Saga Kampung Saga

April 30, 2014

Sao-sao para keturunan Pala Wolo, leluhur Kampung Saga.

Siang makin memancar terang. Terik semangat membakar kulit. Kami pun menelisik lebih jauh perjalanan di Kampung Saga. Kini kami harus menapaki tangga yang terbuat dari tumpukan batu untuk menuju ke bagian lebih dalam di Kampung  Saga. Atau lebih tepatnya menuju ke bagian atas. Kampung Saga memang berkontur bertingkat-tingkat menyesuaikan dengan kondisi lahan yang berada di lereng bukit. 

“Awas, hati-hati. Tapi tenang, batuan ini kokoh. Ratusan tahun tidak ambrol“ pesan Maksi sekaligus memberi kesan tenang kepada kami.

Pada setiap tingkatan di Kampung Saga terdapat rumah khas Suku Lio yang lebih dikenal sebagai Sao. Masyarakat setempat Saga menyebutnya sebagai Ranggo Wawo. Sepintas arsitektur bangunan ini seperti joglo, tapi jika diamati lebih cermat, jelas sangat jauh beda. Sao ini berdiri sebagai rumah panggung yang menyesuaikan kondisi alam Flores yang berbukit-bukit dan aktif gempa. Bangunan masih orisinil terbuat dari kayu. Atapnya ditutup oleh alang-alang. Suasana etnis Suku Lio sangat kental terasa ketika menyaksikan deretan rumah-rumah tradisional ini.

Kami lanjut ke tingkatan berikutnya, terus ke tingkat berikutnya. Sama saja, terus mendaki dan melangkah. Hingga di tingkatan yang terdapat sebuah makam yang bertuliskan Kaki Nggali (1817 – 1917) kami berhenti. Sekaligus beristirahat, kami tertarik menelisik sosok yang memiliki makam diberi bangunan tersendiri. “Pasti dia orang istimewa” pikir saya dalam hati, seperti menjumpai makam wali di Jawa yang biasanya diberi bangunan khusus.

“Kaki Nggali adalah pahlawan bagi Kampung Saga. Dialah yang memimpin peperangan untuk mempertahankan kampung ini. “ ungkap Maksi.

Maksi memandu kami menaiki tangga. Untuk menuju lokasi rumah leluhur.
Makam anjing milik Pala Wolo.  Sakral. Tidak boleh ke sini selain keturunan Pala Wolo dan ketua adat.
Makam milik Kaki Nggali, panglima sakti penjaga Kampung Saga.

Makam-makam leluhur juga terdapat di tiap tingkat Kampung Saga. Makam paling khas adalah rateh yakni makam dari susunan batu yang menempatkan si mayat dalam kondisi duduk. Rateh ini berpadu dengan jenis makam lain yang sudah mendapatkan pengaruh dari agama Katolik. Terdapat  makam-makam bernisan biasa dengan hiasan salib. Orang Saga bisa mengharmoniskan antara tradisi leluhur dengan agama Katolik. Luar biasa.

Akhirnya, sampailah kami di tingkatan paling atas di Kampung  Saga. Panorama jelas terpandang dengan paduan  antara rumah-rumah Sao dengan alam sekitar Taman Nasional Kelimutu yang asri. Di sini saya menyaksikan harmoni antara alam dan budaya, sebuah pelajaran bermakna dari etnis Lio yang lestari menjaga hutan.

Sembari beristirahat dari lelah, Bang Maksi berkisah tentang sejarah Kampung Saga. Dia sambil menunjuk sebuah makam di atas yang dipalangi, dimana berarti tidak boleh siapapun kecuali Mausalaki yang bisa masuk ke area itu.

“Itu makam dari dua anjing yang merupakan peliharaan kesayangan dari Pala Wolo, pendiri kampung Saga. “ jelas Maksi

Alkisah, ada sepasang anjing milik Pala Wolo. Suatu waktu mereka kawin dan mengandung. Tapi, tak lazimnya anjing biasa, anjing itu mengandung lama, sampai 9 bulan. Akhirnya di kolong Sao Palawolo, anjing itu melahirkan, yang ajaibnya lahir seorang bayi perempuan. Anak ini lalu tumbuh besar menjadi gadis cantik. Hingga suatu waktu, terjadilah serangan dari penjajah VOC Belanda ke Kampung Saga dimana gadis itu dibawa pergi. Tak semata direbut cuma-cuma, anak gadis itu dibarter dengan emas atau londa yang begitu banyak.

Suatu hari, VOC rencananya ingin membawa gadis Kampung Saga ini ke Belanda. Akan tetapi, kapal yang membawanya tidak bisa berangkat meski sudah dilakukan upaya sekeras tenaga. Anjing si “orang tua” gadis itu menyalak terus menerus  karena tidak rela. Akhirnya, dipanggillah anjing itu untuk merelakan kepergian gadis itu. Setelah diikhlaskan, kapal Belanda bisa berangkat dengan lancar. Sayangnya, sesampai di Pantai Gading,  Afrika Barat tersiar kabar bahwa gadis itu meninggal dunia.

“Sampai kini, keturunan Pala Wolo sangat menghormati anjing. Mereka tidak bisa makan daging anjing. Bahkan jika terkena cipratan darah anjing atau malahan menginjak bekas darah anjing sekalipun, kulit mereka bisa luka. Silakan boleh percaya atau tidak percaya, tapi itu benar terjadi.” Jelas Maksi yang mana istrinya merupakan keturunan Pala Wolo.

Tapi, Maksi dan orang-orang yang bukan keturunan tidak masalah jika memakan anjing. Hanya saja, toleransi tetap harus dilakukan. Tidak ada upacara adat di Kampung Saga yang melakukan pengorbanan yang menyakiti anjing.



Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014


Perkampungan Saga di lihat dari lokasi tertinggi. Sebagian harus 'dipolusi" rumah seng karena belum sanggup membangun rumah Sao. Butuh banyak dana. Dulu hancur karena gempa 1992.
Rumah-rumah di Kampung Saga dikenal dengan nama Rangga Wawo. 
Sao keturunan Kaki Nggali. Makam Kaki Nggali di depannya.  
Panorama luas ladang Kampung Saga. Terletak di tepian kawasan TN. Kelimutu. 
Tina, bocah kelas 2 SMP dari Saga. Dia mau difoto sambil membaca buku. Kebetulan  dia habis pulang sekolah.

You Might Also Like

2 komentar

  1. Tolong di perjelas untuk nama pendiri kampung saga Dala wolo bukan Pala wolo.

    BalasHapus
  2. di kampung saga banyak sekali ya tempat-tempat sakral..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK