dan Anda, pasti sangat tertarik berkunjung ke tempat yang terkena dahsyatnya letusan Merapi, yang selama ini diperlihatkan hanya dari media. Entah diketahui dari media yang bertagline “terdepan mengaburkan” atau dari media lainnya yang gencar memberitakan Bencana Merapi selayak komoditas bisnisnya. Tergantung, pilihan anda atas media yang mana.

Mereka–warga Kepuharjo–sadar bahwa parahnya kerusakan di desanya ini mampu mengobati rasa keingintahuan dan penasaran masyarakat. Mereka dengan lapang dan senang hati akan menujukkan “Ini lho daerah saya yang kena awan panas Merapi. Daerah saya padahal jauh, 10 km dari puncak Merapi. Tapi, sekarang rata tertimbun material vulkanik. Dahsyat kan!”.

Memang, mereka tidak serta merta bahagia dengan kondisi yang dialaminya kini. Pasti, bencana bukanlah yang diharapkannya untuk mengeruk uang. Jauh lebih berbahagia, mereka hidup sebelum destruksi Merapi. api inilah kenyataan. Anda perlu tahu, esais Jepang Miyazawa Kenji, mungkin berada di antara mereka. “Kita harus bisa menerima kenyataan pahit agar bisa membakar semangat untuk meneruskan perjalanan hidup.”

Maka, warga Kepuharjo tak masalah menerima kunjungan berwisata masyarakat di tengah kenyataan pahit ini. Mereka ‘legowo’-begitulah seorang Jawa menyebutnya. Dari raut wajah mereka, jelas telihat berjuta asa. Bahwa, wisata bencana diharapkan bisa merasukkan kepedihan mereka kepada masyarakat lain yang berkunjung. Mereka menuntut iba agar diakui betapa menyedihkannya menjadi korban bencana.

Sayangnya, kehendak itu hanya sebatas prasangka. Wisata bencana tak ubahnya menjadi arena hiburan bagi para pengunjung. Rasa iba ada sih ada. Namun, itu hanyalah muncul sekilas goresan “SILET tajam” yang menyayat hati, lalu tiba-tiba luruh oleh kenikmatan untuk mengabadikan momen eksistensitas lokasi bencana. Pengunjung sangat bergembira bisa berfoto pada puing-puing kehancuran. Mereka nyata menikmatinya. Bagaimana adegan-adegan narsis, ceria, senyum dan imut bertebaran di arena bencana.

12943337971882770285
Wisatawan bersenang ria, bernarsis ria..

Tak lupa, adegan ‘sok’ merenung, ‘sok’ meratapi, sedih secara semu dan palsu juga tak kalah pamor menjadi atraksi pengunjung. Bahkan, dua adegan yang berlainan suasana ini bisa terabadikan pada saat yang bersamaan, sekali jepret. Saya rasa anda akan menyesal kalau tidak ikut bernarsis ria di tempat wisata bencana ini.

Itulah kehendak pengunjung. Pengunjung tak bisa disalahkan. Warga Kepuharjo pasti mengenal adagium terkenal berbisnis: “Pelanggan adalah raja”. Pengunjung wisata bencana adalah pelanggan yang harus sebaik-baiknya dilayani, termasuk tidak disalahkan sekalipun.

Memang dilematis, tetapi warga lereng Merapi sudah terbiasa dengan penderitaan, setidaknya selama di pengungsian lalu hingga saat ini. Utamanya, bagaimana buruknya penanganan oleh pemerintah di pengungsian. Untunglah, para relawan bertindak tangkas saat itu.

Kini jika dihadapkan pada realitas kesenangan di atas penderitaan bencana, warga Desa Kepuharjo memakluminya. Mereka pasti secara benar telah menterjemahkan perkataan Miyazawa Kenji di atas. Mereka menderita, tapi mereka membakarnya sebagai semangat untuk hidup. “Mengubah kawasan bencana yang penuh duka menjadi tempat kesenangan berwisata”, tidak lain bisa dimaknai untuk menggelorakan lagi makna hidup. Mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka malah memanfaatkannya untuk bangkit memperbaiki nasib mereka dan desanya.

Hebatnya, mereka tidak serakah satu sama lain. Mereka mengelola kawasan wisata bencana secara bersama-sama, bergotong-royong. Warga Desa Kepuharjo dengan Warga Desa Umbulharjo, tetangganya, bekerja sama mengelola Wisata Bencana Merapi ini. Hasil yang didapatkannya masuk ke kas desa, yang lalu digunakan untuk membangun dan memberdayakan desa Kepuharjo beserta masyarakatnya lagi. Nafas kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan pun tetap kuat tertanam di kala bencana ini, tak surut sekalipun.

12943831181767205163
Hangus dan tandus segalanya..

Namanya oksimoron

Itulah namanya oksimoron! Anda pasti asing dengan kata itu, tetapi oksimoron tepat mendeskripsikan wisata bencana Merapi ini. Prof Tarigan menamai oksimoron sebagai suatu gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama.

Wikipedia menjelaskan oksimoron sebagai majas yang menempatkan dua antonim dalam suatu hubungan sintaksis. Sederhananya, oksimoron memiliki pertentangan makna yang lugas. Anda bisa menemukannya dalam rangkaian kata perang saudara, frasa yang benar-benar paradoks.

Juga, “Wisata Bencana!” Wisata merupakan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan, bencana merupakan perihal yang menyedihkan. Itulah oksimoron. Keduanya adalah dua hal yang bertentangan. Dua-duanya itu adalah definisi nurani yang umum manusia mempersepikannya. Anda kalau manusia normal pasti akan mudah memahami apa itu wisata, apa itu bencana. Mungkin kuranglah tepat, tetapi tidaklah perlu kita merumitkan masalah dengan definisi yang njlimet. Cukuplah kita berparsimoni alias melakukan penghematan berpikir. Adam Smith, penggagas ekonomi klasik, saja dianggap agung karena kemampuan berparsimoninya. Begitu juga dengan ilmuwan-ilmuwan lainnya.


1294334977514707878
Rumah-rumah tertimbun material vulkanik..

Oksimoron Merapi, bagaimanapun juga adalah realitas bagi masyarakat lereng Merapi yang daerahnya terkena awan panas, yang lalu dijadikan sebagai obyek wisata bencana. Bagi mereka, sesungguhnya ini adalah pengorbanan hati dan perasaan. Pemandangan kerusakan tidak ubahnya menjadi hamparan kedukaan, baik material maupun spiritual.

Akan tetapi, bagi wisatawan bencana Merapi, tidaklah harus begitu. Kunjungan mereka ke tempat bencana adalah untuk memuaskan hasrat keingintahuannya. Yang namanya terpuaskan hasratnya pasti akan timbul kesenangan. Mereka senang karena bisa menjadi saksi dampak erupsi Merapi. Mereka lalu melanjutkan kesenangan itu dengan mengabadikan momen ‘indah’ itu. Tersenyum bersama keluarga, pasangannya, maupun tersenyum sendirian di depan kamera.

Itulah kiranya arti wisata bencana, yakni berwisata di tempat bencana. Berwisata adalah untuk kesenangan. Berwisata adalah untuk membahagiakan hati dan perasaan. Tak masalah, tempatnya adalah di hamparan bencana. Itu hanyalah masalah tempat. Kalau Shakespare berkata “apalah artinya nama?”, maka untuk berwisata, Anda pun bisa menyeletuk “Apalah pentingnya tempat?”. Intinya, dimanapun tempatnya, kalau tujuannya berwisata, yang penting anda bisa menikmati dan bersenang-senang ria.

Namun, anda merasa senang, bukan berarti itu monopoli anda, monopoli kesenangan para pengunjung wisata bencana saja. Masyarakat Kepuharjo sebagai pemilik ‘lahan’ bencana juga berhak untuk menikmati kesenangannya. Mereka pun memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumpulkan dana pengunjung melalui pembayaran tiket masuk dan tiket parkir motor. Warga Desa Kepuharjo bisa menikmati return atas pengorbanan untuk menjadikan lahannya sebagai tempat wisata bencana.

1294334104446729838
Lapak penjual makanan dan minuman..

Bagi individu masyarakat Desa Kepuharjo sendiri, wisata bencana adalah oksimoron. Dengan memanfaatkan arena kehancuran, mereka menciptakan lahan peruntungan ekonomi sendiri. Mereka berusaha menggeliatkan ekonominya kembali meski tertatih-tatih. Anda bisa melihat di sana tumbuh usaha-usaha masyarakat seperti penjualan minuman-makanan, jasa pemandu dan jasa ojek. Mereka sekaligus berjasa mencukupi kebutuhan para pengunjung. Ini adalah wujud kebangkitan mereka untuk menginisiasi hidup agar tidak stagnan pasca bencana. Mereka telah memulainya!

Patutlah, warga Kepuharjo berterima kasih pada oksimoron. Tanpa ada oksimoron, tak ubahnya Kepuharjo hanya menjadi kawasan bencana yang sunyi, mati dan ngeri sampai saat ini. Mungkin, masyarakat di sana tidak lebih sebagai korban bencana yang terus larut pada kesedihan. Oksimoron itu mewujud pada wisata bencana. Orang berduyun-duyun datang melihat realitas dan untuk kesenangannya. Di sisi lain, warga Kepuharjo pun mengambil hikmah besar atas ini. Mereka mencari penghasilan mandiri untuk desanya. Ini melengkapi bantuan-bantuan bencana dari pemerintah, swasta dan masyarakat lainnya. Oksimoron memberikan optimisme untuk menjadi seperti apa yang dikatakan Nietsche: bangkit lebih hebat pascabencana.


12943350602025060883
Lapak harapan di antara kegersangan..

Membuktikan Oksimoron Merapi

1 Januari 2011, hari pertama tahun 2011. Saya datang membuktikan oksimoron Merapi. Saya berkunjung ke Desa Kepuharjo bersama beberapa kawan saya di Bahagia Institute. Sore waktu yang  saya pilih dengan bersepeda motor. Tak ada angkutan umum yang menuju ke wisata bencana. Kalaupun ada, itu sangat tidak praktis. Anda sangat disarankan membawa kendaraan pribadi. Meski mendung makin menghebat, bukan pertanda saya membatalkan perjalanan awal tahun ini. Terlihat banyak kendaraan berlawanan arah dari perjalanan saya.

Saya menyusuri Jalan Kaliurang, sampai di Pakem berpindah ke jalan Pakem-Kalasan. Lalu, ada pertigaan yang menunjukkan ke arah Kaliadem, belok kiri. Sepanjang jalur itu, Anda akan menemui banyak sekali warga yang mengarahkan ke wisata bencana, melalui gang-gang kecil di sebelah kanan. Cara promosi mereka dilakukan melalui tulisan di kayu, seng, spanduk-spanduk cetak maupun hanya tulis tangan.

Ada spanduk cetak yang beroksimoron ekstrim. Mereka tunjukkan jumlah korban yang meninggal: “Ada 15 korban meninggal di sini”. Berpromosi wisata bencana sambil ‘menjual’ korban yang meninggal. Anda mungkin iba dengan hal seperti itu. Namun, inilah oksimoron. Isyarat itu untuk meyakinkan pengunjung agar mau datang ke kawasan bencana itu. Apalagi di tengah ‘kompetisi’ wisata bencana pada setiap gang-gang. Mana yang berpromosi paling menarik, merekalah yang berpeluang lebih besar menangguk pemasukan. Apalagi, di tengah kesamaan harga dan produk.

Saya tidak menggubrisnya. Saya tetap melanjutkan perjalanan ke atas, karena saya tahu itu bukanlah obyek utama. Hanya sempalan-sempalan. Anda pun lebih baik mengikuti petunjuk saya. Di pintu penarikan tiket masuk, saya berhenti. Pengunjung wajib membayar tiket masuk seharga Rp5.000 per orang sekali masuk. Kami diberi tiket ‘resmi’ hasil insiasi warga Kepuharjo dan Umbulharjo. Uang pemasukan nantinya akan masuk ke kas desa dan dikelola secara bersama untuk membangun desa Kepuharjo. Saya meneruskan perjalanan.

Sampailah saya di perempatan Kepuharjo di Dusun Pagerjuang. Mau pergi ke atas lagi ke arah Kaliadem, naas jalan ditutup. “Lereng atas sudah hujan. Potensi terjadi lahar dingin. Dilarang naik lagi.” Akhirnya, saya pun masuk ke gang terdekat di sisi timur perempatan. Tetapi, ini ternyata bukan gang. Ini jalan yang cukup lebar. Di sini terdapat, pintu masuk lagi yang dijaga warga. Pengunjung diharuskan membayar parkir kendaraan. Saya memakai motor maka saya membayar Rp2000. Saya juga diberikan tiket resmi hasil inisiasi warga Kepuharjo dan Umbulharjo. Andaikan anda naik mobil, tiket parkir seharga Rp5.000.

Pemandangan yang anda saksikan ketika memasuki kawasan bencana adalah kehancuran di mana-mana. Material vulkanik telah menciptakan padang pasir dan batu luas selebar 2-3 km. Adapun panjangnya sampai sejauh 15 km dari puncak Merapi. Anda bisa membayangkan betapa dahsyatnya letusan Merapi. Saya pun berpikiran kalau Merapi sudah sepenuhnya mereda, bisa diadakan lomba maraton melintasi aliran awan panas ini sampai puncak Merapi.

12943340422032690669
Batu-batu sebesar rumah..

Di padang yang luas itu, timbul penampakan batu-batu besar yang langsung dikeluarkan dari perut Merapi dan terbawa sampai sejauh 10 km. Batu besar itu ada yang sebesar rumah. Menariknya, anda bisa merasakan hawa panas di sekitar batu itu karena memang batu itu masih panas. Padahal sekarang sudah hampir dua bulan pasca letusan terdahsyat.

Selain itu, di tepian kehancuran itu, tampak rumah-rumah yang menghitam, hangus, rusak bekas terjangan awan panas. Kini rumah itu tertumpuki material vulkanik Merapi. Menjadi rumah-rumah mati. Entah bisa digunakan lagi atau tidak. Banyak pohon di tepian yang hangus dan kering, sekaligus menjadi batasan vegetasi yang musnah dan yang bertahan.


12943341431493782288
Kali Gendol kini pasca erupsi Merapi..

Kawasan ini bisa seperti begini, tentu tidak terlepas dari Kali Gendol. Kalau anda sering mengikuti berita di media, Kali Gendol ini merupakan jalur utama letusan Merapi ke arah selatan. Pada letusan besar 6 November lalu, arah awan panas paling banyak mengarah ke Kali Gendol ini. Makanya, kawasan ini pun mengalami kerusakan yang dahsyat karena menjadi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali gendol. Saya pun tertarik untuk melihat penampakan Kali Gendol sekarang bagaimana kondisinya.

Untuk menuju Kali Gendol, anda harus berjalan ke tengah. Sekitar 1 km dari tepian bencana. Di Kali Gendol, anda bisa menemukan sungai yang dulunya curam dalam dari tepian, kini begitu dangkal. Jalur aliran sungai telah dipenuhi oleh batu-batu dan pasir vulkanik. Hanya sedikit air di atas tumpukan material itu. Itupun kalau sedang terjadi hujan di lereng atas.

Yang menarik sekali, bahwa di kali Gendol ini bau belerang sangat menyengat. Makin mendekat, makin menyengat. Saya tertarik untuk turun ke dasar kali. Dengan menuruni tepian yang tidak terlampau curam, saya sampai di dasar sungai. Batu-batu telah mengeras. Tadinya saya khawatir masih panas, ternyata hanya hangat saja, sehingga aman-aman saja untuk dijejak.

1294334908646467105
Terjun ke dasar Kali Gendol,

Di sini, saya seolah menikmati sajian asap belerang. Pada beberapa titik, semburan asap belerang tampak begitu besar. Asap belerang ini kemungkinan berasal dari batuan di dalam, di dasar sungai yang masih panas. Anda bisa membayangkan waktu kejadian dulu betapa panasnya material vulkanik yang dimuntahkan Merapi. Subhanallah.

Saya pun berpikiran di dasar ini ada peluang bisnis baru, yakni mandi sauna vulkanik. Saya mencoba masuk e tengah-tengah semburan asap. Badan saya cepat sekali berkeringat, padahal cuaca waktu itu dingin mau hujan. Bagi anda yang gendut, ini bisa menjadi cara tepat untuk membakar lemak. Namun, berlama-lama di tengah semburan itu tidaklah baik.

Saya merasakan agak pusing. Untung saja, ada warga setempat yang memperingatkan untuk segera naik ke tepian sungai. “Awas, ada lahar dingin. Ayo naik!”. Sekaligus saya menghindar dari bencana sekunder Merapi yang masih mengancam sampai saat ini, meskipun status Merapi sudah diturunkan ke level III.

Bosan kami di Kepuharjo, saya melanjutkan ke kawasan yang lebih atas lagi. Ternyata, sudah dibuka aksesnya oleh warga setelah tadi pas saya berangkat ditutup. Sial, hujan mulai turun lagi. Saya berhenti sejenak. Tampak ketika hujan, air turun dari tempat tinggi ke tempat rendah melalui jalan raya, tidak lagi melalui jalan air saja. Sangat tidak disarankan untuk naik lagi ketika kondisi seperti itu karena aliran air disertai oleh aliran lumpur.

1294335009997843710
Sisa-sisa Dusun Kopeng..

Hujan mereda, saya naik sampai ke Dusun Kopeng. Hari sudah menjelang petang. Akan tetapi, geliat kehidupan masih lumayan. D sini juga merupakan batas bencana. Yang menarik sebagian rumah di daerah sini hancur di bagian utaranya, dan sebagian lain masih utuh dan nampak dihuni ketika siang hari di bagian selatannya. Bagian utara sampai ke puncak Merapi, sepertinya tidak tampak lagi harapan bangunan yang tegak berdiri. Pohon-pohon pun tak ada yang hijau berdiri. Semuanya gosong tinggal batang-batang dan ranting-rantingnya tanpa dedaunan yang hijau.

Di kawasan Kopeng ini, terdapat penjual-penjual makanan dan minuman dari warga setempat dengan mendirikan tenda seadanya. Sayang sekali, sampah bertebaran di mana-mana. Saya pun berpikiran, ini mesti dampak dari tahun baru di kawasan sini. Mesti sebelum saya datang, sangat ramai dikunjungi wisatawan bencana. Pikirku, mereka tidak menjaga kebersihan lokasi wisata, meskipun tidak ada tempat sampah. Sungguh sangat disayangkan sekali. Mereka menambah beban warga saja. Namun itu bagian dari oksimoron.

Di sini juga terdapat jasa ojek bagi pengunjung yang ingin melihat wisata bencana sampai Kaliadem. Saat itu, sudah sedikit tukang ojek yang mangkal karena hari sudah petang. Kalau anda datang pas siang hari, anda bisa membayar tukang ojek Rp20.000 sembari mendapatkan cerita tentang erupsi Merapi ini. Kalau tidak berhasrat naik ojek, anda bisa sekedar jalan kaki. Saya pun memilih untuk jalan kaki.

1294335482553150094
Perlu tegak, bangkit kembali..

Ingin mencoba berjalan naik ke daerah atas lagi, buru-buru diperingatkan. Sama! Tentang lahar dingin. Saya pun mengurungkannya. Di sini terdapat beberapa relawan warga yang memantau keadaan kawasan bencana dengan berbekal HT. Mereka memastikan keselamatan pengunjung adalah hal utama saat wisata bencana. Jangan sampai wisata bencana menimbulkan korban lagi. Mereka lugas, sedikit berbicara dan cekatan. Melihat relawan itu, saya teringat pada ucapan Confusius: “Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan. Semua orang mengakui relawan-relawan bencana adalah orang-orang yang luar biasa.

Maghrib sudah tiba, sayup-sayup terdengar azan di kejauhan. Saya pun pulang ke Jogja. Akhirnya, saya pun memang berhasil membuktikan oksimoron itu. Saya datang ke tempat wisata bencana. Dimulai dengan niatan keingintahuan dan me-refresh-kan diri. Pertama, melihat kawasan bencana itu, saya sedih karena kehancuran di mana-mana. Itu tidak bertahan lama. Seakan-akan saya telah menyesuaikan pada kondisi bahwa ini sudah lumrah, takdir belaka. Selanjutnya, saya ‘gatal’ untuk berfoto-foto. Saya pun narsis dengan tersenyum di depan kamera. Itu adalah rautan wajah menikmati keberadaan di kawasan bencana. Saya pun pulang dengan kepuasan, juga mungkin dengan kebahagiaan karena “terhibur” di tempat wisata bencana.

1294335619415608231
Membuktikan oksimoron Merapi..

Saya juga senang karena saya telah ikut memberikan kontribusi pada warga Kepuharjo. Uang tiket dan parkir saya bisa menjadi pemasukan bagi kas Desa untuk me-recovery kembali. Kalaupun saya membeli makan, minuman dan menyewa jasa ojek, itu bisa berarti saya memberikan semangat baru agar warga Kepuharjo bangkit melalui usahanya mandiri. Dengan melakukan wisata bencana di Kepuharjo ini, saya bisa membantu kebangkitan warga Kepuharjo lolos dari jeratan penderitaan dan kesedihan.

Oleh karena itu, saya rekomendasikan anda untuk berkunjunglah ke tempat Wisata Bencana Erupsi Merapi, ketika datang ke Yogyakarta. Sempatkanlah Anda ke sana, entah Anda sedang dalam kunjungan wisata, tugas maupun kunjungan keluarga. Anda akan menikmati oksimoron dalam kehidupan nyata anda, sekaligus membawa kebaikan bagi masyarakat korban Merapi. Anda patut dianggap berkontribusi untuk membangkitkan nafas kehidupan warga di lereng Merapi. Toh, tidaklah susah untuk menikmati wisata bencana ini.

Dari Kota Jogjakarta, sekitar 20 km ke arah utara ditempuh sekitar 45 menit. Untuk angkutan, anda bisa memakai kendaraan pribadi, menyewa jasa taksi atau menyewa kendaraan rental. Anda akan mendapatkan sensasi dan kepuasan tersendiri yang hanya ada di lereng Merapi. Anda bisa tersenyum, tertawa, bergembira, berfoto narsis, melegakan pikiran atau sekedar mengobati rasa penasaran di tempat yang menjadi kawasan paling hancur akibat erupsi dahsyat Merapi 2010.

Sungguh anda akan menjadi orang yang beruntung. Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, akan tetapi kedatangan anda sangat diharapkan untuk bersenang-senang oleh warga korban Merapi. Tentunya, sebagai ‘tamu’ anda pun akan mendapatkan kehormatan tertinggi dari mereka. Tapi itulah oksimoron yang positif. Kunjungan anda berwisata bencana akan menggelorakan lagi kehidupan mereka untuk terus bangkit. Kunjungan anda adalah berkah bagi mereka!

You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK