Wajah Semarang (Setara(?))

April 25, 2015

Kawasan Tugu Muda, salah satu tengara di Semarang

Selayaknya kota-kota lain di Indonesia, Semarang juga tak bisa untuk  tidak ikut dalam arus besar rebranding sebuah kota. Dulu, Semarang dalam sematan ala Orde Baru dikenal sebagai Kota ATLAS alias Aman, Tertib, Lancar, Asri (Indah), dan Sehat. Sejak 2010, Semarang menyematkan dirinya dengan slogan Semarang Setara. Menurut pencetusnya, walikota lalu: Soemarmo, “Semarang sudah saatnya sebanding, sama dengan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia.”[1]

Pantas saja resah kota Semarang. Banyak yang menganggap Semarang telah tertinggal dari kota-kota besar yang sejak zaman VOC dikembangkan menjadi kota utama di Nusantara.  Dari abad 19 dulu, Semarang dikenal sebagai Batavia kedua. Orang Belanda menyebut Semarang sebagai Venesia van Java. Bahkan saking terkemukanya Semarang di zamannya, kota yang disebut sebagai kota lumpia ini sebagai tonggak awal lahirnya kereta api di Indonesia.

Semarang memang masih dipandang sebagai kota kelima terbesar di Indonesia. Meski ini adalah sebuah penurunan dibanding seabad lalu dimana terbesar setelah Batavia dan Surabaya. Namun, kota ini terus terpuruk oleh serangan rob tiap waktu. Di sisi pemerintahannya, Kota Semarang dikenal sebagai kota yang sejarah walikota dan anggota DPRD serta yudikatifnya terkena kasus korupsi. Wajarlah ada keresahan untuk menyetarakan Semarang dengan kota-kota besar lainnya.

Namun, saya merasa kenapa Semarang Setara tidak mulai dulu dari menyetarakan dulu kesejahteraan masyarakatnya? Kenapa tidak mulai dulu menyetarakan kelayakan pembangunan antar wilayahnya? Kenapa tidak mulai dulu menyetarakan kondisi internal kotanya? Atau memang dengan mengacu pada kondisi eksternal dalam rupa kota-kota besar lain, Semarang Setara bisa juga menyetarakan realitas internalnya?

Ah, dari sejarahnya Semarang punya beban masa lalu yang berat tentang masalah kesetaraan. Belanda sejak mendapat wilayah ini penuh dari Pakubuwono  I pada 1705 memang membentuk Semarang menjadi kota yang diperuntukkan warga Eropa. Etnis bangsa lain seperti Arab, India, China dibolehkan berdagang dan membuat pemukiman. Bangsa pribumi tidak pernah diperhatikan dan diberi tempat yang tak layak. Belanda punya kebijakan segregasi etnis di tata wilayah yang sangat ketat di Semarang. Muncullah wilayah Eropa (Kota Lama), Pekojan (India), Pecinan (Tionghoa) dan Kauman (Arab-Pribumi)

Herman Thomas Karsten yang dikenal sebagai perencana kota handal di zaman Hindia Belanda di awal abad 20 mencoba mengubah wajah Semarang. Meski lebih manusiawi, namun Karsten hanya memindahkan segregasi etnis menjadi segregasi kelas. Tetap saja ada ketidaksetaraan antara bangsa-bangsa Asing dengan Pribumi. Jurang kesenjangan pun antar si miskin dan si kaya, antar pribumi dan Asing, tidak teratasi. Kemiskinan masih banyak dijumpai di Semarang pun sampai saat ini.

Saya coba menelusur ke kawasan Kota Lama, tetap saja masih banyak dijumpai muka muram sebuah kota. Beberapa orang seperti gelandangan banyak menjadi ‘hiasan’ di depan teras bangunan-bangunan sunyi Kota Lama. DI kawasan yang modern dan pusat bisnis Semarang seperti Simpang Lima, Pandanaran, Pemuda, MT Haryono yang mencipta Golden Triangle Semarang, para pengemis, pengamen, gelandangan pun tak susah untuk ditemukan.

Saya tertarik dengan cerita Brown Canyon. Saya pun berkunjung ke tempat pertambangan batu yang selama bertahun-tahun entah sengaja atau tidak dibuat para penambang dengan memiripkan lokasi masyhur Grand Canyon di USA. Okelah memang ini bukanlah tempat wisata pada umumnya, tapi saya merasa prihatin dengan jalan menujunya. Ini memang Kota Semarang pinggiran, tepatnya di Rowosari, Tembalang, tapi jalannya rusak minta ampun nan berdebu. Saat saya pulang pun, kampung sekitar lokasi malah mati lampu.

Dan, Semarang Setara pun membingungkan sebagian warganya. Saya berjumpa dengan mas yang merupakan warga asli Semarang, suami kawan saya Alley. Dia mempertanyakan kalau slogan Setara untuk Semarang itu jelasnya mau dibawa kemana. Yang perlu disetarakan itu apa? Apa saja? Kok realitasnya sejak tahun 2010 dicanangkan, setiap agenda maupun pembangunan ruang kota di Semarang malah latah terkesan ikut-ikutan dengan kota-kota besar lain.

Namun, ya begitulah selayaknya sebuah kota yang terlanjur besar sejak zaman kolonial Belanda. Di kawasan Simpang Lima sedang dibangun hotel-hotel yang tinggi. Di kawasan lain juga tumbuh pusat-pusat bisnis. Semarang tanpa harus memaksakan branding “Semarang Setara”, saya rasa tetap menarik untuk para investor. Ungkapan Setara itu sebuah hal yang sangat berat. Lebih penting menyetarakan dulu realitas internal Kota Semarang yang masih melimpah dengan kesenjangan-kesenjangan. Rasanya “Setara” terlalu akrab dengan kontradiksi.




[1] (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/26/118102/Semarang-Setara-Dicanangkan.

Brown Canyon Semarang. Dijadikan sebagai tempat wisata oleh sebagian orang. Pemerintah belum hadir, kecuali terkait pertambangannya.
Gereja Blenduk, pusat pesona di Kota Lama Semarang.
Realitas yang tidak susah dijumpai di Kota Lama. R.A.M.P.A.S.
Masjid Agung Semarang atau Masjud Agung Kauman. Kuat dengan nuansa kolonial di sini.
Pulang dalam remang petang. Melintas Kota Lama Semarang.
Lawang Sewu di malam hari. Pasti kalau orang melancong ke Semarang, mereka ingin kesini.
Di depan Masjid Agung Semarang. 
Tugu Muda yang menyala.


You Might Also Like

3 komentar

  1. Brown Canyon ini nasib nya mirip kayak bukit jamur di gresik

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyah tuh kak Cumi.. klo bukit jamur, bekas tambang kena hujan jadi unik gitu. Klo brown canyon ini ttp ja gak ngefek karena ujan.. :D

      Hapus
  2. brown canyon benar-benar tempat yang indah, kalau ke semarang harus nyoba kesana kayaknya..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK