Petualangan Kematian Tana Toraja

April 19, 2015

Pesona mistis di Tana Toraja.

Percaya atau tidak! Hanya di Tana Toraja, aroma kematian bisa harum menggembirakan jiwa. Karena, di setiap lekuk-lekuk bumi Toraja, bau kematian menguar bukan hadir dalam bentuk yang menakutkan. Ia mewujud manis pada tradisi-tradisi kematian Toraja yang begitu ‘indigenous’ - yang khas, yang spesial hanya ada di Tana Toraja.

Sebut saja, upacara kematian Rambu Solo yang sarat nuansa mistis tapi eksotis. Ada juga beraneka ragam kubur yang mengukir manis tebing, batu raksasa, goa, dan pohon di setiap tempat di Toraja. Tak kalah khasnya, Tongkonan, rumah adatnya yang penuh dengan makna kematian tapi cantik fotogenik menghiasi tiap penjuru Toraja.

Tidaklah salah, Patricia Schultz mengukuhkan Tana Toraja dan pesona manis tradisi kematiannya sebagai salah satu destinasi utama di dunia dalam bukunya yang menjadi acuan para wisatawan dunia, 1.000 Places To See Before You Die (2003).


***

Malam baru saja menjelma pagi. Langit masih berselimut mendung. Sesekali kabut coba melintas menghijab puncak-puncak bukit. Hawa dingin senantiasa setia bersarang. Tana Toraja terletak tepat  di jantung Sulawesi. Dikelilingi oleh pegunungan tinggi yang bersesak-sesakan memeluk Toraja

Saya mencapai Toraja dari kota Makassar, pintu gerbang Sulawesi, sejauh 350 km dan 8 jam dengan perjalanan darat yang berkelok-kelok. Kata Toraja sendiri berasal dari orang Bugis yang menamakan penduduknya sebagai "Riaja" yakni orang yang mendiami daerah pegunungan.

Saya memulai petualangan wisata kematian Toraja dengan memburu Rambu Solo. Rambu Solo adalah upacara penguburan orang Toraja yang sangat khas dan mencerminkan budaya Toraja.

“Kematian bukan untuk berduka, tetapi harus dirayakan dengan pesta senang-senang.” terang Basho, pemandu saya. “Orang Toraja akan merayakan pesta kematian lebih meriah daripada pesta kelahiran, bahkan pesta pernikahan.”

Pada Rambu Solo, dilakukan penyembelihan kerbau dan babi yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Upacara Rambu Solo pun menjadi semacam pesta rakyat bagi masyarakat Toraja. Ah, sayangnya saya hanya menjumpai upacara yang telah berakhir. Sehari yang lalu upacara dilangsungkan. Hanya tersisa bangunan bekas upacara, ceceran darah hewan kurban dan kepala kerbau. Jujur, saya cukup kecewa karena gagal menjumpai upacara yang mampu menarik wisatawan dari seluruh dunia untuk datang ke Toraja.


Suaya King's Grave. Ada pekuburan muslim di bawah tebing.
Bekas ritual Rambu Solo yang terlewatkan.

Baiklah, mari tinggalkan kekecewaan! Suaya King’s Grave kini menjadi destinasi selanjutnya. Sebuah tebing granit berlubang-lubang berisikan patung-patung boneka  yang berjejeran. Patung boneka ini dikenal sebagai “Tau-tau” yang menjadi simbol dari orang yang dikuburkan di tebing batu itu. Adapun para jenazah diletakkan di belakang Tau-tau tersebut. Saya menjumpai para Tau-tau ini merentangkan tangannya, seakan Tau-tau hendak menyambut saya di kawasan yang menjadi kompleks pekuburan raja-raja Sangalla’ dan keluarganya.

Uniknya, di sini terdapat sebuah kuburan yang terletak di tanah, tidak di batu. Ini adalah kuburan muslim. Tertulis di nisan putih: Haji Puang Lai Rinding. Padahal, tanah adalah elemen suci bagi masyarakat Toraja. Makam di atas tanah ini menjadi wujud sebuah komunikasi yang mengedepankan toleransi di Tana Toraja. Masyarakat Toraja bisa menghormati agama yang dianut oleh Haji Puang Lai Rinding, sang bangsawan itu, meskipun berbeda dari tradisi leluhurnya, yakni: Aluk Tadolo. Salut untuk toleransi masyarakat Toraja!

Tidak jauh dari Suaya, saya menuju ke Kambira. Sebuah pohon Tarra tua tegak menjulang. Berfungsi sebagai tempat kubur bayi bagi masyarakat Toraja. Namanya ‘passiliran‘. Bayi yang belum tumbuh giginya dikuburkan pada passiliran. Orang Toraja menganggap bayi seperti ini masih suci. Pohon Tarra‘ dipilih karena pohon ini memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Kambira Baby Grave terletak di tengah rerimbunan hutan bambu yang membuat matahari tak bisa menembus untuk menghangatkan suasana. Ini menambah aura mistis.

Toraja tidaklah sekedar manis untuk dinikmati dalam kacamata budaya kematiannya. Bumi Toraja juga menawarkan alam yang memesona. Selepas dari Kambira, saya melewati alam pedesaan Toraja yang masih asri dan alami. Jejalanan masih kasar belum beraspal. Menembus hutan dan persawahan.

Di perjalanan ini, imajinasi seperti leluasa keluar dari ruang mimpi. Bebas dan dalam tanpa mengenal pembatasan. Hamparan padi yang menguning sangat memanjakan mata. Di kejauhan, perbukitan granit memanjang, seperti menjadi pembatas setia cakrawala. Kadang saya berjumpa dengan kerbau yang nikmat menyantap rerumputan di tengah ladang. Atau berjumpa juga dengan senyum tulus nan ramah dari warga pedesaan Toraja. Tak terlupa, beberapa kali saya berjumpa dengan anak-anak Toraja di jalanan sepulang sekolah yang turut mewarnai manis Toraja. Sungguh sebuah momen yang mendamaikan hati.


Persawahan manis dan bukit karstnya yang eksotis di Toraja.
Tersenyum bersama nenek yang suka berfoto di Kampung Karuya yang cukup terpelosok.

Kemudian saya singgah di Karuya, sebuah desa di pelosok pedalaman Tana Toraja. Deretan Tongkonan beserta Alang Suro berdiri kokoh di atas hamparan rerumputan hijau. Tongkonan adalah rumah adat Toraja yang berbentuk panggung dan sangat khas. Alang suro merupakan lumbung padi masyarakat Toraja dan biasanya diletakkan di hadapan Tongkonan. Saya begitu asyik memandangi bentuk atap tongkonan yang seperti kapal dengan tanaman liar yang merambat di atasnya.

Tiba-tiba seorang nenek tua yang berpakaian khas Toraja dengan passapu (penutup kepala) datang menghampiri saya dan langsung meminta berjabat tangan.

Selamat datang”. Ternyata dia ingin mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana?”, lanjut dia sambil menawarkan senyum merekah yang coba menyamarkan usianya.

“Dari Jawa, nek” jawab saya.

Kami lalu saling berkomunikasi dengan bantuan pemandu saya. Ternyata, hal ini lalu menarik perhatian para cucunya untuk bergabung bersama kami. Saya lantas diajak untuk masuk ke dalam salah satu tongkonan yang ada di sana. Percakapan dengan sekelompok masyarakat Karuya memantapkan pandangan saya bahwa orang Toraja adalah masyarakat yang sangat ramah terhadap siapapun.

Terance W. Bigalke dalam bukunya a History of Tana Toraja (1981) menyatakan bahwa Tana Toraja adalah museum hidup dari tradisi nenek mooyanng yang berlangsung selama berabad-abad. Orang Toraja merupakan suku yang masih memegang tradisi asli ras Austronesia. Mereka termasuk pada Proto Melayu yang mendiami Nusantara pada 2000 – 1500 SM. 

Saat ini, kekhasan Tana Toraja bisa menjadi contoh dari harmonisasi akulturasi antara tradisi nenek moyang dengan agama. Mayoritas orang Toraja adalah penganut Kristen, namun pada setiap tradisinya masih berdasarkan Aluk Tadolo, kepercayaan nenek moyangnya.


Manis bersama Tulang Belulang

Saya beranjak ke Kete’ Ketsu, sebuah destinasi wisata yang telah populer di Toraja seiring terkenalnya Toraja ke penjuru dunia. Kawasan ini tentu ramai dengan wisatawan asing dan domestik. Kete’ Ketsu bisa menjadi semacam potret lengkap kepada siapa yang ingin menikmati Toraja secara singkat.

Kete’ Ketsu menawarkan rumah Tongkonan berusia ratusan tahun lengkap dengan Alang Suro di hadapannya. Ada juga kubur gantung Toraja tua yang bernuansa mistis. Di sekitar Kete’ Ketsu, lengkap pula terdapat menhir-menhir yang tegak menjulang di dataran rerumputan hijau.

Potret budaya masyarakatnya tak kalah lengkapnya. Masyarakat Kete’ Ketsu dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan istiadat warisan leluhurnya. Serangkaian ritual dan upacara adat masih teguh dipertahankan oleh kampung yang berada pada Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara. Dari sisi kerajinan, Kete’ Ketsu terkenal dengan seni ukiran bambu, seni pahat, seni lukis dan kerajinan tradisionalnya. Kerajinan pahatan Kete’ Ketsu begitu unik dan rumit yang diwariskan turun temurun.

Bagi saya, momen paling bermakna di Kete’ Ketsu adalah saya bisa berfoto bersama dengan tengkorak dan kerangka tulang manusia. Tadinya saya ragu dan setengah takut. Aroma mistis memang sangat terasa karena begitu banyak serak-serak tulang yang telah berusia berabad-abad.

Kete Ketsu. Ikon Toraja yang paling dikenal.
Manis bersama tulang belulang. Tak ada ngeri sekalipun.

Namun, bukankah ini di Toraja, di mana kematian adalah sesuatu yang menyenangkan? Malah untuk berpesta-pesta? Dan, wisatawan tertarik ke Toraja salah satunya untuk menyaksikan wujud-wujud kematian pada kemasan yang tak menakutkan. Wisata Toraja itu jelas tentang wisata kematian. Saya pun tak canggung lagi untuk  berfoto manis dalam suasana  mistis bersama tengkorak-tengkorak  Kete’ Ketsu.

Tengah siang berarti lapar mencapai puncaknya. Saatnya saya mencoba Pa’piong, kuliner paling khas Toraja. Pa’piong dimasak menggunakan bambu yang dibakar dengan isi lauk berupa babi, ayam atau ikan ini dicampur sayuran dan bumbu. Adapun bumbu Pa’piong menggunakan parutan kelapa, daun bawang, serai, telor, merica, bawang putih, dan bawang merah. Saya pun menikmati sesuwir pertama daging Pa’piong. Rasa pertama di lidah begitu ‘spicy’ nan gurih. Mantap dan maknyuuuus!

Perut kenyang berarti petualangan dilanjutkan. Saya menuju ke Bori Kalimbuang di daerah Sesean. Saya menyaksikan batu-batu menhir tegak berdiri pada hamparan hijau tanah rumput. Batu-batu berusia ratusan tahun ini tinggi memanjang menyembul dari daratan. Konon jumlahnya ada 102 buah. Terdiri dari 54 menhir kecil, 24 sedang dan 24 batu berukuran besar.

Tempat kumpulan menhir ini juga berkaitan dengan aroma harum kematian. Bori Kalimbuang digunakan sebagai lokasi Rambu Solo oleh masyarakat setempat. Selain itu, untuk membangun menhir-menhir ini harus melalui suatu upacara adat Rapasan Sapurandanan. Paling tidak, kerbau yang dikurbankan sejumlah 24 ekor pada upacara ini.

Di Bori Kalimbuang, terdapat Balakkayan, panggung di tengah-tengah menhir untuk membagi-bagikan daging hewan yang disembelih saat Rambu Solo’. Ada juga Lakkian di pinggir kompleks menhir. sebagai tempat jenazah disemayamkan selama upacara Rambu Solo’ berlangsung. Bangunan lainnya adalah Langi’, yaitu tempat usungan jenazah. Usungan ini berbentuk atap Tongkonan. Ketika berjalan agak masuk ke hutan, saya menemukan Liang Pa’, sebuah batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah.


Menhir-menhir di Bori Kalimbuang. 
Batu besar yang berbentuk bulat yang dijadikan makam. Disebut Liang Pa.

Tak terasa, sore telah mencengkeram bumi Toraja. Saya pun kembali ke Rantepao, kota pusat Tana Toraja. Dalam perjalanan pulang, saya sempat berhenti di samping pohon beringin besar. Basho mengajak saya untuk menunjukkan sebuah jembatan bambu. Ya, sebuah arsitektur dari bambu yang saling mengikat dalam simpul-simpul yang kuat. Tanpa paku. Berbentuk segitiga meruncing ke atas di tepiannya. Melintas di bawahnya, sebuah sungai mengalir tenang. Diapit bebatuan granit yang berkotak-kotak. Bertingkat-tingkat. Eksotis. Saya coba melintas jembatan penuh hati-hati. Saya bisa merasakan sensasi seperti terlempar pada  suasana masa lalu di Tana Toraja.


***

Matahari makin memudar ketika saya tiba di Rantepao. Senja kian menjelang. Kini saatnya berburu oleh-oleh di kawasan Pasar Rantepao. Meski sore, pasar yang menjadi pusat ekonomi masyarakat lokal ini begitu riuh dengan para wisatawan yang ingin pulang dengan membawa oleh-oleh khas Toraja.

Saya pun membungkus kain tenun khas Toraja yang bermotifkan bunga-bunga dan dedaunan. Tak tertinggal, saya juga memborong bubuk Kopi Toraja. Kopi Toraja adalah specialty coffee yang kaya dengan keharuman aroma.  Senang rasanya bisa membeli kopi yang telah terkenal di seantero dunia ini di tempat asalnya.

Menyongsong larut malam, Rantepao telah berubah sunyi. Suasananya seperti sebuah kota  yang diliputi horor. Saya pun tinggalkan Toraja dengan kesan mendalam tentang mistis dari Tana Toraja. Terlebih ketika mengingat saya berfoto bersama tengkorak dan tulang-belulang di Kubur Gantung Kete’ Ketsu tadi siang.

Untungnya Basho menenangkan, “ Walaupun berfoto bersama tengkorak, para arwah mereka tidak akan mengganggu kita. Mereka telah tenang di alam baka sana karena telah melalui upacara kematian Toraja. Jadi, tenang saja.”    


Catatan:

dan diikutkan pada Blog Competition Djarum Super 2014. Alhamdulillah, masuk 10 besar artikel favorit.
- Versi panjang dari setiap destinasi di Tana Toraja bisa disimak di


Pa'ppiong, kuliner teristimewa Toraja. Ini ayam yang dimasak di dalam bambu. 
Persawahan dan Tongkonan yang merajut manis di Kete' Ketsu. Hal yang biasa dijumpai di Tana Toraja
Tedong. Kerbau ini harganya lebih mahal daripada mobil semisal Honda Jazz lhoo.. :D
Kambira Baby Grave. Kuburan bayi di Pohon Tarra.

You Might Also Like

3 komentar

  1. Mas iqbal kok ganteng banget
    *salah fokus hahaha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. heeeei mbak Wulan, perlu periksa ni ke dokter mata.. :D
      ini foto tiga tahun lalu.. :D

      Hapus
  2. tebing, batu dan pohonnya itu terlihat mistis sekali ya, mungkin karena dijadikan kuburan, jadi agak serem aja lihatnya..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK