Mendamba Gayo, Menabung Rindu Surga Kopi

Februari 16, 2013

Segelas kopi Aceh Gayo sajian tubruk. @iqbal_kautsar
Segelas kecil kopi Aceh Gayo elegan mengantarkan senja kepada malam. Di tengah hujan yang awet bertaburan, saya menyeduhnya perlahan. Mehisap aromanya dalam-dalam. Tentu penuh rasa, penuh pemaknaan. Kehangatannya pun menghalau dingin yang mendesak-desak tulang. Terima kasih kepada seorang kawan yang baru pulang dari Banda Aceh. Dia persembahkan saya sebuah bubuk kopi teristimewa di dunia.

Pekat. Hitam. Tapi, kopi ini juga terang, gamblang. Terus terang mengantar imajinasi saya mengembara ke Tanah Gayo. Daerah asal kopi ini ditanam. Sebuah dataran tinggi di jantung bumi Aceh yang subur luar biasa. 

Entah zat apa di kopi itu yang memelet saya. Seketika saya jatuh cinta pada kopi dari bagian ujung barat Bukit Barisan. Saat itu juga, saya mendamba bisa berkelana mengungkap misteri yang membuat saya terjaring cinta pada Gayo. Saya mendamba cinta sepenggal pesona dari Aceh, yakni kopinya.

Saya mencintai setiap kopi. Dan, Kopi Aceh Gayo punya taste tersendiri. Saya sepakat dengan Christopher Davidson, salah seorang master cupperinternasional. Uji citarasa yang dilakukannya menyatakan kopi Gayo memiliki keunikan "heavy body and light acidity". Kopi Aceh Gayo begitu ‘nendang’, bersensasi keras saat diteguk. Namun, keasamannya ringan. Tidak terasa pahit tetapi gurih renyah dengan aroma harum yang halus khas arabica. Sedap menyeruak, menggugah semangat.

Saya terbayang-bayang. Betapa nikmatnya andai menyeduh kopi Gayo di tepian Danau Laut Tawar pada satu sudut di Takengon. Di dataran asalnya pada sebuah pagi jelang siang. Melihat hamparan luas danau terbesar di Aceh sambil dibalut mesra kesejukan pegunungan bersuhu sekitar 20 derajat Celcius. Brrrr, tambah sejuk tatkala angin menyapu badan dari buritan atas perbukitan. Tapi, tenang. Secangkir kopi ini setia menghangatkan. Terlebih makin nikmat tatkala dipasangkan masakan ikan Deupik, ikan khas yang hanya ada di Danau Laut Tawar.

Lantas, kemudian saya beranjak pergi menuju lekukan-lekukan pegunungan. Bersiap berkunjung ke jengkal-jengkal perkebunan kopi para petani. Menyapa mereka. Menelisik tanaman dan buah kopi. Mengetahui proses perawatan. Kalau beruntung, menyaksikan proses panen, pengolahan bijih hingga menjadi bubuk kopi. Bukankah jauh lebih bermakna tatkala bisa mengetahui kopi dari proses asalnya? Tak sekedar menyeduh kopi, begitulah impian untuk cinta saya pada kopi.
 
Tiba-tiba, impian saya jatuh kembali pada realitas tetes terakhir kopi Gayo. Tak terasa telah habis terteguk. Cukup lumayan sebagai pemantik jelajah mimpi pada Tanah Gayo dan kopinya. Tapi saya tak puas. Saya sekedar menyajikan kopi Aceh Gayo dengan tubruk, cara paling gampang tinggal menuang air panas pada segelas kopi bercampur gula. Maka, saya memupuk asa bisa hadir di kedai-kedai kopi di Aceh. Disajikan dengan cara ‘indigenous’ Aceh. Khas Negeri Seribu Warung Kopi. Minuman kopi direbus lalu menggunakan saringan saat hendak disajikan.

Entah sampai kapan saya menabung rindu pada Gayo. Pada Aceh pula. Padahal, tiada hentinya seorang kawan petualang di Aceh membuka lebar-lebar untuk menemani saya ke Gayo. Ah, tapi Aceh di ujung barat Indonesia nun jauh di sana. Ribuan kilometer berjarak dari Jogja. Saya masih setia memupuk tabungan. Semoga selekasnya menginjakkan kaki di Gayo, sebuah dataran surga para pecinta kopi.

Danau Laut Tawar di Tanah Gayo. (travel.kompas.com)

You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK