Menabung Rindu ke Maluku (Lagi) | TELUSUR MALUKU #8

Maret 09, 2015

Monumen Christina Martha Tiahahu, salah satu lokasi terbaik menikmati kota Ambon dari ketinggian.

Syukurlah kami tiba di kota Ambon masih sisa setengah jam.  Kami pun manfaatkan untuk bertakzim ke Patung Christina Martha Tiahahu di daerah Karang Panjang, Ambon. Lokasinya yang berada di atas bukit, tepat di area Gedung DPRD Provinsi Maluku, membuat kendaraan harus ekstra hati-hati. Patung pahlawan perempuan asal Maluku ini begitu manis berdiri menghadap ke Kota Ambon seperti mengawasi hiruk pikuk kota yang sedang berkembang pesat. Semestinya momen sunset sangat indah dinikmati dari tengara terkenal kota Ambon ini. Pas sekali menghadap ke ufuk barat.

Bang Ijen telah menanti, kami serah terima motor dan langsung meninggalkan hotel. Awalnya kami masih ingin berburu oleh-oleh di daerah Petak 10 yang terkenal dengan pusat oleh-oleh khas Ambon. Namun, ketiadaan kawan lokal yang menemani, membuat kami tidak yakin untuk mengunjunginya dengan angkutan umum. Kami putuskan langsung ke Bandara, kami menuju lagi ke Terminal Mardika. Untuk jurusan ke Bandara Internasional Pattimura, Ambon, kami harus mencari angkutan umum jurusan Laha.

Pilihan itu rasanya tepat karena tak gampang seperti yang dibayangkan untuk mendapatkan angkot jurusan Laha. Ternyata jumlahnya terbatas. Kami harus menunggu hampir dua jam untuk bisa naik angkutan. Sebenarnya, ada pilihan lain, yakni menyeberang Teluk Ambon lewat pelabuhan penyeberangan Pasar Mardika. Namun, kondisi Teluk Ambon yang saat itu berombak tinggi disertai angin kencang membuat nyali kami ciut untuk menaiki perahu kecil yang ditempelkan mesin.

Kami  tiba di Bandara Pattimura setelah satu jam perjalanan mengitari pesisir Teluk Ambon. Sebenarnya andai jembatan yang memintas Teluk Ambon sudah jadi, waktu tempuh Bandara ke Kota Ambon bisa makin singkat. Pukul 17.00 WIT, kondisi bandara yang berjarak 35 km dari Ambon ini  sudah sepi. Hanya menyisakan dua penerbangan masing-masing ke Surabaya dan Jakarta. 

Untunglah, saya pulang dari Ambon tidak dengan tangan hampa. Di kios bandara,kami sempat membeli oleh-oleh khas Ambon seperti Kue Sagu, Serut, dan roti kenari, yang rupanya juga berasal dari kawasan Petak 10 di kota Ambon.


***

Kadang momen perpisahan dengan daerah yang mengesankan, bagi saya itu terlalu sentimental. Seperti Maluku ini, ia cukup bisa menjejakkan kesan melankolis  di sanubari terdalam saya. Makanya, sudah dipastikan pada diri saya timbul harapan klise sebelum berpisah dengan Maluku sore itu: kapan ya saya bisa baronda Maluku, jalan-jalan ke Maluku lagi?

Masih ada Banda Neira, masih ada Kepulauan Kei, masih ada Kisar, masih ada Saumlaki, masih ada Aru, masih ada Saparua-Haruku, masih ada Pulau Buru, masih ada Yamdena. Belum lagi ke Maluku bagian Utara yang kini telah menjadi provinsi sendiri. Ada Ternate, Tidore, Sula, Halmahera, Obi, Bacan, Morotai dan lain-lain.

Maluku juga menyisakan saya impian besar untuk menunaikan sejenis ekspedisi Rempah. Sudah sedari dulu sekali, Maluku dikenal sebagai kepulauan ‘ajaib’ penghasil rempah dunia. Dalam “Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme (2011)”, Jack Turner mengisahkan karena rempahlah, Maluku menjadi rebutan bangsa Eropa dan membuat Benua Eropa bergejolak terjadi persaingan antar bangsa. Rempahlah yang memantik Bangsa Eropa melakukan perlayaran antarbenua dan berkembang sebagai penyulut peradaban modern dunia.

Rempah seperti pala dan cengkih yang aslinya dari Kepulauan Maluku telah menciptakan berkah sekaligus musibah. Karena rempahlah, Maluku selama berabad-abad makmur dan masyhur. Karena rempahlah, Maluku ditindas paling berdarah oleh kolonialisme Eropa. Sejarah rempah yang begitu renyahnya ini ingin rasanya saya tapak tilasi dengan mendalam pada perjalanan di lain kesempatan yang lebih panjang.

Malam yang cerah sedikit awan mengiringi pesawat saya terbang meninggalkan bumi Maluku. Perlahan cahaya berkelipan pemukiman Pulau Ambon menghilang ditelan ketinggian. Sepanjang perjalanan, selalu terngiang dalam pikiran, pertanyaan rindu pada Maluku “Kapan saya balik lagi ke sana, ke Maluku?” 


|| Baca kisah perjalanan saya di Maluku bagian terakhir, TELUSUR MALUKU bagian 9 : Inspirasi Pak Ali Sawai untuk Negeri

Ceria bocah-bocah di Negeri Hitu. Negeri tua di Maluku.
Pala, komoditas dunia pada abad pertengahan yang menjadi pengundang bangsa-bangsa Eropa ke Maluku
Pohon Cengkih di Sawai. Cengkih adalah rempah paling dicari dunia pada masa lalu.
Maluku melimpah menyediakannya
Masjid Raya di Negeri Hila.
Teluk Ambon yang sedang bergejolak pasca badai.
Suasana Pasar Mardika Ambon.
Cara murah tapi lama dari Ambon ke Bandara. Naiklah Angkot Jurusan Laha.
Menunggu penerbangan pulang di Bandara Internasional Pattimura. Penerbangan terakhir.


You Might Also Like

0 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK