Memuji Cantik Sentani

Februari 20, 2014

Danau Sentani. Cantik bersavana

Lekuk-melekuk bebukitan yang dihampari permadani savana kuning menghijau ini mendekap sayang sang Danau Sentani yang panjang nan luas membiru. Seperti sewujud sang naga yang lestari mendiami pesisir utara tanah Papua. Sepetak sisinya, di utara, menjulang dengan gagahnya Gunung Itfar bersama serangkaian pegunungan Cycloops yang sarat nuansa hutan tropis menghijau. Samudera Pasifik pun samar-samar terpandang membelakangi pegunungan Cycloops sekaligus membatas cakrawala.

Artinya, sebentar lagi pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi akan mendarat di Bandara Sentani yang terletak di tepian Danau Sentani. Lelah 8 jam perjalanan di angkasa pun langsung sirna begitu saya tak kuasa tertawan rasa melihat panorama danau terbesar di Papua ini, mulai pertama terlihat dari balik saput awan hingga mendarat dengan selamat.

Akhirnya! Setelah bertahun-tahun mendamba, saya bisa menjejakkan kaki di bumi Papua untuk pertama kalinya. Seperti paham, Danau Sentani secara sempurna menyambut saya seperti seseorang yang dinanti bertahun-tahun. Begitu tahu saya hadir, dia langsung ramah mengucapkan ‘Selamat Datang’ dengan kemolekannya yang tiada tara.

Jikalau bukan karena tugas menjadi fasilitator keuangan daerah dari lembaga donor asing, saya tiada sabar ingin langsung menggerayangi kemolekan Danau Sentani. Saya pun menunda dulu kegairahan menyigi pesona Sentani selama 6 hari ke depan. Terlebih dulu saya harus melaksanakan amanah di Kota Jayapura.


Danau Sentani dipandang sebelum mendarat di Bandara Sentani
Bandara Internasional Sentani. Pintu gerbang di tanah Papua. Di seberang tampak G. Itfar yang gagah menjulang.
 
Sebagian perjalanan dari Bandara Sentani ke Jayapura sejauh 33 km akan menyisir tepian Danau Sentani. Jejalanan mengikuti lekuk batas perairan dengan perbukitan. Di sebelah kanan  Danau Sentani, di sebelah kiri perbukitan savana, dan langit biru di atas begitu cerah memayungi. Begitu kontras, makin meneguhkan keindahan Sentani. Saya pun tak bosannya memandang kanan kiri bergantian. Hingga di Waena, saya pun harus berpisah dulu dengan Danau Sentani.

“Hey Sentani cantik, sampai ketemu enam hari yang akan datang. Saya janji!” ungkap saya dalam hati seperti menenangkan rindu dengan sang kekasih.


Mengakrabi Kampung Doyo Lama

Senjakala sudah sempurna beralih pada malam saat saya tiba di Kampung Doyo Lama, enam hari kemudian. Saya diantarkan oleh kawan-kawan dari UNIYAP Jayapura. Kami langsung menuju rumah Pak Silas Pangkatana, seorang ketua kampung. Kawan saya, Hafid, menyarankan kalau ke Sentani wajiib ke Kampung Doyo Lama dan atas kebaikannya saya dihubungkan dengan Pak Silas. Rencananya saya menginap semalam di rumah Pak Silas Pangkatana.

Kampung Doyo Lama adalah salah satu dari 24 desa yang bertengger mengeliling Danau Sentani. Lokasinya di tepi sebelah barat Danau Sentani, tepatnya di Distrik Waibu, Kab. Jayapura. Dari kota Sentani sekitar 7 km. Kampung Doyo Lama dikenal sebagai kampung tua yang memegang teguh tradisi asli orang Papua. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharian menjadi nelayan. Di kampung Doyo Lama juga terdapat situs Megalitikum Tutari yang ditengarai telah berusia  ribuan tahun. Esok paginya saya memang berencana bertakzim ke Tutari.  

Sepenggal senja di pinggir Danau Sentani dalam perjalanan dari Jayapura ke Doyo Lama
Saya dan kawan-kawan UNIYAP Jayapura disambut baik oleh Mama Kepala Kampung. Suasana langsung akrab.

Istri Silas Pangkatana atau lebih dikenal sebagai Mama Kepala Kampung dan Beto, putranya menyambut  saya di depan rumah. Pak Silas sedang ada urusan di Jayapura sehingga baru pulang malam. Saat itu, kondisi rumah sedang dibangun sehingga kami dijamu di rumah sementara yang berada di samping rumah aslinya.

“Kalau ke Doyo Lama, pertama harus makan pinang dan sirih dulu. Adatnya, pinang dan sirih sebagai ungkapan persahabatan.” pinta Mama sambil menawarkan pinang dan sirih.

Saya pun harus makan pinang dan sirih. Ini berarti pertama kalinya saya mencoba. Meski dulu pernah di Timor dan Flores dan diajak juga makan pinang dan sirih, saya bisa menolak  karena ada kawan 
saya yang bisa mewakili. Tapi sekarang tidak bisa, saya harus ikut makan pinang dan sirih.

Baiklah saya coba. Saya ternyata ketagihan. Satu kali tidak cukup, dua juga belum.  Akhirnya saya menginang dan menyirih sampai lima kali. Rasa manis dan sepet terasa nikmat berkelindan.  Begitu pinang dan sirih dikunyah lalu digigitlah kapur. Tetiba mulut saya berubah merah menjingga. Setelah itu, saya membuang ludah. Buah pinang dan batang sirih tidak ditelan, tetapi cukup air sarinya yang diambil. 

“Jangan terlalu banyak kalau belum biasa, bisa pusing sampai mabuk.” saran Mama.  

Memang benar. Dengan media pinang dan sirih lantas obrolan kami lancar. Kami langsung berbaur dalam harmoni kisah orang Doyo Lama. Mama lalu menunjukkan dua buah batu yang menjadi mas kawin pernikahan antara dia dengan Pak Silas. Batu bagi orang di sekitar Sentani pada khususnya dan di Papua pada umumnya, menjadi benda terhormat untuk mas kawin pernikahan. Saya memegang batu itu dan mengusap permukaannya begitu halus. Sekarang pasangan ini dikaruniai dua orang anak. Keluarga Pak Silas juga mengangkat seorang anak. 

"Ritual" makan pinang, sirih dan kapur. Sarana pemantik keakraban dan persaudaraan di Doyo Lama, Papua. Nikmat sekali..
Kawan saya, Martha, senang berpose dengan batu yang menjadi mahar kawin keluarga Silas Pangkatana

Malam kian larut dan Pak Silas telah tiba di rumah. Obrolan menjadi kian meriah. Pak Silas berkisah bahwa Doyo Lama yang ditempati saat ini merupakan perpindahan kelima dari kampung orang Doyo. Dulu orang Doyo menempati daerah Warkibo, Soedoa, Dobongkonoare dan Pongkonoare yang semuanya di tepi Danau Sentani. Alasan perpindahan karena tetua adat melihat ada asap di suatu tempat, tapi setelah didekati tidak ada orang yang membakarnya.

“Asap itu semacam menjadi petunjuk lokasi untuk kampung baru orang Doyo.” Jelas Pak Silas

Tak terasa bincang ramai kami harus berpindah ruang. Pertandingan final Piala AFF U-19 antara Indonesia vs Vietnam sudah dimulai. Menonton sang Garuda Muda beraksi dari ujung Indonesia jelas berbeda rasanya dengan di Jawa, pusat Indonesia. Tetangga-tetangga Pak Silas turut bergabung karena tak banyak di Doyo Lama yang memiliki televisi.

Setiap kali maju menyerang, penonton berteriak gempita. Tentunya dalam bahasa setempat. Saya tiada mengerti. Jikalau gagal serangan, suara makin riuh lagi. Umpatan khas Papua sesekali juga muncul.  Ternyata Merah Putih masih ada di dada orang Papua jika tentang sepakbola. Meski kalau menurut Bernard Meteray – sejarawan Papua, bahwa orang Papua itu memiliki nasionalisme ganda: nasionalisme Papua yang mengakar dan nasionalisme Indonesia yang coba ditanamkan.

Akhirnya! Kemenangan menjadi milik Indonesia melalui drama adu penalti yang menegangkan.  Merayakan kemenangan bersama orang Doyo Lama seperti memberangus jauhnya jarak di antara kami. Kami sama-sama merasa memiliki kemenangan Indonesia, bahwa kemenangan mereka orang Papua sama juga dengan kemenangan saya orang Jawa. Melebur jadi satu, kebanggaan pada Garuda Muda Indonesia!

Kini saatnya beranjak ke ruang mimpi. Melibas malam untuk menyongsong pagi. Sebelum mata terpejam, saya sempatkan buka jendela dan pandang menerawang ke arah Danau Sentani. Sinar rembulan menjelang purnama begitu terang sehingga cukup temaram mencahayai Sentani. Suasana Kampung Doyo Lama pun mensunyi. Sesekali suara jangkrik sekedar malas membunyi. Ah, begitu  hening malam ini. Saya pun larut, sejenak masyhuk berkontemplasi. Tapi ingat, tak boleh lama-lama demi petualangan esok hari.   

Malam hening di tepi Sentani. Berhiaskan purnama sempurna. Ah, begitu indahnya... Saya pun begitu rindu suasana ini.

Suasana pagi di Doyo Lama. Begitu penduduknya merajut harmonis dengan Danau Sentani.

Bocah Sentani yang tampak malu-malu saat saya memintanya dipotret. Tinggal di atas rumah panggung di tepi danau.
Membiru. Menghijau. Berlekuk-lekuk. Betapa cantiknya Danau Sentani.


You Might Also Like

8 komentar

  1. sumpah.. keren banget om..airnya jernih bget tu kayaknya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiiih kak Sobat Petualang atas kunjungan dn komennya..

      Betuul, airnya msih jernih.. Bening apalagi pas musim kemarau saat saya datang.. :)

      Hapus
  2. nama bandaranya salah tuh, DEO itu di sorong mas, bukan di sentani

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiih mas atas koreksinya.. :) sudah saya koreksi..

      Hapus
  3. mas, gambar-gambarnya tajam sekali, pakai kamera apa? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya pake kamera prosumer Olympus XZ-1.. agak lawaas tapi lumayanlah untuk jepret-jepreet,,
      makasih kak indah udah main ke tulisanku..

      Hapus
  4. Danau sentani dengan air birunya, OMG kereeenn bangett tuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuuul kak Ainun.. airnya membiru dan kadang bergelombang, seperti di lautan.. warnanya kontras dgn savana menghijau.. cantiiikk..

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK