Telisik Boti Timor (2): Benteng Tradisi Atoni Metu

Juni 27, 2013



Tidak ada masyarakat di Pulau Timor yang memegang tradisi leluhur seteguh dan seasli Suku Boti. Suku Boti merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Suku yang mendiami pegunungan terpencil di Kecamatan Kie, Kab. Timor Tengah Selatan ini masih menganut kepercayaan bercorak animisme.

Keyakinan dan kepercayaan Suku Boti disebut Halaika. Suku Boti percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.
Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Uis Neno menjadi Dewa Langit.  Bagi Suku Boti, hidup ini diatur oleh tiga kekuatan besar, yakni Uis Pah, Uis Neno, juga roh arwah leluhur (Nitu).

Suku Boti dikenal sangat ketat dalam memegang adat dan kepercayaannya. Bila dilanggar, maka pelanggar akan dikenakan sanksi yang tegas. Bisa jadi warga pelanggar harus keluar dari komunitas suku Boti karena tidak diakui lagi sebagai penganut Halaika lagi. Implementasi aturan ini berlaku untuk siapapun. Tidak peduli orang tersebut adalah bagian dari keluarga raja sekalipun.

Laka Benu, putra sulung dari Raja Boti yang legendaris, Usif Nune Benu, harus meninggalkan Boti karena dia memeluk agama Katolik. Padahal, Laka Benu adalah putra mahkota Boti menggantikan Usif Nune Benu yang mangkat pada Maret 2005. Tradisi Boti mensyaratkan raja harus dipegang oleh orang yang mewarisi agama leluhur. Oleh karena itu, Laka Benu tidak bisa menjadi raja. Malah dia ‘dipersilakan’ untuk pergi dari Boti.

Tahta Raja Boti kemudian diberikan kepada Namah Benu, sang adik Laka Benu. Namun, saat pergantian tahta, tidak serta merta langsung sang raja baru dikukuhkan. Melainkan ada masa tiga tahun berkabung untuk menghormati Usif Nune Benu.

Selama itu, orang Boti tidak mengadakan pesta-pesta adat. Baru kemudian Namah Benu dikukuhkan menjadi Raja Boti dengan sebutan Usif Namah Benu. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin adat dan spiritual warga Boti.

Salah satu bentuk rumah di kampung Boti.
Bangunan yang dibuat pemerintah untuk layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Boti
Gambar kerbau di sonaf Raja Boti. Salah satu hewan kurban untuk pembuatan Sonaf Boti tahun 1970-an
Alm. Usif Nune Benu. Raja legendaris Boti
 Sebuah foto besar dengan pigura kayu terpampang di teras Sonaf Raja Boti. Ia menjadi pandangan yang dominan di antara ornamen-ornamen hewan yang dikurbankan saat membangun sonaf tahun 1970-an. Seperti kerbau, babi, ayam, kambing. Foto ini menggambarkan Raja Boti sekarang, Usif Namah Benu, sedang memegang pigura foto dari ayahnya, Usif Nune Benu. Mau tak mau ini melemparkan saya pada romantika kebijaksanaan dan kebersahajaan sang raja Boti, meski tiada kehadiran Raja saat itu.

Selain itu, ada keunikan lain perihal Suku Boti menjaga tradisi leluhur. Sampai saat ini Suku Boti masih konservatif dalam menerima pendidikan formal berupa sekolah dari pemerintah. Sikap konservatif ini tidak berarti menolak sepenuhnya sekolah, tetapi menyiasatinya agar seimbang dengan ajaran tradisi leluhur. Suku Boti menciptakan mediasi antara pendidikan formal dengan pembelajaran warisan tradisi. Mengharmonisasikan ajaran modern dengan tradisional.

“Ada aturan sekolah di Boti. Anak-anak pada satu keluarga akan dibagi dua. Separuh  pergi sekolah menuntut ilmu, separuh di rumah untuk belajar adat dan tradisi. “ terang Mama Raja Molo Benu

Aturan ini merupakan sebuah kebijaksanaan dari Suku Boti. Diharapkan, pada generasi suku Boti tercipta 
keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun.  Dengan begitu, Suku Boti bisa melestarikan adat dan agama nenek moyang tanpa teralienasi peradaban di sekitarnya.


Menenun Kain, Harmonis bersama Alam

Mama Raja mengajak kami untuk melihat proses penenunan kain khas Boti. Tempatnya tak jauh dari Sonaf Raja. Melihat pembuatan kain berarti akan mengakrabkan diri dengan keseharian perempuan Boti. Aktivitas menenun adalah sarana memanfaatkan waktu bagi kaum perempuan di tengah dunia Boti yang berlangsung sunyi dan bersahaja tanpa teknologi modern. Menenun adalah kewajiban bagi para perempuan Boti, tapi sebaliknya haram bagi lelaki Boti.

Terlebih dulu, kami masuk ke sebuah rumah yang dipoles menjadi show room. Pada rumah ini terdapat berbagai macam aneka kerajinan yang diproduksi suku Boti. Sudah pasti ada kain tenun, manik-manik, hiasan rotan, dll. Selain dipajang, aneka kerajinan ini dimaksudkan pula untuk dijual kepada wisatawan. Beberapa pigura foto tentang kegiatan menenun warga Boti juga tampak menghiasi dinding-dinding ruangan.
Di belakang showroom, lokasi penenunan kain itulah berada. Tempat ini memang disediakan khusus untuk wisatawan yang ingin mengetahui dan merasakan prosesi menenun dari awal hingga akhir.

Showroom Kampung Boti. Tempat pameran kerajinan Boti. Ada juga foto Soeharto. Waktu seakan berhenti di sini.
Para perempuan Boti sedang memperagakan tahap-tahap pembuatan kain. Dari pemintalan sampai penenunan.
Nona Klui dengan cekatan membuat motif pada kain Boti.

“Biasanya perempuan sehari-hari menenun di dalam rumah. Sambil jaga rumah.” ungkap Klui.

Empat perempuan muda telah duduk menempati posisinya masing-masing. Pakaiannya menggunakan kaos biasa dengan sarung tenun khas Boti sebagawai bawahan. Mereka sudah dari tadi menjalankan tugasnya sesuai pembagian kerja. Prosesi membuat kain Boti dibagi menjadi beberapa tahap.    

Proses pertama, kapas terlebih dulu dipisahkan dari biji kapas yang disebut beninis. Biasanya anak perempuan yang mengerjakan tugas ini. Selanjutnya, beninins itu dihaluskan dengan alat tertentu untuk dibuat dalam bentuk rol-rol kapas. Setelah itu, seorang perempuan kemudian menggulung rol kapas untuk dijadikan sebagai benang. Benang-benang ini akan diberi pewarna. 

Suku Boti memiliki tradisi unik dalam mewarnai benang. Mereka menggunakan bahan-bahan dari alam untuk pewarna benang. Pewarna ini tersedia melimpah di hutan sekitar kampung Boti. Suku Boti benar-benar mengaplikasikan hidup yang harmonis bersama alam. Tidak ada bahan kimia yang mencemari tanah Boti karena semuanya berasal dari alam.

Dalam bahasa lokal, suku Boti menggunakan empat pewarna alami yang khas. Untuk merah tua dan merah muda menggunakan Bauk’ulu dan Noba. Warna hitam dan biru laut dihasilkan dari Taum. Warna kuning tua dan kuning muda didapat dari Huki. Warna hijau daun menggunakan Kotno. Warna-warna inilah yang kemudian mendominasi motif-motif pada tenun Boti.

Selanjutnya dilakukanlah penenunan.  Proses penenunan menjadi kain dilakukan oleh remaja putri atau para ibu. Prosesnya akan dikerjakan secara sendiri atau kelompok. Untuk satu lembar kain ikat yang ditenun membutuhkan waktu hingga tiga bulan penyelesaian secara sendirian. Bila berkelompok, kain bisa diselesaikan dalam waktu sebulan.

Tangan-tangan Nona Klui begitu cermat dan cekatan dalam menenun kain. Meski saya ajak mengobrol, dia tidak luput untuk mengombinasikan motif yang sedang dibuatnya. Dia sedang menyusun motif buaya yang merupakan merupakan motif paling khas dari Boti. Buaya adalah hewan yang disakralkan dalam tradisi orang Timor, termasuk di Suku Boti ini. Simbol kekuatan dan perlindungan.

Dari hasil tenunan tradisional itu, warga Boti menjahit pakaian baik untuk dipakai sehari-hari maupun untuk pakaian adat. Pakaian adat laki-laki disebut beti atau mau’. Sedangkan pakaian adat perempuan disebut tais. Selain pakaian, kain tenun juga bisa dibuat untuk aksesoris seperti gelang, tas kain atau sekedar dibuat sebagai kain sarung. 

“Pohon kapas kami tanam sendiri. Kapas kami pintal sendiri. Kain kami tenun sendiri. Jadi, pakaian kami murni buatan sendiri. “ ungkap Mama Raja bangga.

Tahap-tahap dari beninis hingga pembuatan benang.
Suku Boti menggunakan pewarna alami untuk kainnya. Benar-benar harmonis bersama alam.
Salah satu rumah warga di Kampung Boti. Sederhana dan bersahaja.
Bisa mengetahui proses pembuatan kain di Boti, membuat saya mendapat pelajaran berharga. Suku Boti menggunakan hasil karya mereka sendiri dalam kesehariannya. Mereka bisa mandiri. Mengajarkan kita agar cinta pada produk sendiri. Bukankah ini wujud dari kesederhanaan hidup? Ada penghormatan luhur terhadap alam sekitar Boti yang menyediakan banyak bahan baku untuk memenuhi kebutuhan. Sebuah optimalisasi potensi alam dengan tetap menjaga alam lestari.

“Menurut falsafah hidup orang Boti, manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup.” jelas Nona Klui


***

Perlahan, matahari mulai merendah ke ufuk barat. Sore sudah menjelang. Kebersahajaan hidup suku Boti melarutkan saya dari tadi awet tak mau beranjak. Tapi, saya dan Lingga mesti kembali ke Kupang. Kami meminta pamit kepada Mama Raja. Namun, sebelum pulang, Mama Raja minta kami makan dulu.

“Tidak bisa keluar dari Boti sebelum menyantap suguhan makan dari Mama Raja.” jelas Hermanus

Kami kembali ke Sonaf Raja dan menyantap hidangan dari Mama Raja. Sebuah suguhan sederhana tapi saya yakin dibuat dengan penuh cinta. Nasi dengan sayur labu, oseng mie instan, tempe dan kacang. Saya serasa menikmati makanan yang teriringi ungkapan terbaik memuliakan tamu. Seperti tadi juga, Mama Raja dan pembantunya tidak ikut makan bersama kami. Baiklah, karena lapar mendera, makanan pun lekas tandas.

Namun, tak berhenti saat itu juga. Penghormatan kepada kami mencapai puncaknya sesaat sebelum pergi. Kami diberikan kain khas Boti. Cuma-cuma! Langsung oleh Mama Raja, kain tenun bermotif buaya yang sangat indah itu dikalungkan kepada saya. Jujur, saya terharu dan bangga. Serasa saya menjadi tamu kehormatan suku Boti. Padahal, saya sekedar wisatawan biasa. Sungguh betapa baik dan ramahnya sambutan dari warga Boti. Momen ini pun menjadi klimaks dari kehadiran saya di Kampung Boti. Happy Ending in Boti!

Lambaian tangan Mama Raja, Nona Klui dan warga Boti lainnya mengiringi kepergian kami dari Boti. “Koenom amfain ahoit teu Hot Sonaf’. Selamat Jalan menuju tempat tinggal Anda. Dalam hati, saya berharap semoga ada kesempatan untuk datang kembali dan tinggal lebih lama memaknai kebersahajaan Suku Boti.  


Di Boti, ayam pun harus dikandangkan dengan digantung. Tak mudah menemui ayam di dataran kering di Pulau Timor
Rumah bundar Umekububu yang banyak dijumpai di Pulau Timor. Di Boti cukup banyak.
Mama Raja tampak bersantai. Sambil mengawasi perempuan Boti yang sedang menenun.
Saya akan meninggalkan Kampung Boti dalam. Ada pagar kecil yang melingkari kampung ini.
Sius dan Hermanus. Tukang ojek yang 'berani' mengantarkan saya bertakzim ke Boti.
Seorang Mama dengan anaknya yang lucu. Menjaga tradisi Suku Boti


You Might Also Like

2 komentar

  1. Just wondering, kalau mereka animisme, kemudian agama apa yang tertulis di KTP nya ya? atau bahkan malah ga punya KTP?
    umm.. menarik..

    BalasHapus
  2. Ijin share ya Kak. Terimakasih 😊

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK