Jelajah Toraja (VI), Kete' Ketsu: Miniatur Asli Toraja yang Mistis Eksotis

Februari 21, 2013

Kete' Ketsu, wisata terkenal di Tana Toraja

Belasan mobil menyesaki tempat parkir. Belasan motor di seberang berjejalan. Berhimpitan dalam minimnya ruang. Begitulah pandangan pertama ketika saya memasuki areal Kete’ Ketsu. Kontras dengan imajinasi yang dari tadi saya nikmati. Ini benar-benar tempat wisata!

Loket tiket menjadi penjaga gerbang jalan setapak menuju Tongkonan Kete’ Ketsu. Deretan toko souvenir memanjang di samping kiri. Seperti sang pengiring saya melangkah. Toko-toko ini menjual beraneka Tau-tau mini, ukiran Toraja, kaos, lukisan, kalung manik-manik, dan lain-lain. Di depan pandangan, Tongkonan Kete’ Ketsu terlihat anggun nan menawan. Sawah menghijau memeluk jazirah Tongkonan yang di tepiannya tumbuh nyiur-nyiur. Dibelai angin semilir, nyiur itu melambai-lambai selaksa mengundang saya untuk lekas menghampirinya.

Ah, tidak perlu cepat-cepat. Tidak perlu buru-buru. Saya masih menikmati suasana. Saya sedang ingin memandang ke seberang sisi kanan sawah. Deretan menhir menyembul dari permukaan miring tanah. Berbagai ukuran bebatuan megalitik menghias dengan dikelilingi hijaunya rerumputan. Mereka telah berdiri melintasi usia ratusan tahun. Menjadi penonton setia lalu lalangnya orang-orang yang berkunjung ke Kete’ Ketsu.

Tibalah saya di lokasi Kete’ Ketsu. Jajajaran tongkonan besar berhadap-hadapan dengan Alang Suro atau lumbung padi. ‘Mereka’ dipisahkan oleh halaman kerikil yang disertai jalan setapak di depan Tongkonan. Di sekitar Tongkonan dan Alang Suro tumbuh taman dan rerumputan yang menghias. Lokasi ini benar-benar rapi dan terawat. Benar-benar standar lokasi wisata.

Tapi tunggu. Sepertinya saya akrab dengan pemandangan ini. Ingatan saya pun meluncur ke masa silam. Meraba-raba di labirin-labirin otak. Oh iya. Waktu SD saya pernah dikirimi paman saya dari Makassar. Sebuah kartu pos bergambar Kete’ Ketsu. Persis tergambar di kartu pos seperti apa yang sekarang saya saksikan. Memori saya seperti sebuah legitimasi. Kawasan Kete’ Ketsu sudah sejak dulu sebagai lokasi paling favorit wisata Toraja.
   
Kete' Ketsu yang seperti pada kartu pos. @iqbal_kautsar
Menhir yang menyembul di daratan miring rerumputan. @iqbal_kautsar
Kete’ Ketsu adalah sebuah potret lengkap untuk menyaksikan khasanah tradisi Toraja yang utuh. Dan juga menjadi cara singkat. Kita seperti dipertontonkan sebuah miniatur Toraja di tempat asalnya. 

Kete’ Ketsu menawarkan rumah Tongkonan berusia ratusan tahun lengkap dengan Alang Suro di hadapannya. Ada juga kubur gantung Toraja tua yang bernuansa eksotis dan mistis. Di sekitar Kete’ Ketsu, terdapat pula menhir-menhir yang tegak menjulang di dataran rerumputan. Pemandangan Kete’ Ketsu makin menawan tatkala dikepung persawahan dan perbukitan yang harmonis berpadu. 

Potret tradisi tak kalah lengkapnya. Masyarakat Kete’ Ketsu dikenal sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat dan istiadat warisan leluhurnya. Serangkaian ritual dan upacara adat masih teguh dipertahankan oleh kampung yang berada pada Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara. Dari sisi kerajinan, Kete’ Ketsu terkenal dengan seni ukiran bambu, seni pahat, seni lukis dan kerajinan tradisionalnya. Kerajinan pahatan Kete’ Ketsu begitu unik dan rumit yang diwariskan turun temurun.

Saya diajak Basho masuk ke dalam salah satu Tongkonan. Menaiki tangga. Sesampai di dalamnya, dominasi kayu dan bambu memenuhi bahan-bahan perabotan. Saya kini berada pada bagian Sali. Ruangan ini berlokasi pada bagian tengah Tongkonan. Sali berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, sanitasi dan dapur. Apabila ada anggota keluarga yang meninggal, ruang Salidigunakan sebagai tempat meletakkan orang mati.

Pada Tongkonan, terdapat juga ruang Tangalok dan ruang Sumbung. Tangalok merupakan ruang di bagian depan atau utara. Ruang ini merupakan ruang tamu. Tangalok juga berfungsi sebagai tempat anak-anak tidur dan tempat meletakkan sesaji. Adapun Sumbung merupakan ruang yang berada di bagian selatan atau belakang. Sumbung digunakan sebagai ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber penyakit. Pada pintu Tangalok dan Sumbung, saya lihat ukiran khas Toraja yang berbentuk kerbau.  

Ruangan Sali di dalam Tongkonan. @iqbal_kautsar
Ruangan Sumbung yang berada di bagian belakang Tongkonan. @iqbal_kautsar
Tongkonan berjejeran. Ini sudah berusia ratusan tahun. @iqbal_kautsar

Basho menceritakan, Tongkonan berasal dari kata tongkon. Bermakna menduduki atau tempat duduk. Dulunya, Tongkonan menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Tongkonan merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. 

Kemudian Tongkonan meluas fungsinya meliputi segala aspek kehidupan Toraja. Tongkonan menjadi pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.

Oleh karena itu, orang Toraja sangat mensakralkan Tongkonan. Memelihara Tongkonan, secara pribadi dan keluarga berarti dia seperti memelihara dirinya. Masyarakat Toraja sudah menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak. Saya pun paham, Tongkonan di sini meskipun berusia lebih 300 tahun, tetapi masih kuat dan indah karena masyarakat Kete’ Ketsu merawat dengan sepenuh hati.

Kami lalu berpindah menuju Kubur Batu. Masih di kawasan Kete’ Ketsu. Tak jauh, berada seratus meter di belakang Tongkonan. Kami berjalan mengikuti setapak. Di tepian jalan, para penjual souvenir warga setempat menawari kami hasil kerajinan mereka. Tongkonan-tongkonan kecil tempat penyimpanan alat-alat penguburan jenazah tampak serabutan berjejeran. Hingga jalan yang tadinya datar kini pun menaik. Berundak-undak.

Sebuah ceruk di tepi tebing menjadi tujuan saya melangkah. Peti-peti bergelantungan pada dinding tebing. Bertingkat-tingkat mengikuti kontur. Peti ini telah tua, reyot dan rapuh. Kebanyakan berusia ratusan tahun. Di bawahnya, peti-peti yang tak bisa bertahan dimakan zaman berjajar tak beraturan.

Kerangka-kerangka manusia berserakan dalam peti yang jatuh. Putih kekuningan tulang dan tengkorak kontras dengan peti kayu coklat yang berukiran. Terlihat rokok, permen hingga uang recehan menjadi sesajen yang diletakkan di samping para belulang. Selain itu, ada juga Tau-tau di dalam gua, dikurung dalam kerangkeng untuk menyelamatkan dari para pencuri.

“Kenapa tulang dan tengkorak ini tidak dirapikan dan ditaruh lagi di sisi tebing?” saya terusik bertanya melihat pemandangan yang ‘horor’ tersebut. Baru kali ini sepanjang hidup saya, melihat tengkorak dan tulang manusia jelas nyata di hadapan saya. Begitu dekat. Dan, absurdnya saya sambil meminta foto bersama tulang belulang ini.

“Untuk memasukkan dan menata lagi kerangka manusia ini, perlu upacara adat yang rumit dan mahal.” Jelas Basho. “Tak apa-apa dibiarkan begini saja”. Saya pun berjalan makin ke atas. Meneruskan petualangan mistis nan horor.

Peti-peti berisi kerangka yang berusia ratusan tahun di tebing Kete' Ketsu. @iqbal_kautsar
Peti-peti mayat yang telah jatuh ke dasar. @iqbal_kautsar
Serak-serak tulang belulang. Mistisme ala Toraja. @iqbal_kautsar
Rokok, permen, uang receh menjadi 'makanan' para tulang belulang. Sesajen. @iqbal_kautsar

Tiba-tiba, saya dikagetkan oleh tiga tengkorak. Bertengger di atas peti yang telah jatuh ke dasar. Tampaknya ‘dia’ sedang memerhatikan saya dari tadi. Saya pun tertarik untuk mengamati lebih akrab. Tapi. Hiii.. kenapa saya merinding melihat dua tengkorak ini.

Punggung saya ditepuk Basho. Ah, bikin makin kaget saja. Basho pun mengajak saya makin naik ke atas lagi. Di atas ini, tengkorak-tengkorak tanpa kerangka berjejeran makin banyak. Ya, tanpa kerangka. “Kenapa ya? Apakah berpindah sendiri?” hingga penasaran saya berujung pada tepi tangga paling atas, di puncak.

Di spot ini, saya berusaha menghirup nafas dalam-dalam. Sejuk dan segar karena dirimbuni oleh hutan bambu dan pohon-pohon lain. Dan, saya membaui aroma mistis. Sebagai tempat penguburan sejak berabad-abad lalu, bau mistis sudah pasti adalah keniscayaan. Entahlah. 

Bau tulang belulang berusia ratusan tahun telah mencampuri komposisi udara di sini. Untungnya di kejauhan sana, panorama hijau di perbukitan granit sedikit menentramkan pikiran saya. Paling tidak, menyeimbangkan keindahan pada pikiran saya yang daritadi telah berselubung dengan horor dan mistis.

Kini saya melangkah turun. Sembari asyik memerhatikan serak-serak tengkorak dan belulang. Sembari juga memerhatikan beberapa wisatawan asing yang berfoto narsis di depan tengkorak. Mungkin bagi mereka inilah kesempatan bisa berfoto dengan tengkorak asli tanpa dirundung ketakutan. Ya, hanya di sini, di Toraja! Tapi, apakah mereka tak tahu tentang perasaan sang tengkorak yang menjadi hiasan di dalam foto. Tentu saja sudah pasti tak tahu.

“Tenang, arwah-arwah para mayat sudah tenang di alam abadi sana.” tutur Basho saat kami melangkah keluar dari Kete’ Ketsu menuju tempat parkir kendaraan. Saya kini pun tenang. Tadi saya juga sempat berfoto bersama para tengkorak dan tulang belulang.

Bukankah di Kete’ Ketsu dan di Toraja pada umumnya, kematian adalah sesuatu yang menyenangkan? Untuk berpesta-pesta? Dan, wisatawan tertarik hadir di Toraja salah satunya untuk menyaksikan wujud-wujud kematian pada kemasan yang tak menakutkan. Ah, wisata Toraja memang tentang wisata kematian.

Eksis di Kete' Ketsu bersama CLR www.kemanakita.us. @iqbal_kautsar
Gigi kerbau yang dipajang di samping Tongkonan. Simbol kemakmuran. @iqbal_kautsar
Tau-tau yang kerangkeng untuk menyelamatkan dari pencuri. @iqbal_kautsar
Tiga tengkorak yang bikin saya kaget. Seperti waspada mengawasi. @iqbal_kautsar
Berfoto bersama para belulang. Hanya beda waktu saja. @iqbal_kautsar
Ukiran kerbau di tutup jendela Tongkonan. @iqbal_kautsar
Lokasi Kubur Gantung di Kete' Ketsu. @iqbal_kautsar
Kerangka manusia dalam peti berukiran khas Toraja. @iqbal_kautsar

You Might Also Like

4 komentar

  1. Balasan
    1. haha.. ya memang untuk mendukung tulisan.. terima kasih ya sari udah berkunjuung.. :)

      nantikan tulisan yg ke VII.. hehee

      Hapus
  2. jadi kangen sama kampung kelahiran Toraja

    BalasHapus
    Balasan
    1. suatu saat nanti saya juga ingin datang lagi ke Toraja.. waktu saya ke sana belum sempet melihat upacara Rambu Solo yang sangat khas dari Toraja.. :)

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK