Boleh Kami Namai Curug Pelangi?

Juni 24, 2014

Curug Pelangi, sebutan kami untuk curug ini.  Tersembunyi.

Ini kisah tentang air. Saksikanlah, air ini bercucuran dari mulut gua, dari atas sana. Dari ketingggian 60 meter, ia merayapi tebing sedimen dengan dua tingkatan. Hingga kemudian jatuh pada kolam yang tak terlalu lapang. Semacam kubangan. Lalu, air ini sejenak beristirahat dikelilingi tebing yang menjulang.

Ya istirahat dulu, setelah air ini menempuh perjalanan sunyi di bawah tanah sedari tadi. Menyusuri rongga gelap labirin perut bumi, entah berapa kilometer jauhnya, entah berapa banyak cabangnya, entah berapa banyak sumbernya.

Bagi sang pejalan air ini, berarti tinggal sebentar lagi dia menemui ujung. Tak sampai 100 meter lagi, ia akan bertemu dengan lautan Hindia yang mahaluas. Bukan lantas gampang, air ini masih harus mengikuti kelak-kelok terapit bebatuan. Terkadang jua harus terjun di jeram-jeram kecil. Tapi itu tiada berarti demi bersatu dengan ‘ibunya’: samudera raya.

Ini kisah tentang saya dan sahabat saya, Anas. Kami berdua semacam makhluk pecinta kampung halaman yang sangat antusias menghampiri titik-titik sunyi nan indah tapi jarang terambah. Di Kebumen, kampung halaman kami, masih sedikit orang peduli, terlebih pemerintah  bisa jadi tak akan menggubris untuk mengulik potensi-potensi lanskap yang lestari.

Sesungguhnya, Anas adalah orang sibuk, adapun saya adalah orang sok sibuk. Kami rela menyelakan waktu di antara kesibukan kami demi perjalanan menemui ruang sunyi ini. Karena ini semacam pelampiasan impian yang sempat tertunda silam.

Bersiap melangkah. Menyusuri igir-igir bukit karst. Menemui sunyi.
Ladang warga di semacam dasar bukit karst,
Dari sini masih jauh. Tapi kita bisa memandang kecantikan alam daratan dan lautan

Kami paham, perjalanan menemui sejumput kisah kali ini harus sukses. Kami paham juga, informasi tentangnya tetap saja sangat minim. Namun, bukankah ini adalah petualangan yang akan penuh kejutan? Kami pernah mencoba menuju titik impian ini. Namun, kami harus membungkus kecewa. Kami salah mendapati lokasi. Berarti juga kami salah menyusuri jalan. Berarti juga kami salah mendapati informasi. Iya, kami akui salah destinasi.

Hari ini, takdir untunglah begitu bermurah hati menyediakan kesempatan kepada kami untuk mencoba kedua kalinnya. Cuaca cerah, langit biru dan badan bugar menjadi bekal menuju tempat impian. Lengkap pula amunisi minuman yang akan menjaga kami dari kehausan dan kelelahan. Akhirnya, semesta pun seakan mendukung penuh kami untuk segera menengok ruang sunyi yang terletak di sepetak kawasan karst Gombong Selatan, Kebumen.


***

Terus melangkah. Terus berjalan dalam sengatan panas terik karena saat itu sang mentari riang memancarkan sinarnya berlimpah-limpah. Sedari motor yang terparkir di titik terakhir yang bisa dijangkau, kami sudah berjalan sekitar 500 meter. Tentu bukan melintasi jalan yang rata.  Jelas jalanan yang naik turun. Paling banyak menurun di igir-igir bebukitan karst. Terpandang di selatan sana, cakrawala lautan telah terbentang sangat luas. Kami pun kira sudah dekat. Kami sangat antusias untuk bergegas.

Untunglah, dua orang warga yang sedang berladang menyadarkan kami untuk rasional menempuh perjalanan yang penuh liku. Maksudnya tidak usah terburu-buru memburu lokasi itu. Momen ini lantas menjadi ajang penasaran bagi  mereka. Dalam hatinya, dua orang ‘asing’ yang merambah ke lingkungan garapannya telah mengusik keingintahuan. Saya yakin sebuah keingintahuan yang bukan kecurigaan. Pun, lami mudah bertegur sapa.

“Mau kemana yah?”tentunya dalam bahasa Jawa berdialek ngapak.
“Mau ke curug, Pak” jawab saya.

Jelas mereka cukup kaget karena tiada banyak manusia yang biasa datang ke ruang itu. Kedua bapak ini saja jarang. Warga juga jarang berladang atau mencari rumput di sana. Mungkin bagi kami, mencari tempat-tempat baru adalah lumrah. Namun bagi orang setempat, perangai seperti ini adalah keanehan.

“Lha, cuma air jatuh kok banyak yang senang melihat. Jalan susah pun mau saja.” mungkin seperti itulah anggapan mereka.

Tapi, kebaikan hati mereka tetap membuncah. Ditunjukkanlah setapak tanah yang benar menuju curug. Berkat jasa informasi mereka, kami pun berbelok kiri menyusuri jalan yang menuju jurang. Di sinilah, kami pun yakin ini adalah jalan yang hakiki karena kami mendapati sebuah teluk kecil.

Sebuah teluk kecil. Sejenak istirahat
Sebuah goa di dasar jurang. Membuat penasaran untuk memasukinya.
Sebuah muara. Dari sinilah, gerbang untuk mulai perjalanan naik menyusuri sungai.

Semula itulah, setapak mulai tertutup rapat oleh rerumputan. Ini jadi pertanda sebuah jejalanan yang jarang terpijak. Perjalanan jelas kian tertantang. Kami jua mesti menuruni bukit untuk mencapai dasar batas daratan dan lautan, yakni berupa sebuah pantai bebatuan. Menuju ke sana, berarti jalanan sangat sempit di tepian bukit pun mau tidak mau harus ditempuh. Kami perlu merayap penuh waspada hingga tibalah kami dataran rumput.

Namun, belum jua ada tanda-tanda curug terlihat. Masih ada satu tanjung kecil yang berbukit yang mesti dilewati. Kami pun sejenak berhenti. Beristirahat sambil nikmati panorama goa kecil yang berkali-kali dihantam gelombang, di bawah sana.


 ***

Bukan suara gemerujug air terjun yang kami dengar meski telah melihat cucuran air jatuh dari mulut goa di kejauhan bukit yang menjorok dalam. Kami lebih mendengar suara deburan ombak Laut Selatan yang menghantam tebing-tebing karang. Maklumlah, kami berada di muara sungai kecil dari aliran air curug tersebut. Dari situlah, upaya mendekat ke haribaan curug pun dimulai.

Jikalau air bersuka ria mengalir dari tempat atas  ke bawah, menyusuri bebatuan dan jeram kecil, kami pun bersenang gembira mendaki naik di antara bebatuan terjal. Menjemput sang permata ini benar-benar menjadi petualangan yang menggairahkan hati.

Sekitar setengah perjalanan, kami lantas berpindah menyusuri tanah yang dipenuhi tanaman liar. Berkali-kali kami mesti membuat semacam jalan baru. Kami semakin dekat dan semakin dekat. Tantangan terakhir. Kini sebuah kolam air setinggi lutut pun harus ditaklukkan.  

Sebuah pelangi menyambut kami. Voila! Ini adalah hadiah tiada tara tatkala berjumpa pada sang curug. Mejikuhibiniu terlukis cantik pada kanvas putih air yang bercucuran. Baskara bersinar cerah yang terbiaskan oleh titik-titik air terjun memproduksi aneka warna pelangi. Lokasi curug yang menghadap ke barat membuat pelangi dengan sukarela timbul riang gembira.

Saking terkagumnya, saya pun berimajinasi. Pelangi selaksa mengantarkan para bidadari kayangan turun ke curug ini untuk memuji keindahan ciptaan Ilahi. Ya, bersama kami saat itu... Apakah mereka sedang mandi? Melepas pakaiannya? Kami tentu merahasiakannya. :P     

Kami harus akui, pelangi di curug ini tidaklah sempurna membuat setengah lingkaran. Tergantung posisi matahari. Saat ini, Juni, matahari cenderung berada di ‘lintasan’ utara. Tiada sempurna menyinari curug dari posisi yang lurus. Kami berprasangka, coba saat bulan September-Maret dimana mentari condong di ‘lintasan’ selatan. Tatkala cerah cuaca, bisa dibayangkan pelangi akan timbul sempurna membentuk setengah lingkaran.

Menuju Curug Pelangi. Air keluar dari mulut goa. Bukit karst menindih tebing sedimen. 
Segurat pelangi yang membuat kami ingin menamai curug ini menjadi Curug Pelangi.

Dari bawah curug, kita akan mendapati panorama seperti ini. Langsung melihat laut dalam bingkai teluk.

“Bolehkah dinamai Curug Pelangi saja” tawaran saya kepada Anas.

Sekalipun kita mendapati curug ini tanpa pelangi pun. Semisal saat cuaca mendung. Tak perlulah kecewa apalagi gundah gulana. Kawasan curug ini tetaplah sebuah pelangi, yakni sebuah lanskap alam yang menyediakan warna-warni fenomena alam.

Jika kau paham tentang batuan, ruang ini punya keunikan tersendiri. Kawasan ini merupakan kawasan karst. Namun, sebagian tebing curug berupa batuan sedimen. DI sampingnya juga ada tebing yang seperti batuan vulkanik. Makin uniknya tatkala bebatuan karst termasuk goa tempat sumber air, menumpangi bebatuan sedimen dan vulkanik. Bagaimana terjadi fenomena ini? Ah, saya tak paham tentang batuan. Anas yang lebih tahu tentang batuan.

Jika kau hanya sekedar penikmat keindahan semesta alam, petak ini menyediakan kombinasi rupa-rupa alam. Ada curug yang unik dua tingkat, ada samudera menghijau toska, ada deburan ombak, ada tebing yang tinggi, ada karang yang perkasa, ada goa karst yang menjadi aliran air dan di dasar jurang, ada jeram-jeram kecil, ada sungai yang segar, ada padang rumput kecil, ada kesunyian, ada sensasi bertualang, ada kedekatan dengan alam. 

Jika kau hanya menghabiskan hari, rasanya terduduk di bawah pohon yang berdiri tunggal di muara kali sambil memesrai alam akan menjadi semacam kontemplasi dalam tentang makna kehidupan. Satu kata yang pantas saya ganjar pada suasana ruang curug ini adalah Epic!!!

Sayangnya, nestapa kami adalah cuma sebentar menyigi pesona curug yang dianugerahi pelangi-pelangi keindahan. Sore mulai ditelan petang, malam sebentar lagi menghadang. Kami harus pulang. Namun, kami masih menyisakan penasaran untuk menikmati lebih lama ruang sunyi ini.

Sejak merasakan kekaguman tiada tara pada ruang ini yang penuh pelangi, kami menyuguhi tawaran kepada kalian.

“Bolehkah kami namai Curug Pelangi?”      


Catatan

- Curug ini sebenarnya sudah punya nama setempat. Nama asalnya adalah Curug Sawangan di Desa Karangduwur, Ayah. Penamaan Curug Pelangi dari kami semata-mata merupakan ekspresi kekaguman dari kami pribadi, tanpa bermaksud untuk mengabaikan nama setempat. Namun, kami belum akan membukanya karena curug ini belum dikelola oleh warga setempat, masih alami apa adanya.  Tempatnya begitu terpelosok dan jauh berjalan kaki.  

- Jujur, kami khawatir jika terburu-buru dibuka tanpa ada keterlibatan warga, seperti pengalaman di banyak tempat, hanya akan menjadi tempat yang tidak ada pengawasan. Hanya dirambah, tapi tidak bermanfaat bagi warga. Dari segi keamanan juga berbahaya. Terlebih, banyak kasus bahwa tempat sepi hanya dijadikan sebagai tempat mesum. Bagi kami, hal ini adalah polusi yang mengotori tempat-tempat indah. Bukankah Tuhan menciptakan lanskap alam untuk disyukuri, bukan dinodai oleh perilaku hina ini.

- Lokasinya berada di kawasan karst Gombong Selatan, Kebumen. Jika ingin tahu tepatnya silakan mengkontak saya di media sosial saya (twitter, facebook)   


Saat gulungan ombak bersemangat menuju ke daratan. Mereka rapi sejajar berbaris untuk menyambut hempasan.
Rupa sungai yang tak lama lagi berjumpa dengan samudera raya, 
Saat ombak menghantam bebatuan karang. Cantik jika diabadikan slowspeed.
Sepetak jalan pendakian. Menyusuri rerumputan.
Seperti inilah jalan menuju Curug Pelangi. Sebenarnya tak layak disebut jalan.
Lekuk teluk sempit tempat dimana kami menemui ruang sunyi.
Sunset yang menggelora di atas tebing karst Gombong Selatan
Sahabat saya sedang beristirahat sekaligus mensyukuri suasana
Coba cermati di mana pelanginya.
Dari mulut goa karst.
Jeram-jeram kecil makin menghiasi 


You Might Also Like

6 komentar

  1. kiye mesti efek kamera ya kangg.... deneng maen temen yaaa tembe sadar hahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha.. tetap aja kamera itu nomor kesekian Sipoh, lokasinya yang jelas2 apik kok.. Mbok kampung halamanmu i dikembangkan.. neng daerahmu lho iki..

      Hapus
    2. iya ayuh bal dikembangkan ben kebumen dadi kota petualangnn

      Hapus
    3. Zarkasih.. yoooi.. daripada mendatangkan sing pacar2an, mending kanggo para travelller sing seneng petualangan, sing lebih menghargai alam.. :D

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. curugnya tinggi sekali dan indah, karena dari curug itu kita bisa melihat sebuah pelangi..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK