[Novel] Pulang, Curahan Rindu Eksil Politik untuk I.N.D.O.N.E.S.I.A.

Januari 15, 2013

Karya Leila S. Chudori
Wartawan senior TEMPO

“Rumah adalah tempat keluargamu menetap.” Kata Vivienne

“Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang.” Jawab Dimas. Dingin. Datar.

Pulang. Sebuah kata yang menyuratkan kerinduan. Inilah yang dialami oleh Dimas Suryo. Dia sangat merindukan tanah kelahirannya, Indonesia, setelah sekian lama meninggalkannya. Menetap di Paris, menjadi Warga Negara Prancis, berkeluarga, mempunyai anak, dan memiliki bisnis restoran tak menyurutkan hasrat Dimas untuk pulang ke tanah air. Baginya, Indonesia adalah rumahnya.

Namun, pulangnya Dimas Suryo bukanlah perkara sekedar pulang. Tak gampang. Atau barangkali mustahil bagi seorang eksil politik seperti Dimas. Rezim Orde Baru melarang setiap eksil politik yang dianggap terkait dengan PKI dan peristiwa 1965. Tidak dibiarkan Dimas dan kawan-kawannya menginjakkan kaki di Indonesia karena dianggap membawa paham komunisme, marxisme atau leninisme, Bagi Orde Baru, komunisme dan kawan-kawannya adalah najis. Setiap najis tak dibiarkan mengotori ‘kesucian’ Orde Baru. Najis adalah ancaman.

Adalah ‘tragedi 1965’, yang membuat Dimas tak menyangka hidupnya akan teralienasi dari negeri yang dicintainya. Menjelang peristiwa 30 September 1965, Dimas ditugaskan kantornya, Berita Nusantara, untuk menghadiri Konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Chili. Dia berangkat bersama Nugroho, seniornya. Pada awalnya bukanlah Dimas yang ditugasi berangkat, melainkan Harnanto, senior sekaligus sahabatnya. Harnanto tak bisa berangkat karena harus membereskan masalah keluarga dengan istrinya, Surti Anandari.

Sebuah oksimoron. Perpisahan dengan Indonesia adalah jalan yang menyelamatkan hidup Dimas. Di dalam negeri, terjadi pertumpahan darah paling mengerikan dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu hingga dua juta orang terbantai sia-sia karena terlibat atau dianggap terlibat dengan PKI. Sahabat, rekan kerja, dan keluarga Dimas pun banyak yang menjadi korban. Tak terkecuali Harnanto. Meski sempat bersembunyi tiga tahun, dia akhirnya tertangkap dan merenggang nyawa di tangan militer ‘antek’ Orde Baru.

Pengembaraan di luar negeri pun dimulai. Paspor Dimas dan rekan-rekannya, Nugroho, Tjai dan Risjaf dicabut. Kuba, China hingga Prancis menajdi negara-negara yang dijelajahinya. Ini bukan sebuah traveling yang menyasar hiburan. Ini adalah perjalanan untuk menyelamatkan dan mempertahankan diri. Meski di luar negeri, intel dan militer tetap setia mengawasi gerak-gerik mereka.

Prancis adalah tujuan akhir petualangan para eksil. Negeri Menara Eifel dikenal bisa memeluk hangat para pengelana politik. Awal tahun 1968, Dimas tiba di Paris. Lalu, menyusul rekan-rekannya. Saat itu, Prancis sedang panas dengan gerakan mahasiswa dan buruh yang menuntut penghapusan diskriminasi kelas. Demonstrasi terjadi di mana-mana. Revolusi sedang terjadi di Prancis.

Di tengah riuhnya demonstrasi, Dimas bertemu dengan Vivienne Devarux seorang mahasiswi yang begitu vokal berdemonstrasi. Lembaran hidup Dimas di Prancis dimulai dari sini. Dia mulai merasa betah dan nyaman tinggal di Paris. Kelak Vivienne menjadi istri Dimas dan melahirkan Lintang Utara

Niestche, filsuf kiri Jerman berkata “Orang-orang yang bisa lolos dari situasi hidup dan mati, apabila mampu bangkit, ia akan lebih kuat dari sebelumnya.” Di Paris, para eksil seperti Dimas, Nugroho, Risjaf dan Tjai harus bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Meski Prancis cukup baik dengan memberi santunan hidup bagi pelarian politik, tetapi uang itu jumlahnya sangat minim.

Hingga akhirnya, mereka berempat memutuskan untuk mendirikan restoran yang menjual masakan khas Indonesia. Mereka namai Restoran Tanah Air. Dari sejak awal pembukaannya, restoran ini ramai. Tidak menunggu lama, Restoran Tanah Air menjadi restoran yang cukup terkenal di seanterp Paris. Status menjadi eksil tanpa pekerjaan jelas telah diakhiri. Mereka kini telah mempunyai lahan penghidupan yang mantap.

Hidup sukses di perantauan tak menjadikan keempat eksil ini tenang. Mereka sangat berhasrat untuk bisa berkunjung ke Indonesia, tanah airnya. Pengajuan visa sudah berkali-kali mereka lakukan. Selalu saja ditolak, kecuali Risjaf yang entah kenapa diterima sehingga dia akhirnya bisa datang ke Indonesia. Bagi Dimas, ke Indonesia tak sekedar untuk berkunjung. Dia ingin sekali pulang, benar-benar pulang. Niat inilah yang juga menjadi salah satu faktor penyebab perceraian dengan Vivienne.

Dimas menunggu hari demi hari, detik demi detik. Sampai terserang suatu penyakit. Tak jua bisa pulang. Suatu hari Lintang, putrinya, mengutarakan ingin ke Indonesia untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya karena disarankan profesornya. Lintang ingin membuat video dokumenter tentang tragedi 1965 dari sudut pandang para korban. Dia diarahkan bapak dan paman-pamannya (teman-teman eksil Dimas dianggap sebagai paman) untuk menemui Aji Suryo (adik Dimas), Surti, dan anak-anak mereka.

Lintang sangat buta terhadap Indonesia. Selama ini dia hanya tahu dari cerita-cerita ayahnya dan paman-pamannya di Restoran Tanah Air. Dia hanya bisa meraba-raba tentang kondisi Indonesia, suatu negeri yang bagi ayahnya semacam ‘zahir’, yang tak bisa dilupakan, slalu terngiang bagi ayahnya. Paris mungkin adalah rumah bagi Lintang, tapi tidak bagi Dimas, ayahnya. Inilah yang juga membuat Lintang semakin penasaran dengan rumah tempat pulang ayahnya: I.N.D.O.N.E.S.I.A.

‘Kepulangan’ Lintang ke Indonesia barangkali seperti yang disebut Agustinus Wibowo dalam “Garis Batas” (2011) bahwa orang melakukan perjalanan pulang selama hayat dikandung badan untuk mencari “akar”nya. Dalam bingkai tugas, Lintang merunut leluhurnya, mencari lokasi nenek moyangnya terlahir, mempertanyakan sejarahnya, lalu menemukan “akar” tempatnya melekatkan diri.

Mei 1998, Lintang tiba di Indonesia. ‘Kepulangan’ dia di Indonesia disambut dengan suasana politik dan sosial yang memanas. Negeri yang dia datangi lagi-lagi sedang dibalut – sekali lagi – tragedi. Orde Baru rezim Soeharto berada di ujung tanduk kuasa. Namun, dibarengi juga dengan penembakan mahasiswa, kerusuhan antaretnis yang menggoreskan luka di tubuh Ibu Pertiwi.

Sembari mengerjakan tugas kuliahnya, merekam dan mewawancarai banyak tokoh, dia menjadi saksi gerakan mahasiswa dan rakyat menuntut Soeharto mundur. Keterlibatan ini tak bisa dilepaskan karena Alam dan Bimo, putra Harnanto dan putra Nugroho menjadi aktivis gerakan anti-Soeharto.

21 Mei 1998 akhirnya Soeharto lengser. Rezim Orde Baru purna kuasa digantikan Orde Reformasi. Puluhan ribu kilometer dari Jakarta, di Paris, sakit Dimas kian parah. Ternyata ‘pulangnya’ Lintang ke Indonesia adalah suatu isyarat takdir Dimas untuk pulang ke Indonesia. Suatu impian yang sangat ingin dia raih selama puluhan tahun menjadi eksil di luar negeri.

Selesainya Orde Baru membuat Dimas dan teman-teman eksil akhirnya bisa pulang ke Indonesia. Namun, kepulangan sang pengelana, Dimas, ke Indonesia berlabuh abadi di Pemakaman Karet, Jakarta. Suatu tempat yang dia dikuburkan, satu tempat pemakaman bersama Chairil Anwar, sang idolanya. Ya, Dimas berhasil pulang. Dia bersatu abadi dengan tanah air yang dicintainya Indonesia.

***

Judul: Pulang

ISBN 13: 978-979-91-0515-8

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK