Serasi Plaosan Pagi Hari

Mei 14, 2016


Pendar sinar baskara pagi masih menyergap lirih. Kabut tipis membalut sepi. Di satu petak sawah yang belum terairi, satu petani sudah berikhtiar mendahului rekan-rekannya. Ia pasti berangkat lebih pagi untuk lebih banyak mendulang rejeki. Di hadapannya, Candi Plaosan mengayomi ruang kerjanya – mungkin sudah saling sapa bertahun-tahun lamanya. Sawah dan candi, di Plaosanlah mereka saling bertatap muka. Petanilah yang jadi pengantar ceritanya sedari pagi.

Saya sebenarnya sudah sering datang ke Candi Plaosan. Apalagi kalau bukan hasrat untuk memandang sawah dan candi yang bisa disimak dalam satu lanskap akrab. Mengabadikan candi Buddha tinggalan abad ke-9 M biasa menjadi persinggahan kelana pagi sembari menyesap udara sejuk di bumi Mataram kuno. Saya tak masuk ke dalam kompleks Plaosan. Memandangnya dari luar sambil meningkahi aktivitas masyarakat sekitar lebih terasa meriah. Tampak, persiapan warga bersenam minggu pagi mulai bersemarak di halaman parkir Candi yang terletak di kecamatan Prambanan, Klaten.

Candi Plaosan itu ada dua, lor dan kidul. Sama-sama terdiri dari candi utama dan ratusan candi perwara. Namun, karena keutuhan bangunan candi, Plaosan Lor lah yang lebih banyak berbicara dibanding karibnya. Tak semata berbicara kepada wisatawan tentang kisah sejarah  dua candi ini sebagai persembahan cinta sang Raja Rakai Pikatan kepada permaisurinya Pramodyaawardhani yang berbeda agama dan wangsa, Plaosan Lor juga menyuguhkan dirinya sebagai lanskap epik sebagai kanvas fotografi sang juara.

Saya sering berjumpa dengan foto pemenang kontes yang mengambil lanskap perpaduan aktivitas petani dengan Candi Plaosan – seperti di sini. Saya juga sering menjumpai fotografer yang khusyuk berburu foto di persawahan Plaosan. Plaosan memang semacam harapan bagi penggandrung foto untuk menciptakan foto yang mengundang keterpikatan.

Namun, saya ke Plaosan terbiasa untuk menikmati rajutan serasi candi, sawah, petani dan masyarakat lainnya. Termasuk pada pagi ini, saya cuma mengabadikan Candi Plaosan, petani dan sawahnya sebagai tengara pusaka yang bisa berkisah tentang keanggunan sebuah pagi di negeri seribu candi. 

Merapi, sawah dan geliat warga
Embun meramaikan pagi.
Family time.
Soto ayam Lenthok Pak Min di Kalasan, pelengkap perjalanan pagi.
Candi Buddha di negeri toleransi Hindu-Buddha-Islam. Merapi jadi pengayom.


You Might Also Like

7 komentar

  1. Kalau datang lebih pagi lagi bakala dapat yang lebih indah, mas :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha.. niatnya mau ke pos riyadi,,, eh liyat kabut nutupi bukit selatan yaewes mampir di Plaosan aja. Dulu sih pernah yg pas fajar.. Tp besok kudu diulangi lagi.. :D

      Hapus
    2. Kalo ke spot Riyadi pas abis subuhan aja, masih bisalah dapat sunrise-nya :-D

      Hapus
    3. iyha ni mas Sitam.. Harus dicoba di kesempatan besok.. Kudu ke Spot Riyadi.. :D

      Hapus
  2. Ngak sempet ke plaosan, padahal gw nafsu banget pengen foto2 manja disini.
    Tuch anak2 genk nya nasrul hanif dll ngak mau pada nganterin hua hua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok kak Cumi kalo ke Jogja lagi, langsung anter ke sini deh tujuan kedua setelah jengukin Daffa,. hahaha

      :D

      Hapus
  3. udaranya terlihat sangat sejuk ya di pagi hari, pemandangannya juga sangat menarik dan indah..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK