Merawat Kebersamaan Lamin Pepas Eheng

Februari 28, 2014

Lamin Pepas Eheng di Kutai Barat. Jantung Kalimantan

Modernitas senang sekali menyeret manusia untuk menjadi sang individualistis. Atas nama kemandirian, makin banyak manusia lebih memilih untuk membentuk ruang hidupnya sendiri-sendiri, enggan menjaga dan berbagi hidup bersama. Tradisi hidup komunal yang telah lama mengakar bagi Suku Dayak perlahan tercerabut. Lamin, rumah panjang tradisi orang Dayak, makin hari makin ditinggalkan. Lamin Pepas Eheng menjadi satu dari sekian sedikit Lamin orang Dayak yang tersisa.

Matahari sudah tigaperempat melintasi siang saat saya tiba di Lamin Pepas Eheng. Aspal mulus dan jalanan sepi dari kota Sendawar, ibukota Kutai Barat, menjadikan perjalanan sejauh 35  km hanya ditempuh sekitar 45 menit. Tak terasa. Kehadiran saya di Lamin Pepas Eheng ini adalah di sela pelaksanaan survey sarana prasana sekolah dan kesehatan Kab. Kutai Barat. Jadwal begitu padat sehingga saya harus pintar-pintar mencari waktu untuk bisa mengulik jantung tradisi orang Dayak. “Mosok ke Kutai Barat tidak mampir ke Lamin.”

Dua orang renta yang duduk di pintu utama menyambut saya saat menapaki tangga Lamin. Saya rasa mereka adalah sepasang suami istri. Saya sapa mereka, tapi tak ada balasan. Apakah mereka  tak nyaman dengan saya? Apakah saya kurang sopan? Begitu pikir saya karena saya baru pertama kali berkunjung ke rumah khas Dayak ini. Hanya ada tatapan penuh keheranan dari mereka. Saya juga heran yang bercampur  dengan takut. Takut tak diterima.

“Silakan masuk.” Kali ini akhirnya saya mendapat sapaan ramah perempuan muda dari dalam Lamin.
“Bapak ibu ini tidak bisa berbahasa Indonesia. Biasanya kalau tamu datang, mereka hanya lihat seperti orang heran saja. Tapi, mereka ramah kok.” ungkap Lenga (30 tahun), perempuan itu.

Saya kemudian diajak Lenga ke satu lokasi di ruangan Lamin. Tepat di depan kamar dia dan keluarganya, kami duduk di atas tikar rotan yang sudah dihamparkan. Di situ, Lena, putrinya yang baru berusia 3,5 tahun baru saja bangun dari tidurnya gara-gara kami datang. Dia langsung mendekap ke ibunya. Untungnya, kedatangan kami tak membuatnya menangis. Bapak Lenga, Sungan, keluar dari bilik kamar menyambut saya lalu bergabung dengan kami.

Tak berapa lama, Lenga sejenak masuk ke dalam kamar. Dia mengambil beberapa kerajinan tangan khas Dayak. Ada aneka gelang rotan, kalung manik-manik dari biji bataka, tas rotan khas Dayak yang disebut anjat, gelas berbahan kayu pasak bumi dan berbagai kerajinan lainnya. Kerajinan-kerajinan ini dibuat oleh Lenga dan keluarganya. Biasanya, kaum pria pergi bekerja di hutan, ladang, sedangkan kaum wanita menunggui lamin sembari membuat kerajinan.   

Tapi, kerajinan yang paling memantik perhatian saya adalah mandau, senjata khas Dayak. Mandau ini sangat indah, terbuat dari besi pilihan, bergagang kayu limau berukiran indah dan bersarung kayu gelunggang. Terdapat juga hiasan bulu burung yang makin mempercantik mandau. Saya tertarik bertanya harga mandau. Ahaa.. Harganya 1,3 juta. Wow. Saya pun mundur teratur dan hanya memegangi mandau yang kental dengan aura keberanian dan kegagahan orang Dayak.

Macan Sendawar. Simbol kota Sendawar, ibukota Kutai Barat. 
Seorang nenek mengintip kedatangan saya di Lamin Pepas Eheng.

“Sebelum ramai Bom Bali dulu, banyak turis asing yang datang ke Lamin Pepas Eheng dan membawa pulang mandau sebagai cinderamata.” ungkap Yohanes M. Lengko yang juga turut bergabung. Yohannes ini merupakan seksi keamanan merangkap pengurus wisata di Lamin Pepas Eheng. Pria tambun inilah yang akan banyak berkisah tentang Lamin Pepas Eheng.


Mengakrabi Lamin Milik Dayak Benuaq

Hadir di Lamin adalah sebuah kesempatan untuk belajar banyak tentang kebersamaan. Betapa tidak, dari nama Lamin saja itu berarti “rumah kita semua”. Di Lamin Pepas Eheng, setidaknya ada 32 KK yang tinggal bersama, hidup saling berbagi ruang. Mereka memiliki keterikatan hubungan saudara. Bisa dibayangkan dalam satu Lamin Pepas Eheng ada lebih dari seratusan orang yang tinggal. Luar biasa.

Lamin Pepas Eheng dihuni oleh masyarakat suku Dayak Benuaq yang merupakan salah satu suku terbesar di daerah Kutai Barat dan sekitarnya.  Didirikan pada tahun 1962. Lamin yang memiliki panjang 125 meter ini merupakan pindahan dari Lamin yang ada di Kampung Pepas, sekitar 2 km dari Kampung Eheng. Tentu, sebagai “rumah kita semua”, dulunya Lamin dibangun secara bergotong-royong. Pembangunan Lamin atau yang biasa disebut juga sebagai Lou bisa menjadi ejawantah bahwa ikatan kebersamaan Suku Dayak itu sedemikian sangat kuat.

Saya memerhatikan seksama bangunan Lamin ketika Pak Yohannes mengisahkan bagian-bagian dari Lamin Pepas Eheng. Secara umum ruangan Lamin terbagi menjadi dua bagian utama. Bagian seperti los berada di depan yang memanjang dari ujung ke ujung Lamin. Masyarakat menggunakan bagian depan Lamin sebagai tempat untuk menerima tamu, upacara adat, berinuq (musyawarah orang Dayak), dan tempat tidur kaum laki-laki.

Bagian belakang lamin merupakan ruangan yang tersekat-sekat menjadi semacam bilik yang disebut olakng. Di olakgn ini terdiri dari dapur dan beberapa kamar. Satu olakgn biasanya dihuni 4-5 keluarga. Masyarakat Dayak menggunakan olakgn sebagai dapur, tempat menyimpan harta kekayaan, dan tempat tinggal kaum perempuan dan anak-anak.

Tiang utama paling besar di Lamin Pepas Eheng. Berbahan kayu ulin. Menghujam tanah menopang atap.
Dapur di Lamin Pepas Eheng. Menjadi bagian dari olakgn.

Pak Yohannes bangkit dari duduknya lalu memegang tiang paling besar yang menyangga Lamin. Keseluruhan tiang utama yang berupa kayu bulat utuh di Lamin Pepas Eheng ada 13 tiang. Tiang utama ini menunjam di tanah hingga menyangga atap. Tiang utama ini lalu didukung oleh tiang-tiang yang menopang lantai Lamin dari tanah. Tiang pendukung ini berjumlah banyak dan berupa balok-balok yang sudah dipotong-potong.

Semua tiang ini berbahan kayu ulin, kayu khas Kalimantan yang terkenal dengan kekuatan dan ketahanannya. Kayu ulin ini anti rayap dan sanggup menahan beban sangat berat bahkan sanggup menahan truk-truk besar. Makanya, kayu ulin bisa digunakan untuk bahan jembatan-jembatan di Kalimantan. Di tiang-tiang utama Lamin, dihiasi oleh ukiran-ukiran khas Dayak dan dipasangi tanduk kerbau  yang menjadi hasil kurban pada upacara adat masyarakat Eheng.

“Kayu ulin juga digunakan untuk atap Lamin. Anti air. Kalau kena air tidak lapuk, malah makin kuat.” ungkap pria yang berasal dari daerah Muara Lawa dan menikah dengan keluarga Lamin Pepas Eheng.

Atap lamin dibuat dengan merangkai potongan kayu ulin yang dibentuk persegi panjang berbilah tipis-tipis. Ditumpuk-tumpuk seperti sisik pada ikan. Air hujan dijamin tak masuk. Saya kian yakin bahwa ini adalah bukti mahakarya arsitektur suku Dayak. 

Dinding dan lantai Lamin dibuat dari papan-papan kayu Meranti. Kayu ini juga kuat seperti kayu ulin. Dinding ini kuat untuk menahan goncangan angin, hujan dan meredam panas sehingga menjadikan rumah Lamin senantiasa nyaman ditinggali. Di dinding yang membatas ruang depan dan belakang, saya melihat beberapa ikat padi digantung. Kata Pak Yohanes, padi menjadi simbol kemakmuran bagi masyarakat penghuni Lamin.

Pada Lamin, terdapat beberapa pintu masuk dan jendela di antara pintu-pintu tersebut. Biasanya setiap pintu masuk langsung dihubungkan dengan tangga kayu untuk naik ke atas Lamin. Yang menarik, bahwa setiap pintu di Lamin Pepas Eheng ini sama pentingnya. Semuanya merupakan pintu utama sehingga tak masalah lewat mana saja. Tetap dianggap sopan. Meski demikian, ada satu pintu yang dihias lebih seperti gapura, yang awalnya menurut saya itu adalah pintu utama.

“Ini Belontakng, patung ukiran khas Dayak.” jelas Yohanes Lengko sambil memegang badan patung yang terletak di muka setiap tangga. “Tapi, jangan kira kami ini menyembah patung-patung ini.”

Belontakng bagi masyarakat Dayak Benuaq merupakan patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Patung yang berukiran seperti wajah dan badan manusia ini juga merupakan wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat. Uniknya, fungsi Belontakng juga untuk diludahi setiap orang yang melewatinya. Jika sedang dilakukan prosesi adat, Belontakng digunakan untuk mengikat hewan kurban seperti kerbau, babi.

Belontakgn yang tertancap di muka tangga. Keindahan ukiran suku Dayak Benuaq.
Atap Lamin. Bilah tipis papan dari kayu ulin dirangkai sedemikian rupa. Melindungi penghuni dari hujan dan panas

Tiba-tiba, anak-anak babi berlarian dari kolong panggung Lamin. Babi-babi itu membuat Pak Yohannes kesal. Lalu dia mengambil batu dan melemparkannya ke arah babi-babi itu. Meski tidak kena, babi-babi itu lalu masuk lagi ke kolong Lamin setinggi 2 meter ini. Aih, pemandangan ini membuat saya tersenyum melihat betapa lucunya babi itu lari terbirit-birit, seperti takut pada Pak Yohanes. Tapi dia tidak menyalahkan babi itu.

“Saya sudah sampaikan ke pemilik babi agar babi dimasukkan kandang saja. Lihat itu, babi merusak rumput yang saya tanam agar Lamin enak dikunjungi tamu wisata. Eh, mereka malah tetap biarkan saja. Apa tidak malu kepada para wisatawan.” keluhnya.

Saya coba mengintip kolong panggung lamin. Selain babi, saya lihat motor-motor terparkir bersandar pada tiang panggung Lamin. Motor ini jelas merupakan milik para penghuni Lamin karena tak mungkin motor dinaikkan ke atas Lamin. Aha.. Kolong panggung ternyata multifungsi. Selain dibuat tinggi untuk menghindari hewan liar maupun banjir, juga ternyata bentuk panggung Lamin bisa menjadi garasi motor. Pak Yohanes meyakinkan bahwa dijamin motor yang terparkir di bawah Lamin akan aman.  


***

Yohanes mengajak saya menjauhi Lamin, menyeberang jalan. Dia ingin mengajak saya ke Tampelak, kuburan khas orang-orang Dayak Bahau. Letaknya tak jauh dari Lamin Pepas Eheng, hanya sekitar  50 meter. Jalanan becek membuat saya tak bisa mendekati Tampelak, hanya memandangnya dari seberang.

Tampelak merupakan kuburan semacam peti persegi yang disangga oleh dua tiang berupa kayu bulat setinggi sekitar satu meter. Pada peti kayu dan kayu penyangga berhiaskan ukiran-ukiran Dayak yang menggambarkan penyebab kematian mayat yang merupakan orang penting Suku Bahau. Jumlah Tampelak di Eheng ada puluhan. Namun, kini sudah tidak digunakan lagi prosesi penguburan seperti itu.

“Orang Lamin Pepas  Eheng dikuburkannya di tanah. Sekarang sudah memeluk agama Kristen Protestan.” ungkap Pak Yohanes yang memiliki putri dua dan sangat bangga mengisahkan kepandaian putrinya menari tarian Dayak.

Tampelak, kubur orang penting suku Dayak Bahau yang terletak di dekat Lamin Pepas Eheng. 
Mandau hasil karya pak Yohanes. Dilengkapi sumpit mini. Senjata khas orang Dayak

Kini obrolan kami berpindah lagi ke Lamin. Kali ini dia mempersilakan saya masuk ke olakgn atau biliknya yang terletak di ujung kiri Lamin Pepas Eheng. Istri Pak Yohanes menyambut kami dengan ramah. Jujur, saya agak terpesona melihat istri Pak Yohanes yang begitu cantik dan awet muda meski sudah cukup tua. Perempuan Dayak memang terkenal dengan kecantikannya. Tak lama kemudian, suguhan kopi dan  pisang goreng pun tersaji oleh istri Pak Yohanes.

Pak Yohanes juga menjajakan kerajinan-kerajinan seperti gelang rotan, anjat (tas rotan)  dan tentunya mandau. Saya terpikat dengan keindahan kerajinan khas Dayak ini. Ah, saya pun tak kuasa untuk membeli anjat rotan yang bermotif Lokung Molo. Motif ini merupakan paling khas Dayak Benuaq, yakni sebentuk motif cacing.

Dari situlah, lalu obrolan kami mengarus deras. Bukan tentang seni budaya tradisi Dayak Benuaq lagi, tapi suara miris tentang Lamin Pepas Eheng. Sembari menghisap rokoknya, Pak Yohanes mengeluhkan peran pemerintah Kutai Barat yang kurang memerhatikan Lamin Eheng. Bagi saya jelas ini klise. Klise dimana-mana di penjuru manapun Indonesia. Klise khas pemerintah daerah yang tidak merawat tempat yang sejujurnya memiliki potensi besar wisata budaya ini. Tapi, saya makin terkejut mendengar alasan tidak berpihaknya pemerintah daerah pada pengelolaan Lamin Pepas Eheng.

“Karena kami dulu pas pemilihan bupati tidak memilih bupati yang sekarang berkuasa. Kami  pilih jago merah, tapi yang jadi jago kuning. Lamin terus tidak mendapat bantuan.” tukas Pak Yohanes.

Haah..? Hanya gara-gara beda dukungan partai lantas aset budaya Dayak Benuaq ini diabaikan. Sungguh tak habis pikir bagi saya, Lamin Pepas Eheng dibiarkan kian lapuk dimakan usia. Yang namanya tempat penjaga budaya Dayak asli semestinya dirawat melampaui sekat-sekat kecil semacam atribut partai. Lamin Pepas Eheng sudah dikenal di mancanegara, terbukti dengan sering berkunjung dan menginapnya turis-turis asing. Dulu sering diadakan pertunjukan di Lamin Pepas Eheng, tapi kini rumah panjang ini malah dicabut dari daftar destinasi andalan Kutai Barat. Ada apa?? Sekali lagi, saya tak habis pikir atas sikap pemerintah daerah ini.

Untuk merawat eksistensi dan pesona Lamin Pepas Eheng, masyarakat setempat pun seringkali 
mengandalkan sumbangan mandiri. ‘Belas kasihan’ wisatawan pengunjung juga sangat diharapkan. Tapi, Yohanes dan masyarakat penghuni Lamin Pepas Eheng sangat bangga untuk mempertahankan kelestarian Lamin: sebagai tempat tinggalnya, pusat adatnya dan jantung perekat kebersamaan sosialnya.

Lamin Pepas Eheng senantiasa menjadi lamin yang ‘hidup’. Tak semata hanya penjadi panggung atraksi budaya saja yang sengaja dipertontokan kepada khalayak. Ada originalitas nilai luhur Dayak yang terus dipertahankan. Lamin ini menjadi benteng adat dari serbuan nilai modern yang meminta masyarakat untuk tinggal individu, menggerus kebersamaan khas Dayak. Lamin ini juga menjadi perisai untuk melestarikan hutan Kalimantan dari penghancuran atas nama pembangunan, pertambangan dan perkebunan. Orang Dayak Benuaq menganggap hutan dan seisinya sebagai benda adat yang sakral.       

Tapi, jika Lamin Pepas Eheng dan lamin-lamin lainnya berjuang sendirian, jelas mereka rapuh. Makin hari makin merapuh seperti kayu-kayu yang dominan mengonstruksi Lamin. Jelas,tak kuasa hadapi serbuan alat, institusi dan budaya modern yang berseberangan. Saya membayangkan, jika tanpa ada partisipasi masif pemerintah dan kepedulian masyarakat, mungkin beberapa tahun lagi, kisah manis Lamin Pepas Eheng tinggal dongeng belaka. Dus, mari peduli!! 

Pintu yang menjadi tempat saya menaiki Lamin Pepas Eheng. Dikira pintu utama,  padahal setiap pintu sama pentingnya
Seorang lelaki penghuni Lamin Pepas Eheng sedang membuat menghaluskan rotan sebagai bahan anyaman.
Berfoto bersama Pak Yohanes dan bocah lucu Lena. Mari tersenyum.. :)
Kepala kerbau dan tanduknya. Dipasang di tiang-tiang utama Lamin Pepas Eheng.
Papan nama Lamin Adat Pepas Eheng. Ada kesan kurang perhatian pemerintah daerah.
Eksis dengan patung Belontakng dan anjat bermotif khas Dayak Benuaq Lokung Molo di depan Lamin Pepas Eheng. 

You Might Also Like

3 komentar

  1. pepes eheng itu nama rumahnya atau pemiliknya sih? hhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. kak HImawan, nama rumahnya itu Pepas Eheng.. :) terletak di Desa Eheng..

      makasih dah berkunjung.. salam kenaaal..

      Hapus
  2. Kakak saya izin untuk mengambil sedikit kutipan dari tulisan kakak. Saya suka tulisan kakak.

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK