Semarak Nglarak Blarak, Pacuan Tradisi Kulonprogo

September 30, 2019



Musim kemarau sedang kukuh pada puncaknya di akhir September. Pagi begitu cepat menerik. Jam 9 saja saya sudah merasakan sengat kuat mentari. Namun, kegerahan ini tak menyurutkan kemeriahan masyarakat di Lapangan Klampok, Brosot. Warga dari desa-desa se-Kecamatan Galur riuh  hadir untuk menyaksikan kompetisi Nglarak Blarak tingkat kecamatan. Dari simbah sepuh hingga anak kecil, datang dengan hati riang gembira, mencari hiburan pedesaan sembari mendukung tim Nglarak Blarak desanya.

Saya bersama Thole dan ibunya berkendara ke Brosot untuk menyaksikan Nglarak Blarak. Saya hendak mengenalkan Thole sebuah permainan tradisional yang mengakar di masyarakat Kulonprogo. Selama ini Thole lebih akrab dengan sajian hiburan gawai dan mainan blok, figur dan kendaraan modern. Jujur, saya tak ketat melarangnya soal penggunaan gadget. Makanya, saya juga berupaya kuat memberinya referensi mainan tradisional yang bagus untuk tumbuh kembangnya. Menonton Nglarak Blarak bisa jadi pustaka semesta Thole tentang makna pesan yang terkandung dalam permainan tradisional.

“Baguuuss. Aku mau nonton balapan, kayak balapan mobil” ungkap Thole, yang sangat antusias berdiri di barisan terdepan penonton.

Thole hendak duduk di atas rumput. Namun, ibunya melarangnya. Cemendil (kotoran kambing) tampak berserakan di lapangan yang kerontang karena kemarau. Lapangan Klampok biasa menjadi arena penggembalaan ternak kambing masyarakat. Namun, saya tak menghiraukan cemendil, seperti juga puluhan penonton lainnya yang memilih duduk terpaku. Di atas cemendil yang sudah kering, saya pun duduk sambil membidik lensa untuk menangkap momen keseruan Nglarak Blarak siang itu.

Bagi masyarakat Kulonprogo, Nglarak Blarak adalah cerminan hidup berkearifan budaya. Sebermulanya Nglarak Blarak adalah hiburan masyarakat pedesaan Kulonprogo yang kebanyakan menderes nira kelapa sebagai mata pencahariannya. Masyarakat bermain dengan blarak (daun kelapa), uthik (tongkat dari pelepah daun kelapa), sepet (kulit buah kelapa yang terbelah), tomblok (keranjang rumput dari bambu) dan bumbung (potongan ruas bambu) yang teriring musik gamelan sederhana. Alat dan perlengkapan Nglarak Blarak tidak membutuhkan dana banyak karena bisa diambil dari pohon kelapa dan bambu yang begitu melimpah di daerah pedesaan.

Arena permainan Nglarak Blarak. 
Para peserta sedang mendapatkan briefing kompetisi dari Den Mas alias sang wasit.
Pertunjukan angguk anak-anak. Kesenian khas Kulonprogo ini giat dilestarikan.
Arena pacuan Nglarak Blarak berbentuk persegi dengan setiap sisinya memiliki panjang 20x20 meter. Pada tiap sudutnya, ditancapkan tiang yang dilengkapi dengan bendera kecil. Pada tengah arena lapangan, dibuat area lingkaran dengan diberi empat tiang lebih kecil dengan jarak sekitar 60x60 cm. Dalam lingkaran tengah itu terdapat 3 atau 5 bumbung untuk diperebutkan oleh 2 tim kelompok yang bertanding.

Sekilas Nglarak Blarak adalah lomba yang mengandalkan kecepatan. Yang paling cepat sejak ditiupkan peluit tanda start hingga paling cepat mengumpulkan lebih banyak bumbung adalah pemenangnya. Namun, ketika melihat prosesnya, Nglarak Blarak ini tak sekedar soal kecepatan. Ada kolaborasi, koordinasi, determinasi, persistensi dan konsistensi dari setiap anggota tim dalam setiap tahapan lomba. Satu lagi, saya pikir pemenang Nglarak Blarak adalah tim yang bisa tenang dalam tiap tahapan meskipun dalam tekanan yang. Istilah Jawanya adalah ‘ora grusa-grusu’.

***


Lihatlah apa yang dilakukan oleh tim Nglarak Blarak Desa Kranggan. Perkenalkan, Dinda Hapsari sebagaimana yang diperkenalkan begitu meriah oleh pembaca acara sebagai andalan tim Nglarak Blarak Desa Kranggan. Gadis kuat dan ‘subur’ ini dipercaya menjadi pemain pertama Desa Kranggan yang bertanding. Total pemain Nglarak Blarak adalah 6 orang yang terdiri atas 3 laki-laki dan 3 perempuan. Ketiga pemain laki-laki ini berposisi bersama menjadi jaran atau penarik kereta blarak. Ketiga pemain perempuan berbagi peran untuk memainkan tomblok, uthik, sepet dan blarak.

Mari kita lihat Dinda. Begitu peluit disemprit oleh Den Mas (sang wasit), Dinda menggiring tomblok tanpa basa-basi. Dia begitu piawai sehingga giringannya sungguh mangkus dan sangkil membawa tomblok dari titik pinggir ke titik tengah. Bandingkan dengan lawannya, yang susah payah mengendalikan tomblok. Begitu tiba, Dinda dengan cekatan memakai tomblok seperti memakai tas ransel. Ia pun cekatan mengambil sekaligus memukul dua sepet dengan uthik dan menggiring sepet ke titik pinggir-tengah di mana rekan setimnya (perempuan kedua) sudah menunggu.

Dinda Hapsari beraksi menggelinding tomblok dengan uthik. Andalan Desa Kranggan sang juara bertahan Kulonprogo.
Memakai tomblok
Bersiap memukul sepet dengan uthik
Menggiring sepet dengan memukul mundur
Peran pemain pertama, seperti Dinda, memang memegang kunci kemenangan. Dinda melakukannya seperti seorang atlet profesional. Ia tangkas, lincah dan cermat. Hingga tugas Dinda beralih ke rekannya sang pemain kedua, tim Desa Kranggan unggul banyak langkah. Pemain kedua pun lebih tenang melaksanakan tugas selanjutnya, yakni masuk ke dalam tomblok yang dibalik dengan membawa sepet dan uthik kemudian melompat-lompat seperti katak ke titik di tepian sebelahnya. Adapun lawannya, masih kesusahan untuk memukul sepet. Itu pun dengan grusa-grusu. Sungguh kalah banyak langkah.

“Wah, iki Kranggan wes mesti menang”, ungkap penonton di pinggir saya.

“Lha iki musuhe malah salah arah giring sepete” , timpal penonton di sampingnya

Selanjutnya pemain ketiga Desa Kranggan, menggunakan kedua sepet sebagai alas kakinya untuk berjalan layaknya bersepatu roda ke arah ketiga pemain laki-laki yang menanti di titik penjuru. Pemain ketiga ini disebut jongki. Begitu tiba, ia lekas memasangkan sepet ke atas blarak dengan terbalik sebagai pancikan (alas injakan) kakinya. Dia langsung bersiap dan mengambil helai-helai daun blarak untuk pegangan. Kereta pun ditarik jaran melaju mengelilingi lintasan arena dan menuju titik tengah untuk meraih bumbung pertama.

Mengendarai tomblok dengan lompat katak.
Berseluncur dengan sepet seperti bermain sepatu roda.
Jaran menarik kereta blarak melintasi lintasan yang dikendarai jongki beralas sepet.
Mengambil bumbung dengan uthik.

Jongki mengambil bumbung dengan uthik-nya tanpa turun dari kereta. Bumbung ini lalu dibawa dengan mengacungkan uthik kepada pemain perempuan kedua yang menjaga tomblok. Bumbung ini lalu dimasukkan secara tepat sasaran ke dalam tomblok. Produk bambu bertemu dengan produk bambu. Di penjuru lain, lawan Desa Kranggan masih pada tahap berseluncur dengan sepet. Ini jelas jarak langkah yang sangat banyak.

Sorak-sorak penonton begitu meriah untuk menyemangati tim jagoannya atau sekadar ingin menyuarakan kegembiraan menyaksikan Nglarak Blarak. Pendukung Desa Kranggan terlhat paling mencolok dengan militansi fansnya yang paling keras menyuarakan dukungan. Namun begitu, suasana kondusif penuh kegembiraan tetap melingkupi sepanjang kompetisi. MC mengingatkan bahwa permainan Nglarak Blarak ini adalah hiburan sekaligus nguri-uri kebudayaan. 

Kereta blarak Desa Kranggan selanjutnya menargetkan untuk mengambil bumbung kedua. Lintasan yang ditentukan pun dilalui kereta blarak dengan santai. Lha, musuhnya masih ketinggalan jauh baru mulai memberangkatkan kereta blaraknya. Bumbung kedua pun diambil tim Kranggan dengan mudah. Begitu juga saat mengambil bumbung ketiga. Desa Kranggan hampir melakukannya setiap tahapan lomba tanpa kesalahan. Ronde pertama pun dimenangkan Desa Kranggan dengan mendapatkan 3 bumbung berbanding 1 bumbung.

Pendukung Kranggan
Perjuangan mendapatkan keseimbangan.
Kebanggaan sebagai player Nglarak Blarak kelas dunia.
Wajah Dinda begitu sumringah meraih kemenangan pertama. Ini modal bagus untuk menjalani sepanjang game kompetisi Nglarak Blarak. Raut kelelahan dan kepanasan tak menyurutkan semangat ia dan timnya. Kini ia dan rekannya tim Nglarak Blarak bersiap untuk menjalani ronde kedua. Dengan soliditas kerja sama, koordinasi, dan persistensi, ronde kedua pun dimenangkan juga oleh Desa Kranggan. Lebih cepat, lebih mudah. Babak pertama pun dilibas.

Tim Nglarak Blarak Desa Kranggan bertanding di kompetisi tahun 2019 ini dengan menyandang predikat Juara Bertahan Tingkat Kabupaten Kulonprogo. Berarti, pada tahun 2018, tim Nglarak Blarak menjadi Juara Tingkat Kabupaten sekaligus Juara Tingkat Kecamatan Galur. Tahun 2019, Kranggan ini hendak mengulangi prestasi harum di Lomba Nglarak Blarak.

***

Unsur tradisionalitas dan lokalitas Nglarak Blarak memang begitu kentara. Sepertinya saya tak menjumpai di daerah lain, hanya di Kulonprogo saja. Pemerintah Kulonprogo giat mempopulerkan Nglarak Blarak di masyarakat. Di level internal Kulonprogo, Nglarak Blarak ditandingkan pada semua desa yang dibagi dalam kompetisi tingkat kecamatan. Setiap pemenang tingkat kecamatan dipertandingkan pada tingkat kabupaten. Penyelenggara kompetisi Nglarak Blarak adalah Karang Taruna Kulonprogo. Tujuannya, ingin menggiatkan pemuda untuk melestarikan tradisi sekaligus menggiatkan aktivitas positif remaja.

Nglarak Blarak ternyata tak cuma dipandang sebagai bagian dari tradisi dan permainan tradisional. Nglarak Blarak telah diakui sebagai bentuk olahraga tradisional yang harus digiatkan.  Nglarak Blarak menjadi perwakilan DIY dalam ajang Festival Olahraga Tradisional Tingkat Nasional dan berprestasi sebagai penyaji terbaik pada tahun 2014 dan 2016. Hebatnya, Nglarak Blarak juga mewakili Indonesia dalam ajang The Association For International Sport for All (TAFISA) World Games 2016.

Upaya Dinda untuk mempertahankan prestasi juara Nglarak Blarak Kulonprogo tahun 2018 menemukan jalannya. Tim Kranggan kembali menjadi juara kompetisi Nglarak Blarak Kecamatan Galur tahun 2019 setelah mengalahkan Desa Banaran. Dinda bersiap lagi sebagai atlet andalan Kranggan untuk menggelindingkan tomblok, memukul sepet dan menggiring uthik. Saya coba menganalisis, memang kunci kemenangan Nglarak Blarak ada pada pemain pertama. Dinda, good job!


Menghalau panas demi desa tercinta.
Penuh perjuangan. Walau sudah terjengkang, tapi harus tetap bertahan.
Instruksi wasit tetap harus didengarkan meski asyik berkompetisi.
Penampilan tetap cerah merona meski disengat terik dan berkalang debu.

JADWAL KOMPETISI NGLARAK BLARAK KULONPROGO 


Final: Minggu, 13 Oktober 2019 di Alun-Alun Wates, Kulonprogo



You Might Also Like

3 komentar

  1. Wahhh seru banget mas. Event tradisional seperti ini yang harus selalu dilestarikan dan dipertontonkan kepada anak-anak agar bisa lebih melihat semesta yang besar ini.


    Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi

    BalasHapus
  2. dengan adanya kegiatan budaya karapan sapi memberikan nilai destinasi pariwisata kegiatan olahara yangbaik dilingkungan adat yang sudah dipercaya puluhan tahun hingga kini. dealer wuling dan silahkan jika ingin melakukan informasi mobil bisa menungjungi link tersebut harga confero

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK