Hidup dari Kopra

Mei 04, 2014

Kopra, komoditas penghidupan warga Ende

Hamparan pepohonan kelapa begitu meriah tatkala kami mulai memasuki daerah Nangapanda, selepas Kota Ende. Tanah yang ‘katanya’  tandus khas Flores ternyata begitu menghijau dengan banyaknya nyiur melambai-lambai. Nyiur tumbuh di dataran sempit di batas perbukitan Ende yang curam dengan Laut Sawu yang ramai bergelombang. Meski sempit, jumlah pohon kelapa di sini melimpah sehingga daerah ini terkenal sebagai penghasil kopra.

Sejenak kami berhenti di dekat muara sungai Nanga Ba’a. Kami tertarik dengan aktivitas warga yang sedang membalikkan tempurung kopra yang dijemur. Siang itu, awan mulai menggelap padahal sebelumnya terik siang begitu kuat memancar. Perangai alam seperti ini sudah biasa di Flores, tak terkecuali di Ende. Husein Mahmud (42) dan karyawannya yang sebagian adalah keluarganya, saat itu pun berlomba dengan datangnya hujan. Jangan sampai kopra yang sudah dikeringkan sesiangharian harus basah kembali terbasuh hujan.

Tapi mereka tetap dengan senang hati didatangi kami, tetap girang ditanyai kami.

“Kopra jadi penghasilan utama kami sekeluarga. Kami hidup karena kopra” ungkap Husein yang tengah bekerja sambil menggendong putranya, Mustofa.

Dalam menjalani usahanya, Husein mengumpulkan buah kelapa dari kebunnya sendiri. Namun sebagian besar dia mendapatkan kelapa dari penduduk di Nanga Panda. Untuk memenuhi pasokannya, dia juga harus mencari kelapa di penduduk yang berada di tengah hutan.  Benar-benar usaha keras untuk memenuhi pasokan kopra.

Kelapa-kelapa ini lalu dibelah jadi dua. Selanjutnya batok-batok kelapa ini dijemur, dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah itu, kopra yang kering lalu dibersihkan dan dipisahkan dari sabutnya. Akhirnya, kopra ini pun siap dijual kepada pengepul kopra di Ende. Nantinya dari Ende akan dikirimkan ke Surabaya untuk diolah di pabrik pengolahan kopra.

Pak Husein dan Mustofa, putranya, hidup dari kopra. Sedang membalik-balik tempurung karena akan hujan.
Rutinitas sehari-hari. Demi kehidupan yang lebih berarti.

Usaha kopra Husein berprospek cukup bagus. Per satu kilogram kopra yang kering dia bisa mendapatkan pendapatan sekitar Rp 60 ribu. Coba kalikan saja, sebulan dia minimal bisa menjual 1 kwintal kopra. 

“Lumayanlah mas, bisa cukup menghidupi sekeluarga.”  ungkapnya cerah menyiratkan dia bahagia dengan pekerjaannya.

Hanya saja, Husein bisa jadi perlu khawatir. Di muara sungai Nanga Ba’a saat ini mulai dilakukan pertambangan pasir besi. Jelas, tambang pasir besi dilakukan oleh perusahaan bermodal besar. Sedangkan usaha kopra Husein adalah usaha keluarga. Kawasan pengeringan kopra Husein berada di dekat kawasan pasir besi. Akankah usaha kopranya bisa bertahan dari penggusuran? Marilah biar waktu yang membuktikan.

Kecuali jika pemerintah daerah melindungi usaha-usaha kecil seperti yang dilakukan Husein ini.
Akhirnya, hujan pun turun mengguyur. Kami lekas berpamitan menuju kembali ke mobil. Akhirnya, Husein dan karyawannya pun kalah. Mereka belum semuanya berhasil menutup batok kopra. Mereka pun dideras oleh tumpahan air dari langit.

“Ah, biarlah. Besok juga masih ada panas matahari. Besok bisa dikeringkan lagi. “ungkapnya tenang tak ada nuansa kecewa. Untunglah. Mereka tak menyalahkan kami yang sejenak ‘mengganggu’ aktivitas mereka. Kami pun lalu saling bersayonara tepat saat hujan mengguyur deras.



Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014


Di antara jalan Ende menuju Nanga Baa. Menyusuri tepian pantai.
Tim Adira FOI Copa de Flores berfoto bersama Pak Husein Mahmud dan keluarganya. Senyum ceria.
Berada di tepi laut. Di dekat kawasan tambang pasir besi. Terancam.

You Might Also Like

1 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK