Bontang dalam Tiga Bentang Kehidupan

Januari 04, 2019


Apa yang bisa diharapkan dari Bontang perihal destinasi perjalanan? Bontang serupa sebuah kota yang tumbuh dari giat geliat gemerlap industri dan pertambangan. Tiga raksasa industri memasok denyut hidup Bontang: Badak NGL (gas alam), Pupuk Kaltim (pupuk) dan Indominco Mandiri (batu bara). Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan lain yang menggerombol di kawasan Kaltim Industrial Estate, yang turut menyusun Bontang dengan gempita.

Siapa yang minat hendak wisata ke Bontang? Kecuali, bagi yang memang punya urusan pekerjaan dengan perusahaan-perusahaan di Bontang dan lantas menyelakan waktu untuk menjelajah Bontang. Saat berkunjung ke Bontang, saya pun termasuk dalam kategori demikian. Saya mencuri waktu senggang untuk mengulik sedikit cerita Bontang di antara keriuhan industri dan tambangnya.


Oksimoron Pembangunan Bontang


Kota industri Bontang pagi itu tampak masih lengang. Mentari sudah beranjak gumregah, tetapi awan putih membuatnya enggan semangat bersinar. Semerbak aroma pesisir samar-samar tercium merasuki imajinasi pagi saya. Saya pikir karena masih pagi, orang-orang belum semuanya beraktivitas penuh. Namun, Irvan menyadarkan ekspektasi saya terhadap Bontang: tentang sebuah kota yang seharusnya dilingkupi keramaian yang tertuang dalam fasad dan aktivitas khas sebuah kota industri.

“Bontang ya begini saja mas. Sepi. Mau ngapain pada di Bontang. Kalau mau ‘buang’ duit, orang Bontang lebih memilih ke Samarinda atau Balikpapan. Kalau yang karyawan industri pilih bawa pulang uang dan belanja di Jawa.” ungkap Irvan

Saya mendengarkan seksama dan perlahan paham. Mulai di situ, saya timbul keraguan pada Bontang sebagai kota yang gemerlap karena industri berbasis tambang dan petrokimia.

“Mana ada mal di Bontang. Sedang ada rencana dibangun mal tapi tersendat karena sepi peminat pedagang yang akan mengisi mal.” tambahnya. Mal biasanya menjadi indikator suatu daerah punya kehendak untuk meramaikan daerahnya yang berkaitan dengan kemampuan keuangan masyarakatnya.

Keceriaan dan semangat bocah-bocah berangkat sekolah.
Pedagang nanas di Pasar Sementara Rawa Indah sedang memilah nanas. 
Gereja Katolik St. Yosef. Salah satu gereja terbesar di Bontang. Kerukunan agama masyarakat begitu terjaga.
Gempita industri Bontang terlihat dari Bukit Sintuk. Tampak kampung dan hutan mangrove di sekitar.

Di hari biasa, Bontang rupanya lebih berposisi sebagai kota yang para penduduknya telah lelah di malam hari dan juga tak punya banyak waktu untuk keluyuran di siang hari. Walaupun ada tenaga pun, warga industrial Bontang lebih memilih bercengkerama dengan keluarga ataupun beraktivitas di dalam kompleks perumahan industri. Keberadaan industri bertaraf internasional tentu dilengkapi dengan perumahan yang komplit dengan fasilitas terbaik. Yang membuat kota ini cukup hidup tampaknya berupa lalu lalang masyarakat yang berprofesi sebagai PNS, guru, dan nelayan serta dimeriahkan oleh para pedagang perantau dan juga tukang ojek.

Di Bontang, Irvan bekerja harian menjadi tukang ojek online. Pilihan menjadi pengemudi ojol ini seharusnya adalah pijakan sementara. Irvan punya cita-cita bisa berkarya di sebuah perusahaan Bontang. Ia sudah berulang kali mencoba mendaftar tetapi juga berulang kali gagal. Lahir di Bontang, bukan berarti ia akan mudah bekerja di Bontang. Irvan adalah generasi ketiga perantau asal Kediri, Jawa Timur. Dulu, kakeknya merantau ke Kalimantan untuk menjadi pedagang di Kutai Timur, tetangga Bontang. Bapaknya Irvan menjadi guru di sebuah sekolah dasar di Bontang.

Bisa bekerja di industri dan tambang adalah impian setiap warga Bontang untuk makmur secara berkelanjutan. Geliat industri dan tambang adalah nafas dari kemakmuran Bontang yang mengantarkan menjadi 5 besar daerah dengan pendapatan per kapita terbesar di Indonesia: Rp344,57 juta pada tahun 2017. Betapa bayangan setiap bulan bisa mendapat rata-rata sekitar Rp30 juta adalah impian bagi yang tinggal dan bekerja di Bontang. Capaian sejahtera inilah yang ingin dikejar Irvan. Lulusan D3 teknik ini pun tak mau kapok berupaya menjadi karyawan perusahaan industri dan tambang di Bontang.

Bontang telah terkemuka menjadi magnet kemakmuran yang terus berkembang pesat. Terlebih, sejak ditetapkannya menjadi pemerintahan mandiri Kota Bontang pada tahun 1999. Penduduk Bontang pada tahun 2017 berjumlah 170.611 jiwa, jauh melambung dari 99.617 jiwa pada tahun 2000. Tak hanya industri tambang yang kini menjanjikan kemakmuran, derap kencang perdagangan, pemerintahan dan jasa lainnya juga turut menyemarakkan Bontang.

Pemukiman dan kawasan industri tinggal bersandingan. Sisi menarik Bontang.
Jalan yang melintas hutan PKT yang asri. 
Kota Bontang termasuk kota yang rimbun dengan pepohonan, terutama di kawasan perumahan PKT.
Jika boleh dikatakan makmur, Bontang hanya punya 5,16% penduduk miskin dari total penduduknya. Jumlah yang jauh lebih kecil persentasenya, di bawah angka tingkat kemiskinan Nasional. Namun, untuk hidup makmur yang bisa berinvestasi properti, liburan luar negeri dan konsumsi barang tersier, tampaknya angka persentase itu terlalu optimis. Barangkali tetaplah hanya pekerja industri dan tambang yang mendapatkan pendapatan yang memakmurkan.

Irvan mengantarkan saya ke Bontang Kuala. Kata kawan saya, Bontang Kuala adalah tempat paling menarik dan paling membumi di Bontang di antara lanskap industri dan tambang Bontang yang menjulang tinggi (cerobong dan asapnya).


Wajah Otentik di Bontang Kuala


Jika bepergian ke suatu tempat bukan untuk urusan wisata, saya selalu sempatkan mengeksplorasi di luar jam kerja. Biasanya bangun pagi sebelum memulai kerja atau selepas jam kerja hingga larut malam. Namun, kalau untuk berjalan sendirian, saya lebih suka pergi sehabis Subuh hingga sekitar pukul 7.30. Biasanya dengan berjalan sendirian, mengunjungi suatu tempat bisa lebih dekat dan hangat dengan masyarakat setempat. Gaya berjalan seperti ini memang butuh tenaga ekstra untuk merelakan waktu bermalas-malasan dan sarapan enak di hotel berbintang. Saya pun jalankan metoda perjalanan semacam ini di Bontang.

“Welcome to Bontang Kuala”. Bukan seseorang yang menyambut saya, tetapi sebuah gapura kampung ikonik yang berdesain khas gaya Kutai. Di depan gapura, terdapat tempat parkir kendaraan yang dibersamai dengan tempat makan dan souvenir. Untuk memasuki kawasan kampung Bontang Kuala, pengunjung dipersyaratkan berjalan kaki di atas jembatan kayu ulin yang membelah perkampungan rumah-rumah panggung. Masyarakat setempat boleh masuk dengan motor atau perahu yang menyusur Sungai Api-api yang melanskapi Bontang Kuala menjorok ke laut.

Gapura selamat datang Kampung Bontang Kuala, andalan wisata Kota Bontang.
Bontang Kuala tampak dari udara. Dikeliling oleh perairan dan rimbunan mangrove yang asri.
Bocah-bocah bersemangat untuk berangkat sekolah sedari dini. 
Saya berjalan pelan bersama perjumpaan-perjumpaan ramah dengan lalu lalang warga Bontang Kuala yang hendak berangkat kerja maupun sekolah. Kampung Bontang Kuala pada pagi itu tampaknya begitu santai menatap hari. Masyarakat berkerumun di warung kelontong hendak mengisi pasokan dapur dan kebutuhan rumah tangga masing-masing. Ada juga yang bersenda gurau di halaman rumah sambil dibersamai segelas kopi dan rokok-rokok yang tak henti mengebul. Mengiringi perjalanan saya, rombongan lima anak kecil berjalan menuju sekolah TK-nya .

“Halo mas.” Lima anak kecil ini menyapa saya bersahutan sambil kemudian lari bergegas meninggalkan saya Tampaknya mereka hanya ingin menggoda kenikmatan saya memesrai seluk beluk pemukiman panggung di Bontang Kuala. Seseorang asing yang datang pagi-pagi sambil membawa kamera tentu memikat perhatian bagi anak kecil.

Bontang Kuala merupakan cikal bakal kota Bontang. Jauh sebelum keriuhan industri gas, pupuk, petrokimia dan batu bara yang diserbu pencari kemakmuran, Bontang Kuala pada akhir abad 18 adalah kampung kecil tempat bertemunya dan berdagangnya orang Kutai setempat dengan suku pengembara Bajau. Lama kelamaan daerah muara sungai Api-api ini riuh dengan para nelayan dan pedagang Bugis dan Mandar. Kemudian, etnis lain seperti Melayu, Banjar dan Jawa datang dan menjadikan Bontang Kuala itu sebagai kampung berwarna multietnis.

Dengan alami, keberagaman ini melebur dengan perkawinan antar etnis yang membentuk persaudaraan dan kekeluargaan sekampung. Daerah yang mulanya tempat mukim bangsawan Kutai: Aji Pao dan keluarga pada akhir abad 18, sejak tahun 1930-an pun menjadi wilayah pemerintahan di bawah Kesultanan Kutai Kartanegara. Sampai kini, Bontang Kuala tetap lestari menjadi ruang-ruang tradisional di tengah laju industri yang bergempita.

Cagar sejarah: Rumah Asisten Wedana Bontang semasa zaman Belanda.
Kehidupan pagi masyarakat di Bontang Kuala. Hidup di sekitar Sungai Api-api.
Penjara Bontang Kuala dan bekas Kantor Polisi menjadi potensi cagar budaya.
Saya melintas sebuah bangunan mencolok yang baru saja direnovasi. Inilah bekas Rumah Asisten Wedana yang menjadi cagar sejarah di Bontang Kuala. Saat ini bangunan ini dimanfaatkan sebagai perpustakaan masyarakat. Di sebelahnya, berdiri cagar sejarah lainnya yakni bekas Kantor Polisi zaman Belanda dan Jepang di mana menjadi penjara bagi para pelaku kriminal pada masa itu. Saya membayangkan, Bontang Kuala begitu menarik untuk dimanfaatkan oleh bangsa kolonial sebagai titik pengontrol wilayah jajahannya, mengingat lokasinya di pesisir Kalimantan yang strategis.

Perjalanan saya lalu terhenti di halaman Masjid Jami Al Misbah. Saya tertarik dengan fasad bangunan yang dominan warna hijau dengan nafas arsitektur Kutai dan Banjar. Masjid ini sungguh menjadi tengara yang mencolok di antara kerumunan rumah yang kusam. Seperti ingin berharmoni dengan bangunan lain di Bontang Kuala, Masjid Jami Al Misbah berdiri dengan konstruksi panggung dan berbahan kayu. Saya masuk gapura masjid yang khas berkubah tiga dan mendekat pada masjid yang pagi itu tampak lengang. Di muka masjid, terdapat dua menara yang memiliki desain berbeda. Satunya menara hijau berharmoni dengan rupa hijau masjid, satu lagi berwarna padanan putih dan biru yang mengambil perspektif berbeda dari bangunan masjid.

Keberadaan Masjid Jami Al Misbah ingin menegaskan bahwa sedari awal masyarakat Bontang Kuala adalah pemeluk Islam yang sejati. Tak jauh sebelum sampai di Kampung Bontang Kuala, saya juga berjumpa dengan Masjid Tua Al Wahhab yang memiliki fasad gapura persis dengan dengan Masjid Jami Al Misbah. Masjid Tua Al Wahhab merupakan masjid tertua di Bontang. Berdiri tahun 1789, Masjid Tua Al Wahhab merupakan salah satu tonggak awal syiar Islam tak hanya di Bontang, tetapi juga di Bumi Etam – sebutan negeri Kutai. Konon dulunya setiap sholat Jumat, jamaah masjid ini bisa datang dari berbagai penjuru radius 100 km.






Di ujung jalan panggung Bontang Kuala, saya berjumpa dengan Rasyid. Lelaki berdarah Banjar-Kutai ini begitu ramah menyapa. Ia sukarela menjadi kawan mengobrol saya. Ia tahu saya berjalan hanya sendirian di Bontang Kuala. Awalnya ia hendak menawari jasa perahu wisata, tetapi akhirnya paham karena hari saat itu masih pagi. Di tepian Bontang Kuala ini terdapat beragam warung makanan laut dan kedai kopi yang dikelola masyarakat. Beberapa warung terpisah dari kampung sehingga perlu perahu untuk menjangkaunya sekaligus tempat budidaya karamba ikan. Lokasi ini lebih meriah pengunjung di kala sore hari hingga malam hari.

“Kampung kami sedang fokus bergiat ekowisata. Mas coba lihat kampung kami bersih kan? Kampung panggung yang bersih dengan makanan ikan laut dan budidayanya jadi andalan ekowisata Bontang Kuala. Menyusuri kampung dan mangrove dengan perahu juga menjadi tawaran wisata kami” ungkap Rasyid membanggakan kampungnya.

Wajar, saya merasa pagi Itu begitu nyaman dikerumuni kesegaran udara yang masuk bebas ke dalam paru-paru saya. Hutan mangrove yang memeluk erat Kampung Bontang Kuala adalah musababnya. Selain sebagai pelindung dari gelombang dan abrasi laut, mangrove adalah pemfilter udara polusif industri di Bontang. Sambil banyak berbincang dengan Rasyid, saya perhatikan seksama instalasi pabrik PKT dengan cerobong-cerobongnya tampak menyembul di kejauhan di antara rimbunan mangrove.




Andai waktu lebih longgar di Bontang, berbagai tawaran Rasyid harus disambut. Mentari mulai meninggi, saya pun harus undur diri dari Bontang Kuala. Ekowisata Bontang Kuala dengan ragam atraksinya masih terngiang-ngiang dalam benak pikiran sembari perjalanan meninggalkan Bontang Kuala. Rupanya saya perlu kembali ke sana dalam kunjungan berikutnya.


Mangrove di Kerumunan Industri


Nama pertama yang muncul di benak warga setempat ketika saya tanya tujuan berwisata alam di Kota Bontang adalah suguhan mangrove. Di daerah pesisir lain, tren wisata mangrove sedang menjadi wujud hayati yang lazim disandingkan dengan keriuhan kota. Bontang pun tak ingin ketinggalan mendayagunakan bentang alaminya.

“Dulunya semua pesisir Bontang dikelilingi mangrove. Seiring pemukiman dan industri berkembang, luasan mangrove pun menyempit. “ saya ingat pernyataan Rasyid tatkala membahas soal mangrove.

“Di samping Bontang Kuala ini, hutan mangrove masuk dalam wilayah Taman Nasional Kutai.” lanjutnya





Bontang sejujurnya adalah tlatah lestari sebelum diserbu ‘makhluk’ industrialisasi. Sebagai tanah yang kaya dikaruniai gas alam dan batu bara, Bontang dan sekitarnya rawan dimodifikasi menjadi industri dan pemukiman. Keberadaan wilayah konservasi yang terlebih dulu membentang di Bontang dan sekitarnya sejak tahun 1936, dalam perjalanannya harus berdamai dengan tumbuhnya pembangunan. Ditetapkan awalnya sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan luas 306.000 ha, lalu dikebiri untuk industri kayu dan tambang menjadi 200.000 ha. Pada tahun 1995, Taman Nasional Kutai ditetapkan dengan wilayah 198.629 ha yang meliputi Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian kecil Kota Bontang.

Lihatlah peta Taman Nasional Kutai, berfokuslah di area Kota Bontang: yang tersisa adalah wilayah hutan mangrovenya, yang ter-enclave di antara industri dan pemukiman. Biasanya yang menjadi enclave di Taman Nasional adalah pemukiman. Namun, di Bontang, wilayah Taman Nasional lah yang ter-enclave untuk zona konservasi hayati di antara pemukiman dan industri. Menariknya, kantor Balai Taman Nasional terletak di Kota Bontang walaupun wilayah Taman Nasional Kutai sebagian sangat besar ada di wilayah Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.

Hutan Mangrove di Bontang tampaknya menjadi sewujud ikhtiar konservasi yang ingin ditayangkan terhadap tumbuhnya pembangunan. Masyarakat wajib tahu, bahwa bagaimanapun industri di pesisir tumbuh pesat dan kuat, tanpa alam yang terjaga buah karya pembangunan hanyalah serupa barang yang rapuh. Saya tadinya berkehendak ingin berkunjung ke hutan mangrove yang menjadi area Taman Nasional Kutai. Namun, jam operasional yang tak fleksibel membuat saya bermain ke hutan mangrove milik masyarakat di tepian Taman Nasional: Hutan Mangrove BSD.






Pada sore menjelang petang, saya tiba di hutan mangrove Taman Wisata Alam BSD. Lokasinya terletak di belakang perumahan Bumi Sekatup Damai (BSD), membuat dinamai mangrove BSD. Cuaca yang berkarib baik menyambut saya, sehingga swastamita yang berwarna dapat saya sanjung penuh bahagia. Hari belum benar beranjak gelap, tetapi lampu-lampu sudah dinyalakan. Tampaknya, hutan mangrove ini betul-betul dikelola serius sebagai tempat wisata masyarakat Bontang. Saya berjalan perlahan di atas jalan jembatan kayu yang menerobos rimbunan hutan mangrove. Jalanan ini bercabang-cabang yang seakan ingin merasuk ke setiap penjuru kelebatan mangrove.

Di antara jalan dan cabang-cabangnya itu, terdapat beberapa tempat makan atau arena swafoto. Tampak warung-warung yang menjajakan kopi dan seafood ini memiliki pengunjungnya masing-masing, meski sore itu tempat ini tak begitu ramai. Tempat swafoto juga tak ketinggalan punya penggemarnya masing-masing. Saya memilih mengabaikan semua itu dan langsung bergegas meniti percabangan ke area terbuka. Saya hendak memesrai pesisir Bontang dalam lingkup saujana yang lebih lapang. Arah kafe di ujung Taman Wisata Alam Mangrove BSD itulah yang saya tuju.







Di tepian jalan panggung, saya terduduk mengistirahatkan raga. Menarik nafas panjang lalu menghelanya bebas sambil mentakzimi pemandangan. Dari sini, tampak lebih gamblang pemandangan industri yang menggempita. Saya menangkap narasi, seolah sedang berhadap-hadapan langsung antara tlatah mangrove yang lestari dengan industri yang tak hentinya mengeluarkan polusi. Tampak cerobong, kilang, boiler dan aparatus industri petrokimia lainnya begitu gergasi ingin menunjukkan kedigdayaannya dibandingkan lanskap hayati nan asri.

Dalam ruang seperti ini, ada tanya sebagai manusia peduli Bumi. Sampai berapa jauh kelestarian berdamai dengan gerak pembangunan untuk mencapai level kemakmuran optimal?


***

Bontang giat menjalankan takdirnya sebagai tanah yang diberkati tambang dan didayagunakan untuk menghidupi peradaban. Bontang juga mantap menapak kehendak sebagai tlatah hayati yang dipertahankan dalam ruang-ruang ter-enclave. Penggiat kota ini rupanya sudah berdamai dengan riwayatnya. Tampaknya kota ini sedang baik-baik saja untuk menyongsong kehidupan ke depan.

Pada pagi terakhir, saya berjalan pagi di kompleks perumahan Pupuk Kaltim, tak jauh dari tempat saya menginap di Hotel Bintang Sintuk. Melalui portal keamanan, saya lalu menyusuri jalanan yang dirimbuni hutan sekunder dengan padanan udara segar. Kompleks perumahan Pupuk Kaltim adalah ruang kebahagiaan yang terbuka dinikmati masyarakat Bontang. Dilingkupi teduh hutan, terdapat taman-taman publik yang bisa dimanfaatkan berbagai kalangan usia. Di sini, saya membanggakan Bontang punya fasilitas publik yang bisa diandalkan.






Ujung langkah saya akhirnya menjejak di Stadion Mulawarman, kandang bersejarah Pupuk Kaltim dan bertransformasi menjadi Bontang FC yang kini sedang vakum. Sambil berolahraga ringan di area stadion, saya meromantika kiprah Fachri Husaini yang menjadi jagoan legendaris Pupuk Kaltim. Kompleks Stadion Mulawarman ini juga menjadi  arena latihan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim yang langganan juara nasional. Kalau saya datang di sore hari, performa magis latihan sang juara pun bisa saya saksikan.

Satu lagi bukti Bontang seperti baik-baik saja sebagai kota berstandar tinggi adalah saat saya berada di kawasan PT Badak NGL. Dibandingkan PKT, PT Badak memiliki penjagaan yang lebih ketat. Saya masuk ke kawasan karena hendak ke Bandara Bontang untuk menuju Balikpapan. Bandara Bontang dimiliki oleh PT Badak NGL, selain untuk operasional perusahaan juga untuk transportasi masyarakat umum. Dalam sekilas, kawasan PT Badak begitu rapi dan tertata. Kecepatan kendaraan pun dibatasi dengan pengawasan yang ketat. Rasanya saya tidak sedang berada di Indonesia dengan keteraturannya, walaupun PT Badak dimiliki oleh Pertamina.







Saya naik pesawat Pelita Air charterannya PT Badak. Di atas landasan yang pendek, pesawat lepas landas dan mulai mengangkasa teriring perhatian seksama saya melihat ke luar jendela. Saya sungguh penasaran bagaimana paras bumi Bontang dari ketinggian udara. Kilang-kilang PT Badak menjadi pemandangan mula-mula yang meneguhkan industrialisasi Bontang. Lalu, berganti rupa instalasi tambang batu bara PT Indominco Mandiri beserta kerukan-kerukan bumi Borneo yang semrawut. Dari atas sini, tampaknya Bontang tak sepenuhnya baik-baik saja dalam kuasa mengelola wilayahnya.

Dengan mesin baling-baling, pesawat ini tak terbang tinggi. Makanya, lanskap yang menemani perjalanan hingga Balikpapan berupa bopeng-bopeng tanah pun terlihat gamblang. Hanya muara Sungai Mahakam berbentuk kipas yang tampak menjadi panorama variatif dan bergizi.

“Begitulah Kalimantan, kalau tak ada tambang mungkin akan sepi tak berkembang, kalau ada tambang, pembukaan lahan hutannya keterlaluan “ tutur penumpang di samping saya, seorang warga Bontang yang hendak mencari keramaian di Balikpapan.










You Might Also Like

5 komentar

  1. terima kasih atas informasinya mas.
    Sangat menarik informasinya..

    Saya akan kunjungi tautan yang diberikan.. :D

    BalasHapus
  2. Sekarang sudah support fitur webmention. Kita bisa membalas, menyukai, repost, mention, bookmark, dengan blog seperti Twitter. Konsepnya sudah dibuat SEO meski postingnya lewat hape.

    BalasHapus
  3. "Begitulah Kalimantan, kalau tak ada tambang mungkin akan sepi tak berkembang, kalau ada tambang, pembukaan lahan hutannya keterlaluan"

    Aku seneng sama kalimat ini. Sebuah realita yang terjadi di dunia ini. Bagiku yang anak teknik, tentu adanya pembangunan adalah bentuk pengembangan diri. Tapi sayangnya yang dikorbankan adalah lahan-lahan hijau. Karenanyalah pembangunan industri sering ditentang karena dianggap merusak. Padahal ya tidak juga nyatanya.

    Bontang dan Balikpapan ini masuk kota termahal di Indonesia kalo nggak salah ya? Gajinya sih besar tapi harga makanannya juga lebih tinggi dari Jakarta. Cuma kalo aku ditanya "kamu mau nggak kerja di Bontang (khususnya Badak)" oo ya jelas mau lah. Wkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kerja aja di Bontang. Badak adalah impian bagi orang teknik.. hahaha.. Ngirit hidup di Bontang bisalah. Terus investasikan duitnya di Jogja buat kos-kosan.. sangat menarik kan.. haha..

      Dinamika di lapangan, gak hanya trkait pelaku industri, tetapi juga pejabat2 pemerintah pemburu rente yg memanfaatkan alihfungsi lahan. Padahal peruntukannya sudah jelas.. hahaha.. Itu tipikal di daerah2 Kalimantan makanya lahan hijau sering dikorbankan..

      Btw, terima kasih Galan udah membaca tulisan panjang saya.. :D

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK