Ketangguhan Benteng Otanaha

Oktober 20, 2014

Benteng Otanaha menjadi pesona yang sepaket dengan Danau Limboto.

Sudah lima abad berdiri, Benteng Otanaha tak kehilangan sedikitpun aura kekokohannya. Wajahnya yang kusam menghitam malah menyiratkan ketangguhannya melintasi zaman. Otanaha menjadi tengara bersejarah kebanggaan masyarakat Gorontalo. Bertengger di atas perbukitan yang memeluk mesra Danau Limboto, Benteng Otanaha menawarkan ruang untuk mengenang sejarah sambil menikmati lanskap menawan alam Gorontalo.

Saya ingin diceritakan sejarah. Pada awal abad ke-16, kapal Portugis terdampar ke Gorontalo karena diserang bajak laut di Teluk Tomini. Daratan Gorontalo disinyalir masih berupa genangan air yang terhubung dengan laut sehingga memungkinkan kapal besar masuk ke Danau Limboto. Portugis lantas bekerja sama dengan Kerajaan Ilato yang kala itu sedang berkuasa di Gorontalo. Mereka bersepakat membuat pakta pertahanan dari serangan musuh, terutama dari bajak laut, dengan mendirikan benteng Otanaha pada tahun 1522.

Sayang, kebaikan Raja Ilato disalahgunakan oleh Portugis. Setelah benteng Otanaha berdiri, Portugis malah berniat untuk menguasai daerah Gorontalo. Raja Ilato beserta rakyat Gorontalo pun marah dan bersatu untuk mengusir Portugis dari bumi Gorontalo. Penyerangan ini dipimpin oleh Ndoba dan Tiliaya, putra raja Ilato. Portugal berhasil hengkang dari Gorontalo, benteng pun ditinggalkan dan tak digunakan.

Beberapa tahun kemudian benteng ini ditemukan oleh Naha. Naha adalah putra dari Raja Ilato yang saat terjadi perang dengan Portugis sedang melakukan pengembaraan. Makanya, benteng ini lalu dikenal sebagai Otanaha, berasal dari kata ‘Ota’ yang berarti benteng dan ‘Naha’ yang berarti penemunya. 

Selain Otanaha sebagai benteng utama, terdapat juga dua benteng lain yakni Otahiya dan Ulupahu. Otahiya berasal dari nama istri Naha, yakni Ohihiya. Ulupahu merupakan nama dari putra Naha. Kisah-kisah sejarah Benteng Otanaha ini selanjutnya digunakan sebagai benteng-benteng pertahanan raja-raja di Gorontalo dalam menghadapi perlawanan musuh.

Pada masa kini, saya hadir di Benteng Otanaha dalam sebuah perjalanan untuk mengenang sejarah bangsa tatkala berkunjung di Gorontalo. Lokasi Otanaha tidaklah jauh dari pusat kota Gorontalo. Benteng Otanaha berlokasi di kelurahan Dembe I, kecamatan Kota Barat, Kabupaten Gorontalo, tidaklah jauh, sekitar 8 km dari pusat kota Gorontalo. Benteng Otanaha menjadi destinasi andalan perjalanan di Gorontalo.

Saya menjangkau Benteng Otanaha dengan menyewa bentor, yakni becak yang dimodifikasi dan dipasang mesin bermotor. Bentor ini sangat mudah ditemui di Kota Gorontalo yang memiliki peran seperti taksi di kota-kota besar. Saking banyaknya bentor, kendaraan ini pun turut mewarnai identitas kota. Gorontalo lantas dikenal juga sebagai Kota Bentor. Dengan menggunakan bentor yang begitu lincah melintasi jalanan Gorontalo yang belum ramai ini, saya bisa menikmati kekhasan dan sensasi moda transportasi khas Gorontalo.


Tangga menuju Benteng Otanaha. Cukup menguras tenaga.
Pintu Benteng Otanaha yang masih kokoh meski berusia lima abad.
Halaman tengah Benteng Otanaha.

Sesampai di gerbang wisata, ada dua pilihan menuju benteng yang berada di sebuah puncak bukit. Berjalan menaiki tangga atau menggunakan transportasi sampai tempat parkir di bawah benteng. Saya memilih berangkat dengan naik tangga dan pulangnya minta dijemput  bentor di samping benteng. Kenapa? Dengan berjalan menaiki anak tangga yang berjumlah 348 ini, saya perlahan menikmati pesona lanskap Limboto sekalian mengolahragakan badan.

Jangan khawatir akan kelelahan. Saya tidaklah perlu buru-buru karena ada empat titik persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan I terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan II terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan III terdapat 53 anak tangga, dan ke persinggahan IV memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga lagi. Saya manfaatkan di tiap titik persinggahan untuk rehat sejenak sambil menghirup udara segar di kawasan yang dikelilingi perbukitan hijau dan menyesap indah panorama Limboto.

Saya disambut oleh pintu masuk benteng yang berwujud lengkungan begitu tiba di puncak. Melalui pintu itu, saya memasuki halaman tengah benteng Otanaha yang berbentuk lingkaran penuh yang sudah berhamparkan rerumputan. Ukuran benteng Otanaha ini tidaklah besar dan hanya berdiameter sekitar 10 meter. Tinggi dinding benteng sekitar 2-3 meter dan tebalnya sekitar 1 meter.

Uniknya, benteng dibangun dari susunan batu yang dilekatkan dengan perekat berbahan campuran kapur dan putih telur burung maleo. Burung Maleo ini adalah burung khas Sulawesi dan keberadaannya sekarang sudah sangat langka dan dilindungi. Kontruksi bangunan demikian berlaku juga untuk Benteng Otahiya dan Ulupahu. Kedua benteng ini terletak di dataran yang lebih rendah. Dari arah Danau Limboto, Otahiya berada di belakang Otanaha berjarak sekitar 40 meter, sedangkan Ulupahu di depan Otanaha berjarak sekitar 200 meter. Dari Otanaha, saya bisa melihat dua benteng tua ini dengan jelas.

Menyaksikan lanskap dari Benteng Otanaha, melemparkan saya pada realitas daerah Gorontalo yang begitu lapang. Langit biru dengan awan berarak dibenturkan cakrawalanya oleh perbukitan yang di kakinya dihiasi pemukiman dan persawahan yang bergantian anyam menganyam panorama. Seluruh panorama lantas bersatu padu untuk mendukung atraksi utama yakni Danau Limboto yang tampak begitu luas dengan ‘lukisan’ petak-petak hijau bersebaran di tengahnya.   

“Sayangnya, petak hijau itu adalah enceng gondok. Sekarang Danau Limboto banyak sekali enceng gondok dan mengalami pendangkalan hebat. Coba kalau bersih, dari Benteng Otanaha, Danau Limboto akan terlihat makin cantik.” ungkap Mustofa, kawan saya asli Gorontalo.

Ya, Benteng Otanaha juga setia bercokol menjadi saksi bisu pendangkalan Danau Limboto. Selama puluhan tahun lamanya Danau Limboto mengalami sedimentasi dan erosi hebat akibat tidak terjaganya alam di Gorontalo.Terlebih Danau Limboto menjadi muara lima sungai besar di Gorontalo. Dari atas Benteng Otanaha, saya pun berharap dan berdoa agar danau terluas di Gorontalo ini bisa kembali lagi keindahannya dan pulih fungsinya sebagai pusat tangkapan air di Gorontalo.

Saya menikmati Otanaha tatkala hari sudah menjelang siang. Panorama tak tersuguhkan maksimal. Saran teman saya, menikmati Benteng Otanaha paling bagus adalah saat pagi hari. Cuaca Gorontalo yang terkenal terik ini bisa membuat kulit gosong bagi yang hadir saat siang di benteng yang tak beratap ini.

Momen pagi juga sangat bagus untuk menikmati lanskap sebuah benteng kuno yang berhiaskan panorama ‘misty’ Danau Limboto yang menguning ditimpa baskara pagi. Pagi hari di Otanaha adalah ruang bahagia bagi para penikmat fotografi. Untuk yang sekedar mendamba penyegaran kehidupan, semarak kicauan burung-burung juga turut mewarnai suasana syahdu Benteng Otanaha kala pagi hari. Sambil dihibur mereka, kita bisa menghirup dalam-dalam udara segar khas perbukitan sambil menikmati panorama alam. Ini sungguh momen yang menyenangkan dan menenangkan.

Saya menyadari dan coba membuat kesimpulan pribadi. Bagi saya, jika ada sebuah benteng yang memadukan kisah bersejarah dengan suasana alam yang kaya rasa, Benteng Otanaha adalah pilihan terbaik untuk menikmati semuanya. 

Benteng Ulupahu dan panorama luas pemukiman dan pegunungan yang menghiasi dataran Gorontalo.
Benteng Otahiya yang lebih menjorok ke dalam perbukitan belakang Otanaha. Sama saja kokoh.
Panorama Danau Limboto dari Benteng Otanaha.
Warga sedang menuju karamba miliknya di tengah Danau Limboto. 

You Might Also Like

2 komentar

  1. makasih atas infonya begitu membantu saya
    dalam mengerjakan tuga

    BalasHapus
  2. usia bentengnya sudah sangat tua tapi masih berdiri dengan sangat kokoh..

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK