Jelajah Toraja (V), Imajinasi Tanpa Batas di Pedesaan Toraja

Februari 06, 2013

Alam pedesaan Toraja yang khas, laksana sebuah imajinasi

Di Toraja, di desa-desanya, imajinasi leluasa keluar dari ruang mimpi. Bebas dan dalam, tanpa mengenal pembatasan. Tidak terkekang oleh kemasan. Layaknya air, ia mengalir karena nurani. Tulus dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Pedesaan Toraja secara lugu hadir tak mengenal keraguan. Tidak ada tuntutan bersolek untuk memikat para wisatawan. Semua masih didasarkan nurani dan jatidirinya. Itulah roda-roda realitas yang berputar alami tiada henti.

Jejalanan tidak lagi beraspal. Aspal sudah cukup menghubungkan destinasi-destinasi terkenal. Bebatuan makadam yang sudah tidak tersusun rapi adalah jalan yang harus kami lewati. Dari Sangalla’ menuju Kete’ Ketsu.

“Ini jalan pintas, tidak semua wisatawan lewat sini. Kita akan benar-benar menikmati pedesaan Toraja yang khas dan alami.” pamer Basho. Hanya sedikit pemandu yang menyarankan jalan ini. Jalannya keras berbatu. Tidak mudah.

Ya benar kata dia. Belum jauh beranjak dari ujung aspal. Jalanan naik dan menemukan kubangan air. Mobil pun berganti gigi. Dengan perlahan dan hati-hati, akhirnya terlewati. Ah, menemukan kubangan lagi. Terlewati lagi. Begitu seterusnya, lagi dan lagi. Hingga jemari saya tak mampu menghitung lagi. Namun, setiap kali bergerak hati-hati, sepertinya hutan bambu di sisi-sisi jalan memberi semangat kami untuk berjuang melampaui kubangan. Begitu lebat. Tak hanya itu, pohon-pohon tinggi menjulang di dalam kerimbunan. Hingga kami turun. Melepas diri dari cengkeraman hutan.

Sebuah perkampungan di tepi hutan menyambut kami. Bukan disambut dengan tarian-tarian penghormatan, melainkan saya diikrami dengan panorama menakjubkan. Sebuah kampung dengan Tongkonan dan Alang Suro dikelilingi persawahan bertingkat-tingkat. Seperti sebuah kampung dalam utopia. Tapi ini adalah realita. Imajinasi keluar dari mimpi yang indah. Jalan masuk melewati kampung. Kami melintas mendekat. Mengenal lebih akrab.

Kepada rombongan anak SD yang lewat, saya melambaikan tangan. Dengan muka-muka polos dan ramahnya, mereka membalas. Namun, sambil heboh teriak-teriak dan sambil tertawa lepas. Sepertinya mereka sedang berlomba menunjukkan siapa yang paling keras. Bagi anak-anak, paling keras berteriak barangkali adalah paling jagoan. Ah, senangnya saya disambut sampai diteriak-teriaki. Hahaha.  

Anak-anak SD baru saja pulang dari sekolahnya. Mereka berjalan tanpa alas kaki. Sepatu-sepatunya mereka tenteng. “Kenapa tidak dipakai saja sepatunya?” selintas di hati saya. Tapi, saya seketika sadar. Sekolah di negeri ini adalah institusi yang sangat formal di permukaan. Formal sampai-sampai pada urusan kebersihan di sekolah. Anak seperti mereka harus menyelamatkan perlengkapan sekolahnya agar bisa ‘diterima’ di sekolah. Berada di kelas dan di sekolah harus bersepatu agar rapi dan bersih.

Tapi, perjalanan berangkat dan pulang sekolah sepertinya tidak ada urusan dengan rapi dan bersih. Atau bahkan tidak ada urusannya dengan sekolah. Berada di sekolah adalah dimensi berbeda dengan berangkat dan pulang sekolah. Inilah yang terjadi di negeri ini, sampai memelosok ke Toraja. Ketika sekolah hanya tersembul di permukaan.

Bisa dibayangkan, anak-anak desa Toraja ini harus melangkah di atas tanah basah dan becek. Dalam bayang-bayang bahaya yang mengintai seperti paku, beling, duri bahkan kuman. Namun, melihat wajah semangat mereka bersekolah, kekhawatiran saya agak tertepis. Setidaknya pada saat itu. Perlahan mobil menjauh dari kampung. Perlahan sayup-sayup juga terlihat anak-anak SD itu.


Jalan di pedesaan Toraja. Asri. Belum beraspal. @iqbal_kautsar

Persawahan di Tana Toraja. Di pedesaannya adalah sebuah kedamaian. @iqbal_kautsar
Sisi lain persawahan Toraja. Meluas berbatas pegunangan. @iqbal_kautsar

Jalanan kini datar. Tapi tetap berbatuan bergelombang. Lurus membelah persawahan yang  sangat lapang. Hamparan padi-padi elok dirajut dengan pematang-pematang. Sebagian sawah sudah dipanen. Tersisa banyak kubangan. Di ujung kejauhan, jajaran pegunungan menjadi pembatas cakrawala. Kokoh melingkari Toraja. Setia menjaga Toraja beserta khasanah pedesaannya. Imajinasi saya mengembara pada sebuah tanah nirwana. Asri, sepi, sunyi. Mobil saya saat itu barangkali adalah satu-satunya polusi. Peradaban modern seringkali beradu peran dengan kemolekan alam dan pedesaan.

Kelezatan menikmati romantika persawahan semakin menjadi-jadi tatkala sosok hitam dan putih bermesraan. Apa itu? Sang hitam besar, tapi sang putih ringkih. Sebuah kerbau sedang malas berkubang di sawah. Di atasnya, seekor bangau putih bertengger di atas pundak sang kerbau. Tidak ada keberatan bagi sang kerbau untuk dihinggapi si makhluk ringkih ini. Sebuah simbiosis yang tak mengenal batas dan balas. Ini sebuah realitas penambah manis nirwana pedesaan Toraja. Kedua makhluk ini melengkapi panorama puluhan warga yang sedang tekun memanen padi. Bertebaran di setiap petak-petak sawah.


Kemesraan kerbau dengan seekor burung. @iqbal_kautsar

Beberapa orang berada di tengah tumpukan bambu-bambu. Dari kejauhan, begitulah saya melihat mereka. Selepas dari arena persawahan, kembali kami memasuki perkampungan. Dikerumuni oleh pohon-pohon yang asri. Mobil berhenti sejenak. Saya pun mendekat.

Seorang bapak tua sedang memotong bambu dengan bendonya. Memotong menjadi kecil-kecil berdasarkan ukuran ‘template’ yang telah ada. Seorang bapak lain memilah-milah batang bambu. Kemudian dia membaginya menjadi beberapa bagian yang masih besar. Dari yang besar lalu dipotong-potong menjadi lebih kecil. Di sisi lain, ada pria yang lebih muda tampak menyusun bambu-bambu menjadi sebuah konsep kerangka. Saat itu siang makin menerik. Tapi, belum tampak rona lelah bagi para bapak-bapak pekerja itu.

Aktivitas pekerja atap tongkonan

“Sedang buat apa pak?”

“Atap untuk tongkonan.” Di tengah kesibukannya, salah seorang pekerja menjawab. Sembari dia menghela nafas dan melempar senyum kepada saya. Ramah di antara lelah. Luar biasa.

“Bambu-bambu ini akan kami susun menjadi atap. Dirangkai-rangkai dulu di bawah. Nanti setelah jadi baru dipasangkan di badan bangunan tongkonan. DI sana..” Dia seraya mengacungkan jarinya yang berkeringat ke arah kompleks tongkonan di samping tempat pekerja-pekerja itu membuat atap.

Atap Tongkonan ini terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih. Dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bambu/rotan. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis. Setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu.

Dilihat dari kompleks bangunan tongkonan, akan dibuat atap tongkonan yang modern. “Nanti bambu-bambu ini akan ditutup dengan seng”, kata bapak itu lagi. Di Toraja, memang telah terjadi transformasi bangunan tongkonan. Lebih awet, ringkas dan praktis begitulah alasannya. Transformasi paling menonjol adalah dari atapnya.

Memotong bambu untuk membuat atap tongkonan. @iqbal_kautsar

Memotong bambu untuk membuat atap tongkonan. @iqbal_kautsar

Pada tongkonan tradisional, atapnya ditutup dengan rumbia-rumbia kering. Di atas rumbia-rumbia itu biasanya hidup tanaman yang menghijau. Tongkonan modern menggunakan seng sebagai atap untuk menutupi susunan-susunan bambu itu. Kemudian seng itu dicat berwarna merah. Meski begitu, ada pula yang membuat atap modern semi tradisonal. Menggunakan penutup seng, tetapi dilapisi dengan rumbia-rumbia yang tipis. Selama menjelajah Toraja, menurut saya yang paling eksotis adalah tongkonan beratap rumbai-rumbai yang ditumbuhi tanaman. Nuansa otentisitas tetap terjaga.     

Mooooooooooooooooooo.... Ada seekor kerbau di tengah ladang di tepian Tongkonan. Kali ini dia sendirian. Tertali dalam kesunyian.  Tampaknya dia menanti penggembalanya menarik pulang ke kandang. Mengais makan di antara bekas-bekas batang padi sisa panen. Suara kerbau mengiringi kepamitan saya dari para pekerja. Sampai jumpa.

Tidak ada lagi sawah yang meluas. Tapi, sawah tetap ada bertengger di lahan-lahan sempit. Bertingkat-tingkat. Mengisi lahan-lahan di antara tepian sungai dan terjalnya bukit. Jalanan tak berganti. Masih berbatu dan berkubang. Kini naik turun meski tak securam tadi.

Di langit, matahari siang menuju ke atas ubun-ubun. Namun, awan yang berarak mendinginkan suasana. Malah menjelang siang, mendung hitam berusaha mengambilalih keadaan. Tentu, saya berharap semoga hujan tak menangis di kolong langit ini. Jelajah Toraja masih belum sampai setengah hari.

Tibalah saya di Karuaya. Sebuah kampung pemukiman yang terpelosok dari hingar bingar wisata Toraja. Sensasi kesunyian adalah nilai tambah yang mengunggulkan Karuaya dibanding daerah lain. Ada kompleks Tongkonan yang berumur cukup tua di sini. Tepat berada di sisi kanan jalan. Jalan itu juga menjadi pembatas kawasan di sebelah utara Tongkonan. Sedangkan di sebelah selatan, menjulang kekar sebuah tebing yang membatasi sekaligus melindungi Tongkonan Karuaya.

Deretan Tongkonan Karuaya. Terawat dan Asri. Jauh di pelosok Toraja. @iqbal_kautsar

Alang Sura. Lumbung yang digunakan menyimpan padi, gabah dan beras. Jaring pengaman ekonomi. @iqbal_kautsar
Anak-anak kecil di Karuaya. Malu-malu tapi ramah. @iqbal_kautsar

Lima buah tongkonan berdiri gagah. Rerumputan hijau menjadi alas yang halus, selaksa karpet menghampar. Tongkonan ini berarsitektur masih tradisional dengan beratapkan rumbai-rumbai. Tetumbuhan hijau menghiasi atapnya yang hitam. Tongkonan ini menghadap ke utara. Ini sesuai aturan adat bahwa setiap tongkonan harus menghadap ke arah utara yang melambangkan awal kehidupan. Sedangkan bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.   

Tongkonan berbentuk perahu layar. Tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi datangnya penguasa pertama di Toraja, dari arah selatan Tana Toraja dengan mempergunakan perahu yang dinamakan Lembang melalui sungai-sungai besar seperti sungai Sa’dang. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah tongkonan, sehingga bentuknya menjulang ke depan dan ke belakang.

Di depan Tongkonan, ada Alang Suro yang jumlahnya sebanyak Tongkonan. Alang Suro ini digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan terutama padi, gabah dan beras. Saya mencermati Alang Suro di sini masih digunakan. Ikat-ikatan padi sehabis dipanen terlihat di dalam Alang Suro. Ada juga beberapa karung beras dan gabah. Pada Alang Suro, tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin. Ini dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari  yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.

Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri saya. Khas wanita Toraja. Berpakaian Toraja dengan passapuatau penutup kepala. Dia langsung meminta jabat tangan dengan saya. Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah. Sebuah senyum yang bisa menyamarkan usianya. Kira-kira dia berusia 80-an tahun. Terlihat dari keriputnya yang menghiasi wajah rentanya. Namun, semangat hidupnya masih tinggi. Enerjik. Tidak ada raut lelah dan lemah yang menyusutkan.

Sembari mengulum kinang daun sirih yang menjinggakan giginya, dia mengucapkan sepenggal kata pada saya. Suaranya lirih. Hingga saya perlu mendekatkan telinga saya ke dekat mulutnya.

“Selamat datang”. Ternyata dia ingin mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana ya?”, lanjut dia meneruskan sambutan dengan pertanyaan.

“Dari Jawa, nek” jawab saya.

Tidak terduga nenek itu menepuk-menepuk bahu saya. Tidak berkata. Tidak bersuara. Hanya senyumnya yang bertahan. Senyumnya tidak memudar. Sambil dia mengangkat tangan dan menunjuk ke seluruh ruang kompleks Tongkonan.

“Kamu dipersilakan melihat-lihat kawasan ini.” kata Basho mengartikan gerak tubuh itu. Sang nenek membalikkan badan. Saat itu juga, Basho mengajaknya mengobrol menggunakan bahasa Toraja. Saya rela. Biarlah ini menjadi romantisme Basho dengan nenek itu. Saya pun berkeliling lagi melihat-lihat lekuk kawasan Tongkonan Karuaya.

Tongkonan yang penuh dengan ornamen tanduk kerbau.
@iqbal_kautsar

Bola mata saya tertarik pada setiap sudut di Tongkonan. Ia menyediakan begitu banyak ensiklopedia budaya Toraja yang khas. Akhirnya, pengelanaan mata saya berlabuh pada banyaknya tanduk kerbau dipajang pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah. Bagi orang Toraja, tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya.

Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut. Selain itu, di sisi kiri rumah menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang disembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.

Seorang anak kecil keluar dari salah satu tongkonan. Cepat menuruni tangga. Lihai karena terbiasa. Dia melintas hamparan rumput yang memisahkan Tongkonan dan Alang Suro. Berlari. Beberapa kawannya telah menunggunya di bawah Alang Suro bersama sang nenek tadi. Saat itu, Tongkonan Karuaya cukup ramai dengan warga setempat. Kehadiran saya di sana sepertinya adalah gula. Manis memikat untuk mengumpulkan orang. Basho kemudian mengundang saya mendekat.

“Kamu diajak nenek untuk berfoto bersama. Untuk kenang-kenangan katanya.”

Ciiiis.. Jepreeeet. Senyum mewarnai foto kami. Saya berfoto dengan seorang nenek yang mungkin di masa mudanya adalah kembang desa di kampungnya. Kemolekan mudanya masih terkandung jelas di balik kerutan rentanya. Muda dan tua berjalan selaras di wajah dan badan nenek itu.

“Nenek ini memang ‘artis’ nya Karuaya. Setiap wisatawan yang datang ke sini pasti diajak berfoto bersamanya. “ kata Basho sembari berjalan kembali ke mobil.

Momen foto bersama tadi adalah salam perpisahan saya dengan mereka di Karuaya. Lambaian tangan nenek dan anak-anak di Tongkonan mengantarkan kepergian kami. Senyum sang nenek terus memancar dari wajahnya. Seperti sebuah simpul untuk menambatkan hati saya agar selalu mengingatnya. Saya pun luruh dalam perpisahan yang mengharukan. Di pelosok Toraja, di Karuaya inilah saya seperti menemukan saudara. Melintas suku dan agama. Barangkali dari pengalaman ke Karuaya, setiap pengelana akan menemukan perasaan itu. Hangat, membekas dan tidak terlupa.

Kini, penjelajahan Toraja harus terus berlanjut. Melepas Karuaya menuju tujuan yang berikut. Langit mendung tetap menggelayut. Tapi hujan belum ada tanda untuk datang. Awan masih bimbang. Meski begitu, tetap saja saya harus melalui sebuah siang yang tidak riang.

Perjalanan seakan mengulang-ulang. Masih saja sama. Jalan berbatu dan berkubang. Bergantian sawah dan pematang yang bertingkat-tingkat dengan yang lapang. Masuk kampung keluar kampung. Bergantian tongkonan tradisional dan modern saling menyelinap dari balik rimbun pepohonan. Namun, jalanan kini konsisten datar. Sebegitunya berulang, angan saya masih terjejak di Karuaya. Terjejak pada senyum sang nenek tadi.

Kerbau Belang sedang berkubang di kolam. Hewan sakral Toraja yang berharga ratusan juta. @iqbal_kautsar

Hingga saya dikejutkan pada seekor kerbau belang yang mandi di sebuah kolam. Seekor binatang yang sakral dikorbankan dalam upacara khas Toraja. Putih memerah muda dan berbelang- hitam. Sang kerbau dibiarkan mandi sepuasnya. Tiada kerbau lain yang bercampur dan mengusik kenikmatan mandi si kerbau raja ini. Pemilik kerbau mengawasi dari tepian kolam. Tentu dia dengan setia menjaganya karena inilah asetnya yang berharga. Betapa tidak, nilai seekor kerbau tedong bonga bisa seharga mobil. Sebuah tabungan kehidupan. Sebuah jalan menuju kemakmuran.

Pedesaan yang penuh imajinasi tampaknya telah berakhir. Ujung jalan beraspal dimulai lagi. Tepat di persimpangan sebuah jalan menuju Kete’ Ketsu. Keasrian pedesaan telah digantikan lalu lalang kendaraan. Digantikan keriuhan wisata. Saya harus bergabung lagi bersama nuansa turisme yang riuh dengan pengomoditasan budaya dan sejenisnya.

Ah, dua jam berada pada alam imajinasi Toraja rasanya sangat cepat. Seperti sekedar kelebat. Rasanya belum rela kaki saya kembali di realitas untuk berpijak.


Berfoto dengan nenek 'artis' Karuaya Toraja. @iqbal_kautsar
Nenek dengan cucu-cucunya penunggu Tongkonan Karuaya. @iqbal_kautsar
Persawahan Toraja. Tenang dan damai. Hangat untuk kehidupan. @iqbal_kautsar

Tongkonan Karuaya penuh tanduk kerbau. Simbol kekayaan keluarga.
@iqbal_kautsar

Kepala kerbau di Tongkonan. Simbol kemakmuran. @iqbal_kautsar

Persawahan Toraja dengan hiasan Tongkonan. Suasana desa. @iqbal_kautsar

You Might Also Like

5 komentar

  1. Balasan
    1. Toraja, sebuah ruang yang bisa berpadu manis antara alam, manusia dan budayanya.. :) makasih kak Gustian sudah berkunjung n komen..

      Salam kenal..

      Hapus
  2. Balasan
    1. Yuhuuy kak.. tepat sekali dikatakan jantung Sulawesi.. karena terletak di tengah2 pedalaman Sulawesi, karena menjadi rupa kebudayaan khas Sulawesi juga.. :)

      salam kenal kak Ramba' Sa'dan

      Hapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK