Smile in Bena Village, Flores

September 22, 2013


Senyum Daniel dan anak-anak kampung Bena, Bajawa.
Senyum itu merintis tawaran. Senyum itu menggalang perasaan. Senyum itu membangun ikatan. Kata penyair, senyum bisa menjadi magnet. Sebuah senyum dari bocah, Daniel namanya, menarik langkah kaki saya kepadanya. 

Mendekat. Menyapa. Seketika saya merekat pada keriangannya yang asyik bermain bola bersama tiga kawan sebayanya di sepetak pelataran kampung Bena, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pada selepas siang yang terselimut mendung di kaki Gunung Inerie yang menjulang 2.245 m dpl.

“Mari bang ikutan kami main bola.” Daniel mengajak saya, langsung bersahabat.

Senyum Daniel yang berlanjut pada ajakan bermain bola, mencairkan kecanggungan saya tatkala baru saja tiba. Canggung sepertinya lumrah karena kini saya hadir pada kampung asli penjaga tradisi suku Ngada, berusia lebih dari 1200 tahun, melintasi puluhan generasi. Saya yang berasal dari ruang ‘modern’ dan ‘serba ada’ tanah Jawa, jauh dari Flores melintas laut, pulau, selat, serta realitas kontras manusia, mesti meluruhkan diri untuk menyamakan ritme pada kehidupan Bena. Sosok Daniel pas merajutkan saya pada corak tradisi Bena.

Deeer.. Bola itu menggelinding kencang disepak kaki kanan saya. Menyusur tanah liat berdebu. Dengan cekatan Inas menangkapnya. Senyum Inas mengembang. Dia bangga, lantas menyamakan dirinya seperti Peter Cech. Wow... Dia tak sekedar memakai jersey Chelsea, tapi juga tahu siapa kipernya dan dia mengidolakannya. Meskipun begitu, Inas bukan berseragam Cech melainkan Lampard.

Ternyata, simbol-simbol ‘modern’ dari dunia lain sudah hadir meriah di kampung Bena. Menyusup masuk dalam kehidupan masyarakat. Tidak kah hal menjadi masalah untuk kelestarian tradisi? Bijaknya, masyarakat Bena tak mempermasalahkan. Pasti ada ruang komunikasi yang terkendali antara modernitas dengan tradisi leluhur. Contohnya, dipersilahkanlah, anak-anak Bena ini seriang hati bermain bola bersandingkan Ngadu dan Bhaga, identitas tradisi Ngada yang indigenous.

Sepasang Ngadhu dan Bhaga tertancap di setiap tingkat pelataran. Kampung Bena memiliki 9 tingkat yang mencerminkan 9 jumlah marga yang mendiami Bena. Ngadhu adalah simbol nenek moyang laki-laki. Bhaga menjadi simbol nenek moyang perempuan. Ngadhu berwujud rumah berpayung ijuk dengan satu tiang. Bhaga berbentuk miniatur rumah adat. Di pelataran bertingkat-tingkat ini, juga berserak bebatuan besar menjulang yang berusia lebih dari seribu tahun. Bebatuan ini menjadi tengara bahwa kampung Bena juga pelestari budaya megalitik di Nusa Flores.

Saya beranjak naik, melangkahi satu per satu tingkatan di Kampung Bena. Sembari mendekat kepada deretan rumah-rumah tradisional Bena yang berupa Sakalobo (rumah inti keluarga laki-laki) dan Sakapu’u (rumah inti keluarga perempuan). Rumah-rumah Bena – yang beratap ijuk seperti joglo, berdinding kayu, berlantai panggung – akan memajang dan menjual kain-kain tenun ikat di berandanya.

Kain tenun ikat menjadi wujud cipta rasa keseharian para perempuan Bena dalam mengagungkan warisan tradisi leluhurnya sekaligus menjadi penambah pendapatan. Di teras ini juga, sosok-sosok wanita yang asyik menenun atau sekedar terduduk selalu ramah menyebar senyum manisnya. Saat itu, saya serasa berjalan pada panggung budaya yang dikelilingi perempuan yang tak bosannya menghadirkan ramah.

Tapi, ada satu senyum yang lain dari lain. Ini segurat senyum langka dari seorang nenek tua yang mengunyah sirih. Wajahnya bukan menghadirkan ceria tapi lebih menyiratkan penasaran kepada hadirnya orang ‘asing’ seperti saya. Semacam senyum gegar peradaban. Namun, tetap saja senyum ini adalah sebentuk komunikasi antara saya dan dia. Dengan cara ini, tanpa perlu berkata – barangkali tidak bisa berbahasa Indonesia – sang nenek ingin mengutarakan salam takzim untuk kehadiran ‘orang asing’. Atau, memang kenikmatan mengunyah sirih tak bisa membuatnya merekahkan senyumnya? Setiap orang Bena memiliki tradisi kuat menginang sirih yang dimakan dengan kapur.

Kali ini saya disambut lagi oleh seorang bocah yang cukup usil. Memang banyak anak kecil yang antusias menyambut wisatawan yang hadir di Bena. Tapi, dia – Martinus – beda.  Bocah kelas 1 SMP ini malah aktif meminta saya memotretnya. Oh My God! Ternyata ada bocah di pelosok Bena yang aktif narsis. Namun, saya sadar. Bukankah kampung Bena sudah terkenal menjadi kampung tradisi yang favorit dikunjungi wisatawan saat di Flores? Ada yang wajar untuk perangai Martinus.

Senyum Martinus tak terlalu mengembang sambil berdiri ‘cool’ di ujung Kampung Bena. Dia berpose dengan latar panorama harmoni jurang, perbukitan dan Laut Sawu di kejauhan. Katanya, setiap wisatawan akan diminta untuk memotretnya di sini, di spot yang paling tinggi di Bena ini. Ah, senyum Martinus biarlah menjadi senyum eksistensi, senyum narsis. Dia pun meminta hasil fotonya untuk dikirim ke Bena. Katanya untuk kenang-kenangan.

Hari kian sore dan kini saatnya mentari tersenyum. Dari tadi dihijab mendung, biarlah mentari kini memberi kehangatan pada kampung yang perlahan sejuk mendingin. Sebuah kemurahan alam! Senyum cerah mentari sore meningkahi warna coklat ijuk dan bambu bangunan di Bena menjadi keemasan. Dalam haribaan senyum mentari ini, saya undur diri dari Kampung Bena dan melempar senyum kepada siapapun warga yang saya temui. Simbol ekspresi saya gembira di Bena. 

Sembari melangkah keluar dari Bena, saya teringat Phyllis Diller. Secara filosofis, dia melukiskan sebuah senyuman itu sebagai sebuah lengkungan yang meluruskan segala sesuatunya. Segala sesuatu itu berwujud pada keseharian masyarakat Bena. Tak ada yang ditutup-tutupi. Terungkap apa adanya. Lurus. 

Hari itu, aneka rupa senyum masyarakat Bena pantas menjadi cermin. Bahwa, kampung mereka adalah kampung penjaga tradisi tetapi tidak takut menyongsong peradaban era kini.

Senyum para perempuan Bena. Remaja putrinya begitu tersenyum manis. Saya suka. :)
Tatapan sang nenek. Ragu senyum atau tidak.
Martinus. Sang narsis dari Kampung Tradisional Bena. Cool..
Kampung Bena di lihat dari titik tertinggi.
Ngadu, Bhaga, dan bertingkat-tingkat. Identitas khas Kampung Bena, Bajawa, Flores
Di dalam rumah, anak-anak Bena tersenyum narsis saat dijepret.

You Might Also Like

3 komentar

  1. kampung Bena ngangenin. Ramah2 orangnya

    BalasHapus
  2. Sepakaaat kak Ainun.. :) benar2 ramah.. tertawan rindu.. hehe..

    Salam kenal

    BalasHapus
  3. INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI SUBALA JATI DI NMR (_0_8_2_3_1_8_8_1_6_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 5X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

    klik http://angkaramalanakysubalajaty.blogspot.com





























    INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI SUBALA JATI DI NMR (_0_8_2_3_1_8_8_1_6_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 5X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

    klik http://angkaramalanakysubalajaty.blogspot.com

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK