Terios 7 Wonders #6: Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua

Juni 11, 2016

Manusia Hobbit setinggi bocah.

Hobbit hidup di alam fantasi sebagai manusia kerdil dalam rekaan J.R.R. Tolkien yang tertuang pada novelnya yang legendaris. Namun, di desa sepi di tlatah Manggarai, Hobbit hidup - sungguh hidup nyata - pada era 50.000 tahun lampau sebagai Homo Floresiensis, sejenis manusia purba. Dan, kini pun, Hobbit dianggap tetap hidup mewujud pada warga setempat sebagai manusia modern yang kerdil. Hobbit Flores membuka ruang perdebatan yang belum terjawab hingga sekarang.


***

Pagi itu, Ruteng dimanja cerah sinar mentari yang berselimut sejuk hawa segar yang mengalir dari gunung-gunung di sekelilingnya. Ibukota Manggarai rupanya siap menyambut perjalanan Terios 7 Wonders dengan penuh gembira. Ekspedisi Terios 7 Wonders ingin berkunjung ke sebuah daerah di selatan Ruteng, berjarak 15 km, sebuah kampung yang sepi, tapi pernah mengguncang ranah penelitian ilmiah dunia tentang seluk beluk manusia. Tersebutlah Homo Floresiensis yang kondang sebagai ‘Hobbit’.

Di sepetak Liang Bua – masyarakat mengartikan dalam bahasa Manggarai sebagai gua yang dingin – pada 9 September 2003, Benyamin Tarus, pekerja lokal, menemukan tengkorak dan tulang manusia pada ekskavasi di kedalaman 6 meter. Ia melaporkan kepada  arkeolog Wahyu Saptomo yang sedang mengawasi di Liang Bua. Dari situlah, kegemparan dunia arkeologi bermula.

Dugaan awal adalah fosil Hominin atau manusia purba yang masih berusia anak-anak. Wujudnya yang kecil dan pendek menjadi alasannya. Hasil temuan lalu diteliti lebih lanjut oleh para pakar dalam tim tersebut, yakni tim gabungan dari Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan peneliti Australia. Hasilnya pun sungguh mengejutkan.

Kerangka yang diberi kode LB1 ini ternyata merupakan fosil dari Hominim dewasa. Hasil konstruksi menggambarkan manusia purba ini hanya memiliki tinggi 106 cm, berat 30-40 kg dan volume otak 400 cm. Sungguh pendek dan kecil dibandingkan jenis Homo Erectus yang dijumpai di Jawa. Ukuran mungilnya ini lalu melahirkan spesies baru dalam manusia purba, yakni Homo Floresiensis. Dunia populer lebih mengenalnya sebagai Hobbit.

Liang Bua, situs dimana Homo Floresiensis pernah bersemayam. 
Flores, pulau yang menakjubkan. Tempat Homo Floresiensis tinggal hingga 10.000 tahun silam. 
Inilah Flo, si Homo Floresiensis asal Liang Bua.
Persawahan di Liang Bua.

Namun, tak semua sepakat dengan hasil temuan ini. Prof. Dr Teuku Jacob, guru besar paleoantropologi UGM dan koleganya dari UGM yang juga terlibat dalam tim tersebut, menyatakan bahwa Homo Floresiensis adalah Homo Sapiens (manusia modern) yang terkena gangguan pertumbuhan  yang disebut mikrosefali (kepala dan otak kecil). Dinyatakan bahwa Hobbit Flores ini masih merupakan kelompok Australomelanesoid.

Perdebatan ini terus mengusik penelitian-penelitian lanjutan. Sudah ratusan peneliti datang ke Liang Bua serta ribuan lainnya meneliti dari laboratorium yang berasal dari berbagai negara dan latar belakang keilmuan. Hingga saat ini pun titik terang tentang siapa sebenarnya Homo Floresiensis masih remang-remang. Ada banyak kesimpulan dari penelitian, tapi belum dapat terjadi kesepakatan.

Malah baru-baru ini, muncul publikasi dari penelitian satu dasawarsa pasca temuan Hobbit Liang Bua di Cekungan Soa, tepatnya di daerah Mata Menge, 70 km dari Liang Bua. Ditemukan fosil enam gigi dan pecahan rahang bawah. Setelah diukur, ternyata berusia jauh lebih tua, yakni 700.000 tahun. Jika dikonstruksi, manusia purba ini bertubuh lebih kecil. Sementara, fosil ini disebut sebagai moyang dari Homo Floresiensis.

Temuan baru ini memberi tantangan lebih besar untuk membongkar bagaimana sebenarnya Hobbit Flores. Hasil penggalian di Cekungan Soa mengarah pada jawaban bahwa Homo Floresiensis itu beda dengan Homo Sapiens.


***

Bagaimanapun juga, cerita Hobbit dengan segala dinamikanya inilah yang menggerakkan saya untuk  bersemangat datang ke Liang Bua di Dusun Rampasasa, Desa Waemulu, Kecamatan Waeriri. Kunjungan ini adalah kali kedua saya setelah sebelumnya di tahun 2013. Perjalanan ke Liang Bua pun sama, tak pernah mudah. Jalan masih rusak dengan aspal yang rasanya tak pernah diperbaiki lagi selama bertahun-tahun. Untungnya Daihatsu Terios sanggup melahap tantangan jalan yang khas ke sebuah desa yang terpelosok.

Liang Bua yang nyaman ditinggali selama ribuan tahun.
Situs prasejarah penting Indonesia.

Pengunjung menikmati Liang Bua.
Stalagtit yang menggantung di langit Liang Bua.

Sebuah goa yang berceruk luas dengan langit-langit tinggi penuh stalagtit menjadi penampakan Liang Bua. Goa ini tidaklah dalam. Namun, untuk hunian manusia baik purba maupun modern dalam rentang waktu yang lama dirasa sungguh nyaman. Selain temuan Hobbit, Tim Arkenas menyatakan terdapat temuan yang berasal dari empat lapisan kebudayaan prasejarah, yakni paleolitik, mesolitik,neolitik dan paleometalik (masa logam awal).

Adalah Pastor Verhoeven pada tahun 1965 yang pertama kali melakukan penggalian arkeologis di Liang Bua. Ia menemukan beberapa kerangka manusia modern beserta bekal kubur. Dalam penggalian selanjutnya, ditemukan pula kerangka hewan-hewan purba seperti stegodon (gajah purba), komodo, tikus raksasa dan bermacam jenis burung.

Mengelilingi interior Liang Bua, saya tak lagi menjumpai bekas-bekas galian penelitian arkeologi. Rupanya, Liang Bua sudah tak intensif dijenguk peneliti yang  berhasrat untuk menambah data pemecahan misteri Homo Floresiensis. Sekarang, wisatawan umumlah yang tertarik untuk turut serta melihat ruang bersejarah bagi dunia arkeologi, berangkat dari rasa keingintahuan. Siang itu, beberapa wisatawan lokal turut menyemarakkan Liang Bua yang sejuk.

Saya berpindah ke Museum Liang Bua yang terletak sekitar 50 meter dari Liang Bua. Seorang petugas membukakan pintu, lalu menunjukkan duplikat Homo Floresiensis yang bersemayam dalam peti kaca transparan. Selain sebutan Hobbit, temuan manusia purba LB1 yang berjenis kelamin perempuan ini masyhur dengan panggilan Flo.

“Sejak dari awal ditemukan, fosil aslinya dibawa ke Jakarta, Australia dan Belanda untuk diteliti lebih lanjut.” ungkap petugas itu.

Bekas tanah hasil penggalian ARKENAS baru-baru ini.
Langit-langit yang meneduhkan manusia purba dari musibah yang terus menerus melanda Flores. 
Insformasi Stratigrafi Liang Bua di dalam Museum.
Manusia modern dan Flo, si Hobbit Flores 


Di sekeliling Flo, aneka informasi dalam rupa poster yang tematik menjadi pengayaan di dalam Museum ini. Mulai dari latar belakang lingkungan Flores, informasi singkat tentang dunia arkeologi, proses ekskavasi di Liang Bua, hingga aneka temuan di Liang Bua.

Saya cukup antusias ketika menyimak bahwa Flores memberikan keajaiban arkeologis yang unik. Dengan luas pulau yang kecil dan secara geologis tak pernah bersatu dengan daratan Asia ataupun Australia, Flores menciptakan kehidupan yang serba terbalik. Belum lagi, Flores dilingkupi puluhan gunung berapi yang terus menerus menimbulkan bencana. Kondisi ini disinyalir membuat makhluk hidup mendapatkan sumber pangan di Flores begitu terbatas

Makanya, di Flores lah, kadal meraksasa, tikus meraksasa, gajah mengecil lalu manusia mengerdil…


***

Sebelum tiba di Liang Bua, setengah kilometer dari gua, Terios 7 Wonders sempat mampir di Dusun Rampasasa. Kami berjumpa dengan seorang yang sering dikaitkan sebagai keturunan Hobbit Homo Florensiesis. Namanya Viktor Dau. Usianya sekitar 80 tahun. Tinggi Viktor hanya 135 sentimeter yang membuatnya jadi pusat perhatian kami. Saya pun tak melewatkan kesempatan untuk berfoto bersamanya. Viktor terlihat mungil, tak sampai setinggi dada saya.

Viktor tak bisa berbahasa Indonesia. Sudah ada warga Rampasasa yang biasa menerjemahkan ucapannya dari bahasa Manggarai, juga sebaliknya. Rupanya tak ada ‘makan siang gratis’ untuk bisa mendapatkan fotonya. Oh ya, saya beberapa kali melihat foto Viktor menghiasi media-media nasional dan internasional. Di samping Flo, dia menjadi ikon pada setiap liputan tentang Hobbit. Saya menduga, dari ‘kebiasaan’ sebagai artis Liang Bua, Viktor mematok tarif untuk bisa mengulik keunikan dirinya.

Viktor Dau, si manusia Hobbit di sekitar Liang Bua
Ikon Liang Bua.
Viktor Dau sudah agak kepayahan untuk berjalan.
Remaja putri di Rampasasa. Mereka tumbuh normal.

Di Dusun Rampasasa, selain Viktor, sesungguhnya ada banyak warga yang ‘kerdil’ ala Hobbit. Tinggi mereka rata-rata tak sampai 150 sentimeter. Hanya mereka tak ingin tampil dan menjadi obyek eksistensi wisatawan yang seakan-akan berjumpa Hobbit . Sebagian kalangan menganggap mereka adalah pewaris sejati Homo Floresiensis. Sebagian lain menduga mereka menderita kelainan kesehatan, seperti kretinisme atau gangguan pertumbuhan.

Namun inilah misteriusnya Hobbit Flores. Cerita rakyat yang turun temurun lintas generasi di sekitar Liang Bua makin menambah misteri tentang Hobbit. Ada sosok yang dinamakan Ebu Gogo. Wujudnya mirip manusia, pendek, perut besar, telinga besar, rambut menutupi badan. Dia digambarkan jahat, suka mencuri makanan mentah dari warga, bahkan bisa menculik bayi untuk dimakan. Fisik Ebu Gogo yang pendek dikaitkan keberadaan Homo Floresiensis di masa sangat lampau dan masyarakat bertubuh pendek di masa sekarang.

Mungkin iya, mungkin tidak tentang jawaban Ebu Gogo apakah berkaitan. Namun, yang pasti, secara sifat, Ebu Gogo jelas jauh dari sifat dasar manusia, kan?


***

Di puncak siang, Terios 7 Wonders meninggalkan Liang Bua. Kami harus bergegas untuk menuju Wae Rebo, ‘wonders’ pamungkas dari ekspedisi Tour de Flores. Saya pun meninggalkan Liang Bua dengan seribu penantian tentang kelanjutan kisah siapa sejatinya Homo Floresiensis. 

Video perjalanan FLORES bersama Daihatsu Indonesia



Panorama menawan di perjalanan Ruteng - Liang Bua.
Mama Penjaga Liang Bua.
Daihatsu Terios dalam perjalanan ke Liang Bua.
Liang Bua yang bersejarah.
Pengunjung Liang Bua yang berasal dari warga Manggarai.
Penjual tenun di Ruteng, di depan hotel kami menginap.
Kota Ruteng yang dingin dan asri.
Saya dan Viktor Dau si manusia Hobbit.

Perjalanan "Overland Flores" ini disponsori Daihatsu Indonesia www.daihatsu.co.id dalam ekspedisi TERIOS 7 WONDERS - TOUR DE FLORES. Cerita perjalanannya disajikan dalam 8 seri tulisan, yakni:

1.   Kendara Tangguh Tour de Flores bersama Terios 7 Wonders
2.   Ziarah Kota Maria Larantuka
3.   Menyapa Desa Sikka yang Bersejarah
4.   Kopi John dan Avontur Kelimutu
5.   Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
6.   Kampung Bena dan Bocah Penggemar Bola
7.   Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
8.   Pulang Kampung Wae Rebo

Selamat membaca semuanya!




You Might Also Like

9 komentar

  1. Tempatnya ngeri juga ya hehhehehe; agak gimana gitu kalau masuk rasanya :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah mas Sitam melihat Hobbit yang tak kasat mata.. :D Mantaaap

      Hapus
  2. Dengar-dengar manusia hobbit gini ada juga di daerah Tambora. Dengar-dengar aja sih.. tapi katanya pada kabur gitu kalau lihat orang lain..

    Entahlah~

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mbak Andy..
      Wah informasi menarik. Saya malah baru dengar ada kabar burung gitu. Klo ada kayaknya sgt menarik. :D

      Hapus
  3. Nggak tau lagi mau ngomong apa.
    Masteeer emang om iqbal ini \m/

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Tari Raisa sang idola.. Aku mah belajaran masih ni, newbie..

      Hapus
  4. ternyata gua itu bersejarah juga ya, sarang hobbit yang saya kira hobbit itu tidaklah nyata, terimakasih informasina..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hobbit nyata jika mengacu pada Homo Floresiensis. Klo mengacu pada manusia kerdil di Liang Bua masih jadi perdebatan lho kak.. :D

      Hapus
  5. kapan-kapan main ke Gua Ebu Gogo..lokasi di Kelurahan Nageoga-kecamatan Boawae-Kabupaten Nagekeo

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK