Gebyar Ekowisata Pasar Pereng Kali Kemit

Juli 17, 2018



Rimbun pekarangan bambu yang biasanya dikungkung sunyi, pagi ini ditingkahi kemeriahan ratusan warga. Geliat interaksi kegembiraan menyebar rancak di sekujur lahan teduh di tepian Kali Kemit yang bersejarah. Mereka sedang berpesta rakyat dalam perhelatan Pasar Pereng Kali Kemit Desa Grenggeng. Dengan guyub rukun, mereka sedang merajut anasir-anasir sejarah, budaya, sumber daya, ekonomi dan kebahagiaannya dalam bingkai lokal desanya.

Bukan muluk-muluk ihwal awal penyelenggaraan Pasar Pereng Kali Kemit. Betul, Pasar Pereng Kali ini begitu menarik jikalau mengarus pada tren destnasi digital yang digadang-gadang pemerintah. Benar, Pasar Pereng Kali sungguh ‘instagramable’ jikalau menunjuk pada visualisasi lokasi. Jujur, ini lebih soal tentang inisiatif warga yang ingin mendekatkan lagi takdirnya pada Kali Kemit yang bersejarah. Bagusnya, sebelum berteriak lantang tentang destinasi wisata, masyarakat awam perlu dirangkul tentang kesadaran sumber daya daerahnya.

Tahukah kita? Kali Kemit punya halaman penting dalam buku sejarah awal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sungai ini bukanlah sungai besar dan panjang di lanskap Pulau Jawa. Riwayat airnya hanya sejauh sekitar 49 km. Namun, Kali Kemitlah yang menjadi garis demarkasi paling barat dari NKRI yang beribukota di Yogyakarta dalam Agresi Militer I tahun 1946-1947. Sebelah baratnya adalah wilayah Hindia Belanda - Indonesia yang secara ‘de jure’ dimiliki Belanda. Jejak historis ini diabadikan pada monumen kecil di atas Jembatan Kemit yang melajur Jalan Selatan Jawa, yang tampaknya tak terlalu diperhatikan oleh para pelintas jalan.

Kali Kemit juga punya hikayat sosial yang sumurung bagi masyarakat Grenggeng. Bagi warga Grenggeng, Kali Kemit menyediakan kesuburan tanah dengan endapannya yang terus berlangsung selama jutaan tahun. Kali Kemit turut membentuk tradisi-tradisi yang hidup subur di masyarakat semacam Ebleg, Jamjaneng, Karawitan dan juga DNA tradisi menganyam pandan dari generasi ke generasi. Grenggeng merupakan sentra kerajinan pandan terkemuka di Indonesia, yang kisahnya telah sohor berlangsung berpuluh-puluh tahun.







Bermeja-meja lapak pedagang telah tersaji dengan panganan-panganan setempat lengkap dengan para pengunjung yang mengerumuninya. Pedagang ini disebar di bawah naungan rumpun-rumpun bambu. Kursi-kursi bambu bagi pengunjung yang ingin mengaso dan menikmati suasana juga tersedia di beberapa sudut. Bagusnya, tersedia pula area bermain anak lengkap dengan buku, mainan tradisional dan egrang bambu.

Di pojok arena mendekat kali, arena kesenian ebleg Turonggo Laras Budoyo menampilkan pertunjukannya. Sebocah balita dengan jaran kepangnya mengikuti irama bersama hentakan kakinya yang mantap. Tampaknya bocah ini adalah atraksi tak terduga yang menjadi semacam representasi regenerasi tradisi di Grenggeng. Sajian utama ebleg kemudaian tampil menghentak yang lekas dikerubung masyarakat untuk menyaksikannya. Kesenian yang tumbuh di daerah Kebumen ini membuat udara segar pagi menemukan jodohnya untuk membuai kemasyhukan pengunjung di kolong hutan bambu.

Dalam iringan klonengan gamelan, saya menikmati kemeriahan Pasar dengan mengudap panganan lokalnya. Saya tertarik menjajal gondomono, gesrek, dan putu yang sering disebut-sebut warga lokal sebagai panganan khas Grenggeng. Ada yang tahu gondomono? Panganan goreng dari singkong yang dibulat-bulat dan dicocol dengan sambal kacang signatur Grenggeng. Kalau gesrek, adalah semacam sawut yang berasal dari parutan singkong dimana rasanya tak terlalu manis. Adapun putu adalah nasi singkong yang pembuatannya secara dikukus. Saya padankan putu ini dengan oseng gesek teri dan mencecap kenikmatan dan kekenyangan yang hakiki. Sesungguhnya, boga-boga berbahan singkong ini perlu digalakkan sebagai pilihan nutrisi pengasup karbohidrat yang lebih berkonteks lokal.

Kudapan Gondomono nikmat dicocol sambal kacang.
Gesrek, gurih dan bikin kenyang.
Putu berlauk sambal oseng teri. Nikmat di bawah rimbun bambu
Ibu-ibu pedagang sekaligus pemeriah Pasar Pereng Kali Kemit. 
Ada keunikan yang jadi signatur Pasar Pereng Kali Kemit. Di pasar ini, saya tak membeli kudapan-kudapan ini dengan uang, melainkan dengan mata uang kepeng yang berasal dari potongan complong. Complong adalah lembar anyaman pandan yang menjadi bahan setengah jadi dalam alur proses produksi kerajinan pandan. Betul-betul, kepeng complong ini mengusung kekhasan Grenggeng sebagai desa yang tumbuh dari kerajinan pandan. Hanya saja, di Pasar Pereng Kali Kemit ini, saya belum berjumpa dengan rupa kentara complong dan kerajinan pandan sebagai identitas Grenggeng. Padahal, complong dan kerajinan pandan layak berharmoni dengan fasad rimbunan bambu.  


***

Hajatan Pasar Pereng Kali Kemit rencananya akan dihelat setiap selapanan alias 35 hari sekali dalam penanggalan Jawa. Penyelenggaraan pertama tampaknya sukses dalam skala lokal yang bersesak hadirin dan hadirat masyarakat setempat. Ajang berikutnya, Pasar Pereng Kali Kemit berpotensi mendecak kehadiran para pengunjung se-Kebumen, lalu meregional dan bukan tidak mungkin menasional. Pasar Pereng Kali Kemit sesungguhnya menjadi bagian ekowisata yang sedang digalakkan oleh masyarakat Desa Grenggeng, Karanganyar, Kebumen.

Ekowisata Grenggeng telah melangkah dengan wisata susur Kali Kemit yang berkelindan dengan narasi sejarah dan keasrian suasana. Potensi wisata kerajinan pandan dengan pengalaman mendekat pada realitas pengrajin juga bisa menjadi daya tarik ekowisata Grenggeng. Bagi para penggandrung wisata religi, Grenggeng terberkati dengan keberadaan makam Syekh Baribin yang merupakan putra dari Brawijaya IV. Dengan potensi apik ini, ekowisata Grenggeng patut bergeliat lebih semarak ke depannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat.















You Might Also Like

6 komentar

  1. Saat-saat seperti ini adalah saat munculnya panganan yang mungkin sudah dianggap punah. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, daripada tertarik dengan penampakan yg fotoable, mending makan-makan jajanan lokal.. kenyang...

      Hapus
  2. putu kalau di tempatku (banjarnegara) nyebutnya "krekel" dulu sih nanan nasi jenis ini dalam jumlah besar dan dimakan di atas tampah rame2. kalau gondomono mirip "ondol" sih dan memang cocok dimakan sama pecel...

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah enak banget mas Hendi. Aku jadi pingin mencoba krekel. Memang makanan lokal kita sangat beraneka ragam. Harus sering kita ekspolrasi..

      Hapus
  3. Baru kali ini tahu tentang kudapan gondomono dan gesrek, sepertinya patut di coba...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo mas Yasir, harus mencoba panganan seperti ini. Nanti bisa di Pasar Pereng Kali tanggal 19 Agustus besok MInggu mas. Monggo dikunjungi

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK