Melebur Hening Curug Silancur

Agustus 25, 2013


Curug Silancur, Kebumen

Siapa sangka, alam Kebumen begitu murah hati dengan sajian lanskap istimewa perbukitan yang menawan rasa. Siapa sangka, dalam senyap suasana terpencil dusun Pujegan, Wadasmalang, Karangsambung yang asri terselinap sebuah permata yang membuat siapa melihatnya akan terpukau mesra. Siapa sangka, permata, Curug Silancur, akan memaksa kita jatuh cinta pada pandangan pertama yang tak terlupa sepanjang masa. Tatkala hadir di haribaan Curug Silancur, segala persangkaan harus enyah karena anugerah Tuhan ini adalah sebuah realita!  

Daryanto (52) tadinya tak menyangka. Bahwa tengara alam di kampungnya akan dicari oleh para pemburu keindahan dalam ruang kesunyian. Pada biasanya, dia merasa Curug Silancur sekedar air yang terjun demi melampiaskan fitrahnya bahwa air selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Kebetulan saja sang air menjumpai tebing setinggi 20 meter. Lalu ia terjunlah mencipta sebuah curug. Pria yang sehari-hari bertani ini pun menganggap Silancur semacam aliran sungai yang sudah sewajarnya.

Tapi, Curug Silancur akhirnya membuat dia perlu menyediakan waktu untuk memoles destinasi ini. Dia bersama beberapa warga secara mandiri membuka jalan ke lokasi meski sangat sederhana. Seadanya. Pinggang bukit yang curam pun diukir setapak tanah sejauh 200 meter yang tetap saja terjal karena mereka melakukannya hanya atas niatan merintis jalan. Sekedar memfasilitasi bahwa setapak ini berujung di muka Curug Silancur untuk mengantar pengunjung bertakzim padanya.

“Saya usulkan Silancur agar dijadikan tempat wisata desa tapi belum ditanggapi. Susah mengajak orang di sini untuk bergerak mengembangkan desa. Padahal, Silancur ini katanya sudah masuk koran.” ungkap Daryanto semangat dalam bahasa Jawa.

Tepat mentari berada di puncak hari, saya dan sahabat saya: @anasafifi tiba di dekapan Curug Silancur. Panas yang mendera langsung sirna oleh kepuasan bahagia bisa mencumbu panorama dan segarnya air yang menjadi salah satu hulu Sungai Kedungbener. 

Airnya masih alami, jernih. Adalah nikmat dunia tak terkira bisa membasuhkannya pada wajah yang tadinya dipeluh keringat dan debu. Seketika mata kembali membelalak. Ada gairah yang membuncah untuk bersemangat  merayapi kemolekannya.

Hadir di Curug Silancur sebenarnya melemparkan saya pada romantika klise sebuah panorama surgawi di sebuah lokasi yang sunyi. Sebuah tempat privat. Hanya kami berdua yang saat itu merambahi pesonanya. Sebagai suatu permata yang masih terjaga dari semarak publisitas, Curug Silancur hanya dikunjungi oleh manusia-manusia yang mau mengorbankan jiwanya menjangkau ruang terpelosok. Dari ibukota kabupaten, Kebumen, setidaknya 35 km menusuk ke utara, menyusuri aliran Sungai Kedungbener hingga Dusun Pujegan, Wadasmalang.

Saat itu adalah musim kemarau. Tidak begitu deras, air yang mengucur pada tebing vertikal yang kemudian tersambut bebatuan sentrifugal. Percikannya tak membuat badan kepalang basah di bawahnya. Meski begitu, guyuran air yang penad ritmis berhasil meningkahi keheningan suasana. Saya bayangkan, jika musim penghujan tiba, air Curug Silancur akan meningkat drastis yang menciprat siapa saja di kakinya menjadi basah kuyup.

Kawan saya @anasafifi sangat menyukai keheningan Curug Silancur. Semacam surga dunia baginya.

Curug Silancur dengan bunya yang tumbuh bersama rumput di tepi sungai.
Kolam genangan air yang jika dibersihkan cocok untuk berendam. Segar.
Terasering cantik di pedesaan Wadasmalang. Seperti Ubud dalam wujud yg lebih sederhana.


Saya terduduk di atas sebuah besar yang menghadap langsung pada Silancur. Sepertinya ia disediakan khusus untuk menyesap nuansa syahdu. Memang benar. Inilah panggung untuk melihat atraksi sempurna Curug Silancur. Bukan saja air mengucur yang jadi atraksi utama pada kawasan yang diapit dua bukit ini, tetapi kejutan tingkah dari para fauna penunggu lingkungan Silancur. Ini semacam keberuntungan karena niat saya hadir di sana semata-mata mencinta keagungan alam, bukan mencinta pada yang lain.

Saksikanlah kawan, ikutilah gerak mata saya. Seekor elang melukis langit yang berkanvas biru ceria dengan gerak gaharnya terbang berputar-putar. Matanya awas menyelidik mangsa sambil merentangkan sayapnya secara konsisten dalam jangka kala yang lama. Bukankah ini panorama langka yang hanya bisa dijumpai pada alam yang masih terjaga ekosistemnya? 

Tapi, ketakjuban paling nyata adalah saat seekor tupai bertingkah penuh canda mendekati tas dan jaket saya yang tergeletak di seberang tepian. Ekornya berkibas-kibas manja. Maju mundur melangkah. Menggaruk-garuk tanah. Dia seolah pamer bahwa ia adalah hewan periang yang pantas menjadi pusat perhatian. Ia dinanti berbuat sesuatu kepada tas saya, tapi dia malah memutuskan lari pergi. Bersembunyi pada lorong ilalang.

Alam Silancur juga diwarnai oleh kehadiran puluhan kupu-kupu kuning. Mereka asyik bermain. Hinggap bergerombolan pada sebongkah tanah ataupun sekuntum bunga liar di rerumputan. Tak bosannya saya memandang kepadanya. Mereka laksana penghibur yang awet membuka cakrawala kedamaian di tengah terik siang tapi menyejukkan.

Satu jam lebih, kami tercebur pada suasana hening Curug Silancur. Hingga akhirnya sepasang jejaka hadir menjadi pengusik keheningan kami di sana. Ah, ruang sunyi milik kami tak lagi terprivasi. Tak rela kami berbagi sepi. Kami pun memutuskan pergi. Beranjak kembali .

Mesti juga menjadi perhatian, bahwa sajian semesta sekitar Curug Silancur juga kaya dengan cita rasa lanskap yang memanjakan indera.  Alam deretan perbukitan Karangsambung terjalin harmonis antara keteduhan hutan pinus, hutan cemara, dan eksotisme sawah terasering yang mengukir lekuk perbukitan. Serasa melemparkan kami pada imajinasi Ubud Bali tapi dalam skala lebih alami dan apa adanya. Jelas, tak ada bosannya, saat memacu motor ke sana. Kami selalu dihibur oleh suguhan panorama memikat cinta.

Hanya saja, Daryanto mengharap pinta. Bukan uang lelah – untuk ini dia tidak meminta, saya inisiatif dan sukarela beri uang atas kebaikannya menunjukkan arah kepada kami, tapi sarannya lebih penting tentang kewaspadaan pada kendaraan yang ditinggal di pinggir jalan saat menuju lokasi Curug Silancur. Kadang berburu keindahan bisa melenakan kehati-hatian. Sesungguhnya di kawasan Curug Silancur belum ada tempat parkir dan tukangnya yang representatif. Kadang hanya hari Minggu saja ada yang menjaga.

“Sebaiknya kalau tidak ada yang jaga di jalan masuk Silancur, kendaraan di parkir di pertigaan Pujegan saja. Di situ, walau ditinggal sendirian pasti aman“, pesan Daryanto.

Daryanto memang orang kampung yang sangat peduli pada eksotika desanya. Dia memberi kami bonus keindahan. Ia menunjukkan sebuah curug lagi yang ada di kawasan Pujegan. Tak jauh dari pertigaan kampung. Curug itu bernama Curug Bebeg. Sesungguhnya curug setinggi 15 meter ini bukanlah air yang terjun, tetapi air yang merayap pada tebing miring yang sangat curam. Musim kemarau debit airnya sangat minim. Namun, kata Daryanto, jikalau mengucur deras, Curug Bebeg cukup menawan untuk disigi dan dinikmati.

Oh iya..? Baiklah. Saya penasaran untuk membuktikan ucapannya. Saya akan datang lagi ke Pujegan saat musim hujan. Terbuka gerbang jumpa lagi bersama Daryanto yang mana saya mesti menabung rindu sampai waktu terbaik ke Curug Bebeg tiba. Tapi, apakah jikalau saya kembali sudah terwujud pengelolaan wisata Curug Silancur dan Curug Bebeg? Kali ini, saya tak akan berprasangka. Biarlah waktu yang membuktikan... Dan, Daryanto pun tak terlalu yakin jua. 

Suasana damai yang membekap Curug Silancur. Cocok untuk pemburu ketenangan.
Air yang jatuh akan menyebar sentrifugal menghantam bebatuan. Eksotis.
Duduk di atas bebatuan besar. Berhadapan dengan Silancur. Sebuah panggung yang sempurna.
Aliran Sungai Kedungbener. Kaya dengan formasi batuan yang sarat informasi ilmiah.
Kupu-kupu yang suka bermain di sekitar keheningan Silancur
Terasering saat menuju ke Curug Silancur. Indah menawan.
Terasering unik yang mengukir alam Wadasmalang.
Jalanan terjal menuruni perbukitan untuk mencapai Curug Silancur.
Di tikungan inilah, petualangan jalan kaki menuju Silancur dimulai. Hati-hati untuk kendaraan yang diparkir.
Penampakan Curug Bebeg. Air mengalir lirih saat musim kemarau. Potensi yang mesti diungkap.
Tengara unik Curug Silancur. Sentrifugal.
Curug Silancur yang hening
Daryanto, warga Pujegan yang mengantarkan ke Silancur.
Curug Silancur mesti dikunjungi. Pesona tersembunyi Kebumen.

You Might Also Like

4 komentar

  1. bs minta kontak njenengan mas ? sy jg suka blusuk k curug2 kbumen, cmn minim info + ga kenal tpt, maklum perantau dr solo, skrg krja d kutowinangun. pngen jg tnya2 tpt2 daerahnya hehe. cp sy 085640683469. nuwun
    -angga

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah baguuus.. suka traveling ke Kebumen.. mantaaaaap..
      DI Kutowinangunnya di mana?? saya rumah gak jauh dari situ, mas Angga..

      Kalo mau kontak2an silakan main ke twitter atau FB saya aja.. :D

      Hapus
  2. Mas koq.foto2nya ga bisasditampilkan ya??

    BalasHapus
  3. wah mantap amit mas iqbal josh dah

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK