Sandaran Teri Pulau Pasaran

Mei 09, 2016

Teri Berkah Pulau Pasaran

Cuma kelas teri saja bisa menghidupi! Tanyakan saja pada penduduk Pulau Pasaran. Ikan teri membuat pulau mungil yang beruntai di muka kota Bandar Lampung ini semarak dengan kesejahteraan.

Saya bangun lebih pagi diliputi sedikit bimbang, “Mau kemana pagi ini?”. Kota Bandar Lampung dan sekitarnya tak cukup meyakinkan: memberi suguhan sepetak ruang untuk menyesap pagi yang bisa dinikmati. Gundah tersebut berlaku sebelum saya mendapatkan informasi tentang Pulau Pasaran. Dengan tahu sekilas saja pulau ini adalah penghasil ikan teri, sanggup membuat gairah saya tak terbendung untuk melaju ke sana. Saya tak terlalu peduli apakah Pulau Pasaran ini destinasi wisata Bandar Lampung atau bukan.

Saya berangkat sendiri dengan berbekal keberanian pasca menunaikan Shubuh. Sudah diduga, tidak ada petunjuk jalan untuk ke Pulau Pasaran. Pemandu saya cuma gawai saya dengan aplikasi google maps. Akhirnya saya menyapa Pulau Pasaran setelah menyisir kota hingga ke pinggiran – arah Tanggamus. Pulau Pasaran ada di seberang sana. Sekiranya dihitung jarak, Pulau Pasaran berjeda 500 meter dari daratan utama Pulau Sumatera. Perahu-perahu nelayan tertambat berderetan. Kawasan ini menjadi pelabuhan rakyat bagi masyarakat kampung yang berdiam.

Tak perlu risau untuk menyeberang. Sudah ada sebuah jembatan semen selebar 1,5 meter yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan pesepeda motor. Saya pun melintas di kala interaksi dua tempat itu belum meriah. Hanya tampak beberapa warga yang saya papas, rasanya mereka mau pergi ke pasar. Saya tebarkan senyuman dan perangai permisi, untungnya berbalas senyum pula dari mereka. Dari situ, saya yakin ihwal pulau seluas 14 hektar ini adalah pulau yang ramah bagi pengunjung biasa, terutama yang tak berniat memborong ikan teri, hanya sekedar melawat saja.

Jembatan penghubung ke Pulau Pasaran
Mentari mulai beranjak. 
Papan-papan penjemur yang belum dihamparkan pemiliknya. 

Di ufuk timur, surya mulai memperlihatkan  sinar cerahnya. Ia sungguh cantik nan anggun membalut kota Bandar Lampung yang masih kuyu disapih oleh malam. Cahaya oranyenya lalu menimpa rimbunan deretan hutan mangrove yang membalut sepetak pesisir kota. Burung sriti melintas dengan gembira bersama suaranya yang berisik. Di perairan Teluk Betung, beberapa nelayan menyempatkan paginya untuk menjala ikan di perairan dangkal. Laju motor saya pun akhirnya tiba jua di Pulau Pasaran. Saya mendapati Pulau Pasaran belum terbangun dari pagi.


***

Setelah sekian puluh meter menusuk lewat setapak, mulailah Pulau Pasaran yang bersemarak. Ada geliat kehidupan pagi.

Deretan papan-papan penjemur ikan mulai ditumpahi oleh berkantong-kantong ikan teri. Selanjutnya, warga menyebarkan, meratakan ikan teri untuk memenuhi seantero papan. Bau amis menguar menusuk hidung – bagi warga inilah wangi kemakmuran. Saya pun mulai terbiasa dengan bau amis khas ini dan menjadi bumbu penyemangat pagi. Aromanya pun menggugah setara bau kopi yang belum saya sruput di pagi ini.  

Tak berselang lama, tiap keluarga Pulau Pasaran sudah keluar dari rumahnya bersibuk ria merayakan karunia teri. Pagi yang cerah dengan langitnya yang  bersih adalah alamat penghuni pulau yang mayoritas bergiat sebagai perajin teri agar mesti bersemangat. Kelana saya di pulau yang terletak di Teluk Betung Barat ini berujung pada area penjemuran ikan teri milik Fadli dan keluarganya. Saya hentikan motor dan menyambanginya.

Sebelum disebar, keranjang teri diletakkan berderet agar lebih mangkus.
Fadli dan keluarganya mulai menjereng terinya.
Kucing paling bahagia. Di antara jutaan teri. Teman ngemil teri saya.

Dengan setengah bercanda Fadli menawarkan saya ikan teri yang baru mulai ditumpah ke papan pengeringan. “Silakan dicicipi mas. Jangan hitung-hitung”. Saya menyambutnya sumringah dan tak pikir panjang langsung menyantap mentah. Seekor kucing yang asyik nangkring di papan sambil melahap teri seperti mendapatkan kawan sarapan. Tentu teri mentah ini berasa asin, tapi rasa gurihnya seperti menjejakkan di lidah bahwa ikan teri Pulau Pasaran sungguh istimewa.

“Jangan kebanyakan mas, darah tinggi bisa kumat.” tutur Fadli yang sudah 20 tahun merantau dari Cirebon. Sepertinya ia ingin mengingatkan tamu barunya yang keasyikan menikmati teri.

Teri Pulau Pasaran adalah jaminan mutu soal per-ikan teri-an di Indonesia. Hikayat teri Pulau Pasaran telah kondang sebagai penghasil teri terbaik di Indonesia – sungguh info ini mengagetkan saya. Di seantero Sumatera, Pulau Pasaran juga dikenal sebagai sentra penghasil teri terbesar. Aneka jenis ikan teri yang dihasilkan adalah teri nasi, teri jengki, teri nilon, dan teri buntiau. Yang paling masyhur di Pulau Pasaran adalah teri nasi. Selain teri, warga Pulau Pasaran juga mengeringkan dan mengasinkan aneka ikan dan cumi.

Dibantu keluarga dan karyawannya, Fadli begitu cekatan menjereng ikan dalam keranjang di atas papan-papan yang berderet memanjang. Sebuah gerobak yang membawa keranjang-keranjang baru dari gudang penyimpanan melintas sembari menaruhnya di atas papan yang masih kosong. Tak perlu disambut mentari yang meninggi, upaya menyebarkan teri di atas papan telah purna tugas. Teri ini lalu dibiarkan seharian dipanasi mentari hingga sore hari, kecuali dirusuh oleh hujan yang menghujam bumi.

Bersiap untuk dibawa ke papan penjemuran.
Suasana riuh. Sebelum mentari tinggi.
Bekerja sama.

Fadli dan ratusan perajin teri Pulau Pasaran punya kiat mangkus dan sangkil untuk menjaga cita rasa terbaik terinya. Tak seperti di daerah lain, proses  penggaraman tak dilakukan ketika nelayan sudah mendarat. Nelayan Pulau Pasaran akan berlayar sore hari untuk mencari ikan dari bagan ke bagan di Bandar Lampung dan sekitarnya. Di atas kapal, teri langsung direbus menggunakan air laut. Paginya, teri dijemur dan jika surya memancar terik,  sore harinya sudah kering lalu dikirim ke luar daerah seperti Jakarta. Jika tak kering, masuklah teri dalam gudang untuk dipaparkan lagi esok pagi.

Rumah-rumah Pulau Pasaran tampak merupa bagus, jauh dari kesan desa nelayan yang tertinggal. Fadli menunjukkan saya rumahnya yang bertingkat dua. Teri memang jadi biang kesejahteraan untuk 250 KK warga Pulau Pasaran. Dari terilah, warga pulau yang awalnya adalah nelayan kurang sejahtera asal Bugis, Cilacap, Tegal, Cirebon dan daerah pesisir lainnya di seantero Indonesia sanggup mencintai pulau yang sudah sesak dihampari rumah-rumah kokoh bertembok. Teri adalah sandaran hidup. Menyekolahkan anak-anak ke sekolah tinggi, naik haji atau membangun rumah sudah lumrah di Pasaran.

Hari-hari itu teri dihargai sekitar Rp 70.000 per kg. Pulau Pasaran tentu pantas bangga. Dengan harga sejumlah tersebut, teri bisa melampaui per kilo gram ikan kakap merah: Rp 50.000. Dari Pulau Pasaran ini, siapa yang sanggup lagi meremehkan si teri?


Suasana pagi yang syahdu di Teluk Bandar Lampung
Kemeriahan kota Teluk Betung dan Bandar Lampung.
Pulau Pasaran yang telah disesaki pemukiman. Sampai 'reklamasi' kecil-kecilan.
Teri nasi menjadi favorit Pulau Pasaran.
Teri disimpan di gudang jika belum betul-betul kering.
Dari teri, Fadli bisa meningkat rumahnya. Kesejahteraan khas Pulau Pasaran.


You Might Also Like

16 komentar

  1. ikan teri mah enak banget kalo dibin rempeyek.... uh sadap..... kalo dibikn sambal teri petai china makannya pake nasi jagung.... uh nambah berkali kali.... :D ikan teri si kecil yang luar biasa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama banget mas Sumarno. Teri juara untuk lauk yg sederhana tapi bisa menggugah selera. Beruntung, Indonesia punya banyak skali penghasil teri ya..

      Terima kasih udah berkunjung n komen.

      Salam.

      Hapus
  2. Kalau di Karimunjawa teri dibagi menjadi 3; Teri putih, teri seret, dan teri nasi. Entahlah kalau bahasa Indonesianya apa :-D
    Dulu sering banget ikut jemur teri. Oya kalau banyak kayak gitu Kucing malah males makan ikan. dia pengennya ikan yang sudah digoreng :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kyknya nama-nama teri tuh macem2 sesuai selera lokal ya. Paling terkenal sih pancen teri nasi.

      Kucing kalau bosan biasanya makan cumi2 kering. Nah ini yg bikin warga kadang sebel sama kucing. Cumi2 kering katanya sih harganya lebih tinggi,.

      Hapus
  3. usaha pengeringan terinya terlihat "bersih" menurut saya..dan tidak membuat saya berhenti untuk makan teri setelah melihat proses pengeringan/pengolahannya..
    suka dengan karya fotonya..kapan2 bolehlah saya dibimbing :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. termasuk mereka sadar lingkungan mas Anno. Mereka gak buang di laut limbahnya. Perairannya juga bersih. Salut untuk Pulau Pasaran. Terinya pun maknyus

      Hapus
  4. Baru tahu di Teluk Betung, Lampung ada bagian yang semenarik ini. Pemandangannya saat difoto juga nggak kalah keren dengan perairan di Lampung lainnya. Jadi kepingin makan nasi anget campur teri goreng buat ntar siang #slurppp :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wainih mas Halim malah lum mampir. Kirain udah tahu Pulau Pasaran.. Ke Pulau Pasaran bisa tuh sambil bawa nasi anget e mas.. :D

      Hapus
  5. Jadi kamu ngemil teri ama kucing ??? gimana rasa nya di temani kucing ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita satu piring e kak cumi. Saking banyaknya untung g rebutan.. gyahaha.. :P

      Hapus
  6. Saya aja yang orang Lampung malah belum pernah ke sana.. hehe
    Salam kenal Mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mas Admin.. eh ni Admin apa ya.. Pokoknya salam kenal deh..

      Klo saya ke Lampung lagi saya dikasih tempat2 menarik n tak terduga ya.. :D

      Hapus
  7. foto-fotonya kece badai

    #gakbolehmakanterikarenahipertensi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Bhay Benny.. *ikut-ikutan manggil kayak Bunda Intan..

      yaah sayang banget gak makan lagi teri. Eh tapi klo satu dua ekor masih lolos kan.. :)

      Hapus
  8. wahh ikan terinya di hargai 70rb perkilo, memang sepadan sih dengan rasanya yang enak..

    BalasHapus
  9. Boleh gak sih beli teri satu kilo aja di sini atau harus satu kardus? hehehe. Kemarin mau beli gak berani nanya :D

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK