Pecel Ngawi, Pecel Pedas Nikmat Menyentak

April 22, 2013

Pecel Ngawi

Tiga hari tertambat di Ngawi. Tiga hari itu juga tidak merasakan sesuatu yang spesial di kabupaten yang menjadi gerbang memasuki Jawa Timur dari jalur tengah Jawa Tengah. Pada beberapa hari itu, hidup serasa datar. Sekedar menjalani rutinitas survey kesehatan ke pelosok Ngawi. Apa yang bisa disajikan oleh Ngawi? Katakanlah kuliner khasnya. Begitulah pikir saya berulang-ulang. Hingga saya bisa mencicipi Pecel Ngawi di sebuah warung yang dinamai Tenda Biru. 

Sebenarnya tak ada yang spesial di warung ini. Sekedar warung makan yang kebetulan ramai didatangi pembeli. Jualannya soto, pecel, lauk, gorengan, dan sareh. Standar. Lantas apa yang spesial? Ya, karena saya sedang sangat mendamba kuliner khas Ngawi. Saya anggap ini begitu spesial kalau di tempat inilah saya bisa merasakan sesuatu yang khas Ngawi. Bukankah kalau berkunjung ke sebuah daerah, alangkah baiknya mencoba sesuatu yang khas? Ya, begitulah pakem yang biasa dianut orang yang suka melanglangdaerah seperti saya ini.  

Saya pun meminta simbok penjual untuk menyajikan pecel. Ya, karena ini di Ngawi berarti saya anggap ini adalah Pecel Ngawi. 

“Lauknya apa?” tanya simbok penjual.

“Rempelo ati” jawab saya setelah memutuskan antara dada atau rempelo ati.

Dengan sigap, simbok penjual ini meramu pecel dengan tangannya. Tanggap. Tak sampai semenit, Pecel Ngawi dambaan saya pun sudah jadi.   

Sekilas Pecel Ngawi mirip dengan pecel lainnya, terutama Pecel Madiun, Kediri, Nganjuk. Ya, memang seperti itulah rupa standar pecel di kawasan yang terkenal dengan pecelnya: Madiun, Kediri, Nganjuk, Ngawi, Ponorogo. Saya sudah sering menjajal Pecel Madiun. Pecel Nganjuk juga sudah. Pecel Kediri apalagi. Terus baru kali ini Pecel Ngawi. Sepertinya perbedaannya tak akan terasa jika tidak benar-benar teliti membedakan setiap rasanya.

Dari penampilannya, sebenarnya sama saja. Sayuran hijau, daun kemangi, bunga kecubung, sambal kacang dan lauk berupa rempelo ati. Tapi, begitu di lidah terasa ada yang beda. Rasanya lebih pedas. Saya seperti langsung disuguhi oleh bara panas yang membakar mulut. Barangkali jika saya meminta tidak pedas, penjual akan mengurangi kepedasannya. Tapi yang khas ini adalah pedasnya. Saya menikmatinya lebih-lebih tatkala dikombinasikan dengan rempeyek ikan teri.

Kriuuk... Kriuuk..  Sembari tangan saya mengelap peluh di dahi. 

Tumbukan sambal pecel Ngawi juga berbeda dengan pecel-pecel daerah tetangga. Sambal kacang pecel Ngawi lebih kasar. Butiran kacang sangat terasa yang kadang tertinggal di sela-sela gigi. Semerbak kemanginya juga lebih beraroma. Daun kemangi yang buat orang lain hanya digunakan campuran air untuk cuci tangan, bagi saya adalah favorit cita rasa. Saya sangat suka masakan yang menggunakan daun kemangi untuk campurannya. Nikmatnya barangkali seperti daun ganja yang katanya menjadi bumbu kunci kenikmatan masakan Aceh.

Namanya lapar selepas bekerja seharian, saya pun cepat menghabiskan. Tapi mana nih minumnya? Ah, mas penjual pasti lupa menghidangkan teh hangat pesanan saya. Pedas ini lidah saya. Bukannya menggugat, saya malah lekas beranjak. Biarlah pedas ini awet membekas. Ternyata ada kawan kerja saya yang tidak berkenan makan di warung ini. Gara-gara sareh. Dia hilang mood makan karena ada sareh. Dia ingin pindah ke warung lain.

Apa itu sareh?

Sareh adalah olahan makanan yang terbuat dari darah sapi yang dibekukan dan dikeringkan. Dibentuk lingkar memipih seperti jengkol yang membesar. Tapi warna penampakannya mirip baceman. Sareh ini berkhasiat untuk mengatasi kelesuan badan, kekurangan darah.

“Sangobion”, celetuk kawan saya, Faishal. Ya, seperti fungsi sangobion itulah barangkali Sareh ini. Sareh ini hampir ada pada setiap warung di Ngawi. Ya, orang setempat sudah biasa makan sareh layaknya makan gorengan. Disajikannya juga ditaruh di piring, seperti gorengan. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sana mengkonsumsi sareh. Tapi, meskipun khas Ngawi ini, saya tak berani menjajal sareh. Bayangkan! Darah binatang harus saya makan. Darah binatang! Meski dalam wujud yang sudah diolah, saya tak berani.

Kami telah berpindah ke warung pecel yang lain. Di pinggir jalan Sudirman Ngawi. Tempat ini lebih sepi. Tapi terlihat lebih rapi dan bersih. Dan, sareh ternyata juga tersedia. Untungnya, penjual pecel ini masih menghormati tamunya yang tak suka sareh. Hidangan sareh ditutup kertas. Rapat tak terlihat. Kali ini kawan saya pun nikmat melahap Pecel Ngawi yang tersaji dengan bungkus pincuknya. Tapi, dia minta yang tidak terlalu pedas.









You Might Also Like

1 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK