Jejak Jepang yang Terserak di Benteng Kalimaro

September 13, 2013

Benteng pengintaian dan tangkisan di Kalimaro
 
Pada sebuah siang yang terik, pada akhir tahun 1942, di ujung selatan Pegunungan Menoreh, tentara Jepang mengumpulkan Kepala Desa dari tiga desa di wilayah Bagelen. Di bawah ‘todongan’ pucuk senjata, para Kepala Desa, yang dikenal sebutan Kucho, Desa Somorejo, Bapangsari dan Dadirejo dipaksa Jepang menyediakan tanah seluas 500 hektar. Seratus tiga puluh lima hektar tanah di Tlogokotes (dulu bagian Desa Somorejo), 197 hektar tanah di Desa Bapangsari dan 174 hektar tanah di Desa Dadirejo.

Untuk apa gerangan tanah tersebut bagi Jepang? Sejatinya tanah di kawasan berbukit-bukit yang sekarang masuk wilayah Kab. Purworejo  ini terjal nan tandus. Kering. Kawasan ini juga tidak dekat dan akrab dengan pusat peradaban di Pulau Jawa. Namun, Jepang punya kehendak lain. Lokasinya yang dekat menghadap Samudera Hindia, menjadikan ia menjadi salah satu titik terbaik untuk pertahanan Jepang di daerah selatan Jawa. Pada tanah itulah, Jepang membangun Benteng Kalimaro. Benteng pertahanan yang terpendam di dalam tanah.

Saat itu, Jepang baru saja sukses merebut kekuasaan dari Belanda di Pulau Jawa, termasuk menusuk hingga daerah Purworejo. Sebagai strategi perang, keberhasilan ini harus diimbangi dengan penciptaan sistem pertahanan yang kuat untuk menghadapi serangan balasan Belanda bersama Sekutu. Jepang dan Sekutu sedang terlibat sengit dalam Perang Asia Timur Raya. Benteng Kalimaro menjadi salah sekian dari banyak benteng Jepang untuk menghadapi Sekutu. 

Bukan penjajah kalau tak sekalian memeras tanah jajahannya. Jepang meminta lebih banyak dari warga tiga desa ini. Tak cukup merampas tanah warga,Jepang juga memaksa untuk disediakan 200 orang pekerja lengkap beserta peralatannya. Untunglah sepakat, pekerja lokal dibayar 25 sen untuk kuli, 50 sen untuk tukang, 75 sen untuk mandor dan 1 rupiah untuk kepala mandor.

Mirisnya, karena pekerja lokal dari tiga desa ini masih kurang, didatangkanlah para romusha (pekerja paksa) dari luar daerah yang tak digaji. Proses pembangunan Benteng Kalimaro memakan waktu hingga 8 bulan, dikerjakan siang malam tanpa putus. Setelah benteng selesai, Jepang memerintahkan lahan di sekitar benteng harus steril. Akhirnya warga tiga desa pun dipaksa hengkang dari tanah kelahirannya meski masih dibolehkan membawa harta bendanya. Terusir demi perang Jepang. Sebuah tragedi.

Laut Selatan Jawa yang dilihat dari Perbukitan Menoreh di Desa Tlogokotes, Purworejo.
Menyembul di atas tanah, tapi dikelilingi belukar dan hutan jati. Lubang pengintaian Jepang.


Kini, Benteng Kalimaro seakan bercerita sumbang tatkala saya hadir di sana 71 tahun kemudian. Mentari sama saja terik yang menerpa daratan perbukitan Menoreh kering. Namun, rerimbunan pepohonan jati yang kini tumbuh menjulang di kawasan Kalimaro memberi perbedaan. Memberi keteduhan yang jauh kondisinya dari dulu yang semata belukar, yang semata suram.

Pertama, saya menuju benteng pendem yang berfungsi sebagai tempat pengintaian dan penangkis serangan. Lokasi ini paling mudah ditemui dan menjadi tengara paling mencolok dari kawasan Benteng Pendem Kalimaro. Benar saja, benteng pengintaian ini menghadap ke Laut Selatan tapi kini tak lagi jelas untuk melihat kapal-kapal Sekutu andaikan mendarat di tepian Pantai Jatimalang Purworejo, pantai yang menjadi sasaran pengintaian Jepang. Lingkungan benteng sudah dihalangi rerimbunan pohon jati.

Benteng pengintaian terpendam pada tanah dan memiliki ruang utama berukuran sekitar 4 x 3 meter dengan tinggi 2 meter. Di samping ruangan terdapat ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Ada juga ruang menonjol lebih tinggi yang digunakan sebagai tempat`mengintai musuh. Terdapat beberapa jendela kecil, tempat menaruh senjata yang digunakan untuk mempertahankan benteng ketika terdesak. Saya melangkah masuk ke dalamnya. Nuansa dingin langsung menghanyutkan saya pada suasana suram seperti diawasi tentara Jepang yang berjaga-jaga di dalamnya. Awas senantiasa memfokuskan pandangan ke Pantai Selatan Purworejo.

Namun, nyatanya ada keramaian di dalam lubang benteng pendem ini. Keramaian itu berwujud vandalisme. Ini ironis dan sadis. Saksi bisu penjajahan Jepang di tanah Purworejo ini telah diserang oleh corat-coret sampah dari para anak bangsa yang tak menghargai sejarah. Padahal, coretan ini hanya pameran eksistensi tentang percintaan, kedaerahan, geng kelompok yang tak penting, sampah paling busuk, tak berarti dibanding harga sejarah dari Benteng Kalimaro. Saya mengelus dada sembari sekali-kali mengumpat betapa buruknya perangai manusia seperti ini.

Ah, tak baik mengumpat dalam sunyi benteng. Saya tertarik pada amatan konstruksi benteng. Dinding benteng terbuat dari beton cor-coran kualitas terbaik. Setebal sekitar 20-30 centimeter. Meski kini sudah berusia tujuh dasawarsa, tak menjadikannya sedikitpun renta. Kondisi bangunan tetap kuat, sepertinya tetap sekokoh saat dibangun lampau. Di bagian luar, tembok benteng menghitam karena pengaruh cuaca. Menyesuaikan dari panas sengatan mentari yang bergantian dengan derasan air hujan. 

Sekarang saya melangkah menuju satu benteng pengintaian lagi yang berada di tempat lebih tinggi. Tak jauh dari benteng yang pertama. Kondisi dan bentuknya sama. Saya sadar, wujud benteng pengintaian ini adalah sebentuk template dari angkatan militer Jepang karena saya pernah menemui di Pangandaran yang wujudnya juga mirip. Atau jika pernah nonton film Iwo Jima, mirip dengan benteng pertahanan Jepang di G. Siribuchi.

“Masih ada benteng lagi tidak Pak?” tanya saya kepada Pak Supriyadi, warga Tlogokotes yang kebetulan melintas sepulang mencari rumput untuk ternaknya.

“Total ada sekitar 29 benteng yang tersebar di Perbukitan Kalimaro ini. Tapi, hanya beberapa saja yang gampang didatangi” ungkapnya sembari tangannya menunjuk lokasi-lokasi benteng. Katanya dia pernah menelusur semua benteng di daerahnya. 

Di dalam benteng pendem. Sunyi tapi ramai dengan tapak vandalisme. Menyedihkan untuk penghargaan cagar sejarah.
Benteng Pendem paling besar. Tempat penyimpanan logistik, senjata dan amunisi.

Menuruti petunjuknya, saya menuju Benteng Pendem yang katanya paling besar. Letaknya jauh turun ke bawah sehingga saya harus hati-hati menuruni setapak tanah seadanya yang tertutupi guguran dedaunan jati. Ini pertanda jarang terlewati, jarang terambahi. Ternyata benteng ini adalah benteng untuk penyimpanan logistik senjata dan amunisi. Oleh karena itu letaknya pun seluruhnya terpendam di dalam tanah. Juga tidak menghadap ke laut agar logistik terlindungi apabila ada serangan langsung musuh dari laut.

Saya coba masuk tapi ragu-ragu karena ruangan ini benar-benar menusuk ke dalam dan gelap. Takut ada ular atau bahaya dalam kegelapan. Terlebih lagi, tempat ini jarang dirambah. Tapi akhirnya saya beranikan dan menjumpai dua ruangan utama masing-masing berukuran 5 x 6 meter. Terdapat juga dua pintu masuk di kedua sisinya. Sekali lagi, terdapat juga jejak vandalisme meski tak terlalu banyak dibandingkan benteng yang tadi saya kunjungi pertama. Dalam kegelapan, sejenak saya renungkan suasana silam tentang pendudukan Jepang. Ah, bayang-bayang penjajahan memang terlampau hitam bahkan ketika diimajinasikan.

Pencarian jejak benteng lain pun dilanjutkan. Saya menuju ke Desa Tlogokotes setelah sebelumnya saya mengulik benteng-benteng itu di Desa Bapangsari. Letaknya persis di tepi jalan desa, terdapat sebuah benteng di tepi selokan. Benteng ini berkategori Benteng Penjagaan. Fungsinya dipergunakan serdadu Jepang untuk berjaga-jaga sekaligus sebagai tempat tinggal para opsir dan perwira. Diperkirakan setiap benteng dihuni oleh kurang lebih 43 tentara Heiho. Benteng penjagaan inilah yang jumlahnya paling banyak di kawasan Kalimaro.

Paling mengusik saya sebenarnya adalah kenapa ada semacam selokan di dekat benteng. Apakah itu untuk pasokan air? Ternyata itu adalah lograk, yakni parit-parit yang menghubungkan antar benteng. Jika terjadi serangan, lograk ini menjadi jalan para serdadu Jepang dari satu benteng ke benteng lain sekaligus sarana pertahanan terhadap musuh. Lograk didesain untuk menyerang tetapi musuh tak tahu dari mana diserang karena tersembunyi di tanah. Sayangnya, kini sebagian besar jaringan lograk ini sudah runtuh dan tak berbekas lagi. 

Untuk menjaga pasokan air, Jepang juga membangun jaringan air. Setiap benteng Penjagaan akan dilewati oleh saluran air ini. Air ini ditampung pada sebuah kolam. Saya menjumpai terdapat bekas saluran air dan kolam penampungan di dekat Benteng penjagaan ini. Selain untuk pasokan minum, tentara Jepang memanfaatkan kolam ini untuk mandi dan lain-lain. Kolam ini sangat penting sewaktu perang karena alam Menoreh bagian selatan begitu kering. 

Benteng yang digunakan untuk penjagaan. Dengan bekas jaringan lograk (parit) yang menghubungkan antar benteng
Supriyadi. Warga Tlogokotes yang berbaik hati bercerita sejarah benteng. Bapaknya dulu adalah pekerja benteng.

Jepang sudah sedemikian totalnya membangun sistem pertahanan di pegunungan Menoreh selatan. Benteng pertahanan yang dipendam di tanah sudah dibangun tersebar di banyak titik. Masing-masing telah dihubungkan oleh jaringan parit bawah tanah lograk yang sistematis. Dilengkapi pula dengan jaringan air beserta kolam penampungnya. Saya yakin, Jepang sudah siap menghadapi serangan Sekutu di pantai Selatan Jawa. 

Tapi. Takdir berkata lain. Ribuan kilometer nun jauh di negeri Jepang sana, bom atom Sekutu meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah kepada Sekutu. Jepang hengkang dari Indonesia. Merdekalah Indonesia! Benteng Kalimaro pun tak pernah benar-benar digunakan Jepang untuk menghadapi Sekutu. Benteng Kalimaro menjadi benteng yang tak pernah menjadi medan pertahanan dan pertempuran. Segala senjata dan amunisi yang tersimpan di Benteng Kalimaro lalu dibuang ke Laut Selatan sesaat tentara Jepang meninggalkan ‘karya’ suramnya.

Namun, percayalah itu bukan kesia-kesiaan. Keterjadian peperangan akan mengantarkan korban tak hanya dari pihak yang berperang, tapi juga masyarakat di sekitar benteng. Inilah mengapa Supriyadi bersyukur tak jadi  ada perang.

“Kalau benar-benar terjadi perang, habislah semua warga di sekitar Benteng Kalimaro“, ungkap lelaki yang dulu bapaknya menjadi salah satu pekerja yang membangun Benteng Kalimaro. 

Supriyadi barangkali tak akan lahir ke dunia andai benar-benar terjadi perang di Kalimaro. Untunglah, Tuhan masih bermurah hati untuk tiga warga desa ini. Kini, Benteng Pendem Kalimaro pun menjadi tengara jejak sejarah Jepang yang terserak di Purworejo

Salah satu pintu benteng. Kecil, harus merunduk. Benteng Pengintaian untuk menangkal serangan Sekutu.

You Might Also Like

10 komentar

  1. Salam

    Berbagi Kisah, Informasi dan Foto

    Tentang Indahnya INDONESIA

    www.jelajah-nesia2.blogspot.com

    www.jelajah-nesia.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. salaaaaaam hangaaaat..

      mas Jelajahnesia. :)

      siiip.. ayo berbagi keindahan Indonesia

      Hapus
  2. Dari puncak Benteng Pendhem ini bisa melihat arah pantai/laut yang indah. di sisi berlawanan bisa melihar arah perkampungan/persawahan.
    akses menuju ke lokasi bisa menggunakan roda 2 atau 4 dengan kondisi jalan menanjak 40 sampai 60 derajat.
    silahkan melihat foto lain lewat google earth dengan koordinyat:
    S: 7-50-41
    E: 110-02-28
    ========================================guntur@gmx.com====================

    BalasHapus
    Balasan
    1. trima kasih informasi lengkapnya Mas Guntur..

      salam kenal..

      Hapus
    2. INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI SUBALA JATI DI NMR (_0_8_2_3_1_8_8_1_6_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 5X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

      klik http://angkaramalanakysubalajaty.blogspot.com





























      INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI SUBALA JATI DI NMR (_0_8_2_3_1_8_8_1_6_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 5X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

      klik http://angkaramalanakysubalajaty.blogspot.com

      Hapus
  3. informasi berharga dari seseorang yang cerdas sejarah plus berbakat dalam memaparkan dengan bahasa seru namun indah tertata! eksplorasi tempat bersejarah yang lain juga sobat!

    Salut!

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mas Reza Fahmy.. :D
      smoga setiap pembaca bisa menikmati..

      Hapus
  4. ckckckck luar biasa...
    kapan kapan saya ingin mengunjungi tempat ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. mas widodo.. silakan berkunjung.. menarik tempatnya. semoga bisa mengenang sejarah di benteng ini.. :D

      Hapus
  5. Luar biasa artikelnya Pak....Saya sebagai salah satu warga Tlogokites belum terfikirkan Membuat artikelnya. Tapi abda luar biasa...Salam kenal dan sukses selalu..ditunngu loh artikel kelanjutanya....

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK