Menyingkap Sunyi Curug Sindaro Kebumen

Mei 14, 2013

Curug Sidanro, Wadasmalang, Kebumen


Ini tentang sebuah kejutan! Belum pernah ada gambaran sebelumnya dalam benak saya. Belum ada potret tertancap di laman internet yang pernah saya lihat. Belum pernah saya dengar bisikan kisah tentang air terjun ini.  “Curug Sindaro”, kata Pak Warsino, penduduk Desa Wadasmalang, Karangsambung, Kebumen yang menjadi tempat motor kami terparkir.

Ah, perjalanan blusukan memang intim dengan kejutan.

“Jalan terus ya mas. Kalau belum ketemu air terjun, jangan balik!” pesan Warsino.

Tapi lelaki separuh baya ini tak menjelaskan rincian berapa jaraknya. Tak mengungkap bagaimana medannya. Dia sekedar mengantar hingga percabangan. Memastikan biar kami belok ke kanan. Lalu turun hingga dasar sungai. “Jalan lewat sungai”, bilang Idung, sahabat saya sejak kecil yang turut beperjalanan. Ini pun menjadi petualangan berjalan di atas sungai.

Air sungai Kedungbener mengalir lirih. Menyusur lekuk-lekuk bebatuan hitam yang menjadi dasar sungai. Kami menantang arus. Berjalan memilah-milah tempat terdangkal. Sesekali meloncat-loncat antar bebatuan untuk menghindari kubangan. Segarnya air sungai membelai akrab dalam setiap kami berpijak. Kanan kiri tepian begitu rindang dengan pepohonan. Kami selaksa berjalan dalam haribaan kedamaian.

Tidak ada satupun manusia yang kami jumpai. Tak ada masyarakat peladang. Alam sekitar sungai Kedungbener masih jarang terjamah. Sepi dan alami. Hanya lah geliat kami bertiga – saya, Idunk dan Agung yang memecah sunyi. Sebuah perjalanan manusia sunyi di saat mentari mulai merayap ke atas. 

Sungai Kedungbener merupakan salah satu sungai penting dalam kawasan geologi Karangsambung. Singkapan bebatuan kawasan Karangsambung berusia puluhan juta tahun, sehingga menjadi laboratorium bagi peneliti geologi. Di aliran sungai Kedungbener, bisa dijumpai bebatuan unik yang sarat informasi ilmu alam. Selain itu, di beberapa titik dapat ditemukan sumber air panas, seperti di Krakal dan Wadasmalang. Sungai Kedungbener mengalir hingga bermuara di  hilir Sungai Lukulo, sungai utama kawasan Karangsambung.

Sesampai di sebuah percabangan sungai, kami belok ke kiri. Menyusur sungai yang lebih kecil. Saya tahu, ini jalan salah. Tapi, tak apalah karena kami bisa merasakan sensasi merayap di atas curug kecil. Lengkap dengan ‘grojogan’ airnya. Curug kecil ini tadinya kami pikir air terjun yang dimaksud. Ah, rasanya bukan. Pak Warsino bilang Curug Sidanro bertingkat dua. Pun, kami memutuskan balik ke titik yang benar.

Mengalir merambat di atas bebatuan hitam. @iqbal_kautsar
Curug kecil tapi eksotis di jalan percabangan. @iqbal_kautsar

Berjalan hati-hati. Merayap di bebatuan. Menyusuri sungai Kedungbener. @iqbal_kautsar
Air merambat di atas bebatuan. @iqbal_kautsar

Perjalanan kembali menyusur ke sungai Kedungbener. Sungai makin sempit. Arus air makin pelan. Dataran sungai melandai. Keheningan pun kian menjadi. Mulai titik ini, keraguan di antara kami menyeruak.
                
“Kok suara ‘grujug’ air makin tenang. Tanda tidak ada curug. Apa kita balik saja?” saran Idunk.
“Coba  setelah  belokan di sana. Kita lihat dulu. Mungkin dari situ kelihatan air terjun.” pinta saya mencoba tetap optimis.   

Beberapa kali dialog seperti ini terjadi antara saya, Idung dan Agung. Berulang. Kami seperti di antara keraguan dan harapan. Tapi, kami juga masih memegang teguh ucapan Pak Warsino agar terus melangkah. Itu sebenarnya tanda bahwa Curug Sindaro cukup jauh untuk disusur. Kami pun tak berhenti berjalan. Terus menjejak, melewati bebatuan kali.  

Hingga kami menemui sebuah kubangan yang cukup luas dan dalam. Ada curug mini di seberang. Pada titik ini, hinggap pikiran semacam tentang perjalanan buntu. Sungai tetap berlanjut, tapi langkah kami terhenti. Tak bisa lanjut jalan kecuali mau ‘nyemplung’ berenang. Kami gamang. Kegagalan menemukan Curug Sindaro di depan mata. Tak ada yang bisa ditanyai. Titik nadir sebuah perjalanan.

Tapi semesta berkata lain. Semesta alam memberi petunjuk. Saat melangkah balik, saya menemukan jalan tanah di tepian kiri sungai. Bekas jejak-jejak orang. Inilah jalan melanjutkan perjalanan. Ternyata, inilah jalan yang mengantarakan pada pandangan sayup-sayup Curug Sindaro! Rasanya pun tak sabar lagi untuk mendekat. Kami berjalan lebih cepat. Menyusuri lagi arus tenang sungai Kedungbener.

Pada sebuah cekungan meluas yang diapit tebing bukit, Curug Sindaro berdiri kekar melebar. Ada dua tingkatan yang diguyur oleh sungai Kedungbener. Tingkatan pertama lebih kecil tapi makin sentrifugal di bawahnya. Tingkatan kedua lebih lebar dan lebih tinggi yang terdiri dari beberapa titik guyuran. Antara keduanya, ada jeda ruang di mana air merayap mendatar. Tinggi kedua tingkatan curug Sindaro sekitar 20 meter. Curug yang tak begitu tinggi tapi menawarkan pesona unik.

Sebuah pohon berdiri di tepian puncak tingkatan kedua. Dia tampak tegar diguyur air tiada henti meski di musim kemarau sekalipun. Di pinggir kiri tingkat kedua, ada sebuah ceruk bekas erosi air dari atas. Cekungan ini menyediakan genangan seperti penampung sementara air sebelum dialirkan.  

Air terjun Sindaro. Masih tersembunyi di bagian hulu Sungai Kedungbener. @iqbal_kautsar
Derasnya air yang mengalir. Memberikan kesegaran alami. @iqbal_kautsar
Di sisi paling kiri, mengalir lirih dari atas tebing. @iqbal_kautsar
Sebuah cekungan. Tempat air sejenak berkubang. Tergenang. @iqbal_kautsar
 
Tepat di bawah guyuran air paling besar, Idung menjajal kesegaran air Sindaro. Hanya dia yang berani diguyur air. Dia terduduk membiarkan air bagian hulu sungai Kedungbener menyiram sekujur tubuhnya. Agung duduk berkontemplasi di atas batu besar di depan curug. Dia cukup senang menikmati sekedar cipratan air terjun. Sedangkan saya berkeliling menyesap suasana.
                
Beberapa kesimpulan untuk Curug Sindaro. Air terjun ini masih alami. Kemolekannya terjaga keasliannya. Masih sedikit yang menjamah. Menurut saya, Curug Sindaro punya potensi menjadi permata baru wisata Kebumen. Sangat bagus sebagai alternatif penghalau kebosanan rutinitas sekaligus berolahraga. Untuk tiba di Curug Sindaro, kita mesti trekking sekitar 1 km di atas sungai Kedungbener. Andai bisa melihat dari lokasi yang lebih tinggi, panorama dua tingkat air terjun lebih terungkap jelas. Pemandangan seperti ini akan jauh lebih menawan.
               
Matahari telah meninggi. Tengah siang kian menjelang. Ini adalah hari Jumat. Kami mesti pulang untuk sholat Jumat. Saatnya kembali ke rumah Pak Warsino. Kami trekking melalui jalur yang sama seperti jalan berangkat. Melangkah lewat dasar sungai. Saya cukup puas bisa menemukan lokasi baru. Suatu saat, saya tertarik kembali. Ada keindahan spesial Curug Sindaro yang membuat hati saya tertambat cinta.

Bu Warsino menyuguhi kami segelas air putih. Dia tahu kami lelah berjalan. Kebaikan hatinya ibarat oase penghapus dahaga saat itu. Motor pun dijaga dengan baik, tak minta bayaran. Ah, sungguh baik sekali keluarga Pak Warsino ini. Masih banyak ketulusan dan keramahan yang berserak-serak pada masyarakat desa. Itulah kenapa saya selalu suka blusukan di tempat-tempat terpelosok, seperti Wadasmalang ini.  
                
“Ke sini lagi ya mas. Masih ada dua curug lain.” pesan Pak Warsino saat kami berpamitan. Aha, berarti akan ada kejutan lagi. Kejutan berikutnya telah menanti di Wadasmalang. Tapi, saya harus pulang dulu.

Dalam keheningan hutan, kutemukan permata Curug Sidanro. @iqbal_kautsar
Dasar sungai berbatuan inilah yang harus dilalui. Satu-satunya jalan ke Sidanro. @iqbal_kautsar
Berjalan berzigzag. Mencari bagian paling dangkal. @iqbal_kautsar
Genangan yang cukup luas. Titik dimana kegamangan muncul. Lanjut atau pulang? @iqbal_kautsar
Dua tingkat Curug Sindaro, Wadasmalang, Kebumen. @iqbal_kautsar
Percikan air di ujung atas tingkatan kedua Curug Sidanro. @iqbal_kautsar
Curug Sidanro, Kebumen. @iqbal_kautsar
Suasana Pasar Wadasmalang pada sebuah pagi. Riuh penjual dan pembeli. Terpelosok. 20 km dari Kebumen. @iqbal_kautsar
@idunkomang sedang terguyur air segar Sidanro. @iqbal_kautsar

You Might Also Like

9 komentar

  1. Bagus mas air terjun nya, artikelnya juga. Enak di baca..
    Kayaknya lebaran jadi ke situ secara Kalirancang - Wadasmalang cukup dekat hehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, makasih skali, bung Androz atas komentar dan pujiannya,, hehe,,
      wah jenengan Kalirancang tow, ceraaaak iku mas.. monggo dijajal..

      skalian buat refreshing.. bagus tenaaan.. :)

      nuwun..

      Hapus
  2. yes!! aku juga suka kejutan dalam blusukan mas.. salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mas Jo.. kalau ke sini pasti akan banyak kejutan mas.. :) monggo mas di soboni.. iki mblusuk tenan.. :P

      Hapus
  3. weeeh manteeb
    dari pasar masih jauh ga mas, jalan kakinya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. masiih jauh dari Pasar Wadasmalang.. ke utara msih skitar 4 km an.. :) nanti malah dititipkan motornya untuk jalan ke curugnya..
      bner2 lingkungan asri yang memeluk Curug Sindaro ini.. :)

      Hapus
  4. roda 4 bisa mas ke sana? ada penginapannya nggak, paling nggak rumah penduduk.

    thnks

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK